BAB VII

KEBUDAYAAN



Standar Kompetensi



Setelah membaca bab ini mahasiswa diharap:

1. Mengerti pengertian kebudayaan dan pandangan Islam tentang kebudayaan.

2. Mengerti tentang akal, pikiran, dan instuisi sebagai perangkat dalah aktifitas berbudaya.

3. Mengerti tentang aktifitas berbudaya dalam kaitanya dengan Allah, sesama manusia, dan alam semesta.

4. Mengerti dan mau tanggung jawab umat beragama dalam mewujudkan cara berpikir kritis (akademik), bekerja keras dan bersikap fair.


A. Pengertian Kebudayaan

Jika mengoleksi dan menelaah mengenai definisi kebudayaan, tentu akan mendapatkan begitu banyak dan komplek tentang pengertian kebudayaan, namun demikian dapat dikelompokkan-sekurang-kurangnya ke dalam enam kelompok pendekatan.

1. Pendekatan deskriptif dengan cara memerincikan kebudayaan. Kelompok ini, antara lain Taylor, mengatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan konpleks yang meliputi ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat dan berbagai kemampuan serta kebiasaan yang diterima manusia sebagai anggota masyarakat (Kroiber & Kluchon, l952:43).

2. Pendekatan historis dengan menekankan pada aspek penyesuaian diri dan proses belajar. Kebudayaan adalah semua proses kelangsungan dan belajar suatu masyarakat (Kroiber & Kluckhon, l952: 47).

3. Pendekatan normatif dengan menekankan pada aspek peraturan, cara hidup, ide atau nilai-nilai dan perilaku. Kebudayaan adalah suatu pandangan hidup dari sekumpulan ide dan kebiasaan-kebiasan yang dipelajari, dimiliki kemudian diwariskan dari generasi ke generasi. (Kroiber & Kluckhon,l952:50).

4. Pendekatan historis dengan cara menekankan pada warisan sosial dan tradisi. Kebudayaan adalah total dan warisan sosial yang diterima sabagai sesuatu yang bermakna, yang dipengaruhi oleh watak dan sejarah hidup suatu bangsa (Kroiber & Kluckhon, l954:47).

5. Pendekatan struktural dengan menekankan pola dan organisasi kebudayaan. Kebudayaan adalah pekerjaan dan kesatuan aktifitas sadar manusia dalam membentuk pola umum dan melangsungkan penemuan-penemuan, baik yang material maupun non material (ibid :6)

Dari berbagai pengertian kebudayaan ini dapat dimengerti bahwa pengertian kebudayaan itu umat luas, namun semuanya berpusat pada akal, pikiran dan hati manusia (Geertz, 1973:11) atau pendek kata kebudayaan itu dari, oleh, dan untuk manusia yang dapat dilihat dari dua tahap yaitu:

1. Tahap proses yang mewujud dalam bentuk gagasan, pikiran, dan dan konsep

2. Tahap produk yang mewujud dalam aktifitas dan benda-benda (Koentjaraningrat, 1974:15)

Kebudayaan juga dapat dilihat sebagai jilmaan nilai umpama teori (ilmu), ekonomi, agama, seni, kuasa (politik), dan solodaritas (sosial) (Syahbana, 1974:171-175). Dalam pengertian ini ritual yamataso, yasinan, manaqiban, tahlilan dan sholawatan nariah, mujahadah, istighosah, haji, masjid, syajadah, adalah jilmaan dari nilai-nilai agama. Satu unit komputer pentium empat dapat dilihat sebagai jilmaan dari berbagai nilai, ekonomi, ilmu dan teknologi, dan kekuasaan. Dari kompleksitas kebudayaan ini dapat diringkas bahwa kebudayaan adalah kesatuan dan perbuatan manusia yang menghasilkan suatu produk yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Realitas (kenyataan) apapun di alam semesta, termasuk realitas sosial, cara beragama maupun kebudayaan senantiasa berubah. Dalam hal ini Rasulullah bersabda:

ا لز ما ن قد ا ستد ر كهيئة يوم خلق ا لله ا لسموا ت و الا رض... روه ا لبخا رى عن ا بى بكرة

(Zaman itu senantiasa berubah seperti keadaan ketika Allah mencipta langit-langit dan bumi....HR. Bukhori dari abi Mukroh)

Keberubahan kebudayaan itu pada hakikatnya, adalah keberubahan ide, pikiran, dan gagasan manusia dalam eksisitensinya hendak melestarikan, memperbaiki, dan menggantinya berbagai produk agar manusia dapat menyempurnakan diri dalam kehidupanya yang senantiasa tidak lepas dari perubahan. Dalam hal ini konflik kebudayaan dari lokal satu ke yang lain, dari angkatan tua dan angkatan muda pasti terjadi. Namun begitu, dari segi tinjauan misi Islam, manusia bertanggung jawab atas gagasan, perkataan, dan perbuatan (QS Al-A’raf/7:39) yaitu kemakmuran bersama sebagai warga masyarakat, kemakmuran bumi atau kemakmuran ekosistem. Telah berfirman:



Artinya :

“ …Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya….” (QS. Hud : 61 ).

B. Pandangan Islam Tentang Kebudayaan

Kata kebudayaan sebagai padanan culture dalam bahasa Inggris tidak pernah akan ditemukan dalam bahasa Arab. Padanan kebudayaan dalam bahasa Arab adalah as-Saqafah atau al-hadarah (Al-Munawwir, 1984:295). Kedua kata ini tidak ditemukan dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an lebih mementingkan amal dari pada gagasan (Iqbal, 1981:v), atau terminal terakhir agama adalah amal - yaitu kesatuan antara gagasan dan perbuatan (Wach, 1966:27) - dalam pengertian demikian amal identik dengan kebudayaan dalam arti proses. Pendek kata, berawal dari gagasan hingga berakhirnya yaitu perbuatan.


1. Akal dan Fungsinya.

Akal ialah potensi ilmiah untuk membedakan mana yang haq dan mana yang batil, mana yang benar dan yang salah, mana yang hidayah dan yang sesat (Ibrahim Mazkur, 1979:120) dan penglihatanya melebihi potensi indra. Di samping itu akal dapat mancegah gejolak hawa nafsu (al-Ghazali, I [t.th]: 84/85), meskipun biasa juga sebaliknya, yaitu akal dan hati (al-Qalb) justru di kuasai oleh hawa nafsu. Dalam hal ini Allah berfirman:


Artinya :

“ Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka Apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? “. ( QS Al Furqan : 43 ).

Ketika hawa nafsu dapat menguasai akal dan situasi atau menguasai eksistensi manusia secara utuh, menurut Islam orang itu berubah eksistensinya menjadi non manusia, binatang, bahkan menjadi eksistensi paling rendah, yaitu asfalasafilin: derajad yang serendah-rendahnya.



Artinya :

“ dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai “. ( QS. Al A’raf : 179 ).


Artinya :

“ kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka) “ ( QS. At Tin : 5 ).

Dengan demikian dapat dipahami bahwa nafsu itu bertempur secara terus menerus melawan akal dan hati. Mana yang dapat memenangkan pertempuran itu, Dialah yang dapat mendesakkan untuk bebuat atau beramal dan inilah yang disebut eksistensi atau hakikat kedirianya. Manusia akan tetap eksistensinya sebagai manusia jika ia senantiasa diterangi oleh akal dalam beramal atau berbudaya dan ia akan berubah menjadi non manusia jika nafsu yang memenangi dalam berbuat atau beramal. Secara realitas eksistensi manusia adalah amal.

Persoalan pokok adalah bagaimana supaya akal dapat menguasai nafsu. Secara potensial dan naluriah akal dapat membedakan mana yang benar dan yang salah. Agar akal dapat menguasai nafsu, Allah telah memberi petunjuk kebenaran teradap akal. Jika akal mengindahkan petunjuk Allah pastilah ia dapat menaklukan nafsu. Menurut Al quran, fungsi akal cukup banyak, antara lain:

a. Untuk memahami Al Quran, Allah telah berfirman:



Artinya :

“ Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya “. ( QS. Yusuf : 2 ).

b. Untuk memmahami tanda-tanda kebesaran Allah


Artinya :

“ lalu Kami berfirman: "Pukullah mayat itu dengan sebahagian anggota sapi betina itu !" Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dam memperlihatkan padamu tanda-tanda kekuasaanNya agar kamu mengerti “. ( QS. Al Baqarah : 73 ).

c. Untuk memahami jika manusia tidak mau mengindahkan petunjuk Allah akibatnya adalah Neraka tempat kembali. Allah berfirman:



Artinya :

“ dan mereka berkata: "Sekiranya Kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah Kami Termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala". (َ QS Al Mulk 67 : 10 ).

d. Untuk memahami proses dinamika kehidupan manusia, Allah berfirman:



Artinya :

“ Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan “. ( QS. Al Baqarah : 164 )

Dari ayat-ayat ini dapat dipahami akal itu berfungsi untuk memahami realitas kongkrit dan realitas metafisis, gejala alam, realitas gaib seperti kehidupan neraka, dan simbol-simbol tanda-tanda kekuasaan Allah dan masih banyak fungsi lainnya. Demikian bagannya :







Di muka pernah dijelaskan bahwa realitas, termasuk kebudayaan, senantiasa berubah dan sementara itu kebudayaan adalah buah dari aktualisasi akal. Dengan demikian eksistensi manusia adalah menggagas, berpikir terus menerus dan selalu menghasilkan kebudayaan. Jadi eksistensi manusia adalah berpikir dan beramal terus menerus. Berhenti sesaat, saat itulah eksistensi berhenti.


2. Qalbu (Intuisi) dan fungsinya

Padanan qalbu dalam bahasa Indonesia adalah hati (Al-Munawwir, 1984:1233) dan mempunyai pengertian:

a. Bersifat fisik, yaitu bagian organ tubuh berada dalam dada sebelah kiri dan merupakan salah satu sumber kehidupan.

b. Bersifat immaterial, rohaniah, dapat menangkap segala pengertian dan arif (al-Ghazali, III:3-4)

Al-Qalb memiliki sinonim sadr, lubb, fuad dan syaghaf (Asy’rie, 1984:109) al-qalb disebut sadr (dada) karena qalb menjadi terbitnya nurul Islam. Allah berfirman:



Artinya :

“ Maka Apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya ?)…. ”. ( QS. Az Zumar : 22 ).

al-qalb disebut lubb tersebut dalam



Artinya :

“ Allah menyediakan bagi mereka azab yang keras, Maka bertakwalah kepada Allah Hai orang-orang yang mempunyai akal; (yaitu) orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah telah menurunkan peringatan kepadamu “. ( QS. At Thalaq : 10 ).

al-qalb disebut fuad umpama firman Allah



Artinya :

“ hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya “. ( QS. An Najm : 11 ).

al-qalb disebut syaghaf umpama firman Allah



Artinya :

“ dan wanita-wanita di kota berkata: "Isteri Al Aziz menggoda bujangnya untuk menundukkan dirinya (kepadanya), Sesungguhnya cintanya kepada bujangnya itu adalah sangat mendalam. Sesungguhnya Kami memandangnya dalam kesesatan yang nyata". ( QS. Yusuf : 30 ).

Menurut Al-quran al-qalb memiliki banyak fungsi, antara lain:

a. berzikir kepada Allah, Allah berfirman



Artinya :

“ (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram “. ( QS. Ar Ra’du : 28 ).

b. memahami kebenaran dan kekuasaan Allah yang tersembunyi di balik peristiwa kemanusiaan



Artinya :

“ Maka Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada “. (QS. Al Hajj: 46)

Di samping itu hati disebut dalam kaitannya dengan

a. kehidupan sesudah mati, umpama Allah berfirman



Artinya :

“ (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih “. (QS Asy Syu’ra: 88–89)

Allah berfirman



Artinya :

“ dan Dia menurunkan orang-orang ahli kitab (Bani Quraizhah) yang membantu golongan-golongan yang bersekutu dari benteng-benteng mereka, dan Dia memesukkan rasa takut ke dalam hati mereka. sebahagian mereka kamu bunuh dan sebahagian yang lain kamu tawan “. ( QS Al Ahzab : 26 ).

Allah berfirman



Artinya :

“ agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya. dan Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu, benar-benar dalam permusuhan yang sangat “. ( QS Al Hajj : 53 ).

Jika dipahami secara saksama qalb/intuisi berperan seperti akal, bahkan sesungguhnya qalb adalah akal yang lebih tinggi (Iqbal,1981), hanya saja obyeknya berbeda. Akal memahami realitas kongkrit atau fisik (benda, hal, peristiwa), qalb memahami realitas metafisik. Akal menangkap kebenaran sepotong-potong dan qalb menangkap kebenaran secara keseluruhan. Akal memusatkan perhatiannya pada kebenaran yang sementara dan qalb memusatkan perhatiannya pada kebenaran yang bersifat kekal (Iqbal, 1981:2-3). Dalam aktifitas budaya keduanya tentu saling melengkapi. Bagan alur aktifitas budaya dapat digambarkan sebagi berikut





C. Berbudaya

Berbudaya pada hakikatnya adalah perwujudan diri dari masyarakat. Dalam berbudaya, beramal atau bereksistensi manusia disamping menciptakan nilai juga terikat nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Ada banyak nilai yang hidup di tengah-tengah masyarakat seperti nilai etika, estetika, logika, religius dan yang lainnya. Medan aktifitas budaya pun amat luas antara lain tentang kehidupan sosial, ekonomi, politik, pendidikan, kesenian, ilmu teknologi, dan aneka ritus, tradisi, maupun sarana kegiatan agama, yang masing-masing bisa mewujud sebagai ciptaan nilai tetapi juga telah menjadi nilai. Artinya manusia menciptakan nilai dan ia terjerat dalam jaring-jaring nilai itu.

Dalam beraktifitas manusia tidak bebas nilai, dapat dinilai baik atau dinilai buruk, dan manusia tidak pernah tidak berbuat. Ketika ia memilih tidak berbuat, pada dasarnya adalah berbuat untuk tidak berbuat. Pilihannya pasti tidak terlepas dari tanggung jawab moralitas baik-buruk. Ketika seseorang melihat kecelakaan di jalanan dan ia cukup dekat dengan itu, kemudian ia tidak berbuat untuk menolong. Atas dasar nilai yang hidup di tengah-tengah masyarakat atau nilai budaya yang hidup, ia dinilai tidak baik. Pendek kata kebudayaan itu dapat dinilai baik atau buruk. Permisifme, yaitu budaya serba membolehkan seperti: demonstrasi yang merusak, anarkhis, dan mengganggu ketertiban umum adalah tidak baik. Gemar membantu orang lain yang kesulitan adalah baik. Baik atau buruk adalah kodrati manusia. Dalam hal ini Allah berfirman



Artinya :

“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya“. ( QS Asy Syam : 8 ).

Karenanya, ketika manusia berbuat baik, pada saat itu menjadi langkah awal untuk berbuat baik lanjutannya atau langkah awal berbuat tidak baik, begitu pula sebaliknya. Manusia tidak bisa hanya di bilik yang baik terus demikian pula sebaliknya.

Persoalannya adalah bagaimana ia bisa menekan sekecil mungkin kejahatan dan sebanyak mungkin ketaqwaan. Untuk ini Allah menjanjikan keberuntungan bagi yang taqwa dan kerugian bagi yang jahat. Lanjutan ayat tadi demikian



Artinya :

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya “. ( QS Asy Syam : 9 – 10 ).

Bereksistensi, beramal, atau beraktifitas budaya baik dalam agama Islam disebut as-salih, al birr, al-khair, al-hasan, dan al-ma’ruf; dan yang buruk disebut al-fasad (rusak), asy-syarr (buruk), al-munkar (keburukannya juga menimpa orang lain), as-su’ (jelek), al-fahisyah (keji). Menurut Islam baik atau buruk suatu amal, eksistensi, aktifitas budaya kembali kepada dirinya



Artinya :

“ Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, Maka itu adalah untuk dirinya sendiri, dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, Maka itu akan menimpa dirinya sendiri, kemudian kepada Tuhanmulah kamu dikembalikan “. ( QS Al Jasiyah : 15 ).

Artinya, Islam lebih mementingkan kebudayaan sebagai proses dari pada kebudayaan sebagai produk, sekalipun tidak memandang jelek terhadap produk budaya yang tidak jelek. Islam akan memandang jelek terhadap produk baik manakala tidak diproses atau difungsikan secara baik (al-birr, al-khair, al-hasan, as-salih, dan al-ma’ruf). Nabi bersabda bahwa salah satu tanda-tanda hari kiamat yang berarti kehancuran adalah apabila suatu masa nanti orang-orang yang berjalan tanpa alas kaki, cara berpakaian laksana telanjang sedang keadaannya amat miskin, dan hanya sebagai pengembala ternak tetapi berlomba-lomba dalam membuat bangunan (hadis, at-Turmuzi, IV:120).

. . . فمتى ا لسا عة ؟ قا ل ما ا لمسؤ ل عنها اعلم من ا لسا ئله قا ل فما ا ما ر تها ؟ قا ل : ا ن تلد ا لا مة ر بتها وا ن ترى ا لحفاة ا لعراء ا لعا لة رعاء ا لشاة يتطا و لون فى ا لبنيا ن

.

). . . kapan kiamat itu terjadi? Jawab (Muhammad): bukankah orang yang ditanya tidak lebih tahu dari penanya, apa tanda-tandanya?. Penanya (Jibril) menjawab: yaitu ketika seorang budak melahirkan tuannya, dan engkau menyaksikan orang-orang yang berjalan dengan tanpa alas kaki, telanjang, miskin, dan hanya berprofesi sebagai penggembala kambing tetapi berlomba-lomba dalam hal bangunan(

Tipoligi kaum (manusia) seperti itu adalah orang yang sederhana intelektualitasnya (budak) dan bobrok mentalitas maupun moralitasnya. Bagaimana terhadap ibu kandungnya dijadikan sebagai budak? Dapat dicontohkan disini bahwa masjidnya bagus tetapi sepi dari syiar Islam, tingkatan keulamaan imam masjid amat terbatas. Dalam keadaan demikian dapat dikatakan bahwa msjid itu, terutama dilihat dari segi fungsi mendekati ambang kehancuran. Jadi budaya sebagai proses jelek, tetapi budaya sebagai produk fisik baik, tak lama kemudian akan ambruklah kebudayaan itu baik dalam arti proses maupun produk. Sebaliknya Islam akan memandang jauh lebih baik manakala beramal (budaya sebagai proses) baik dan hasilnya (budaya sebagai produk) juga baik. Nabi pernah bersabda “ Mukmin itu baik, tetapi mukmin yang kuat itu lebih baik”


D. Perbuatan Dalam Konteks Kebudayaan

Dalam aktifitas budaya atau perbubuatan yang dapat diamati dengan indera pada dasarnya adalah realisasi dari akal. Melalui pikiran akal memahami realitas kongkret dan melalui qalbu (intuisi) akal memahami dibalik realitas itu seperti Tuhan, firman dan realitas metafisik lainnya. Jadi di dalam berbuat dalam konteks kebudayaan adalah kesatuan akal, pikiran, qalbu, dan perbuatan.

Perbuatan ini pada dasarnya adalah karya kreatif karena pada level sebelum teraktualisasikan masih berbentuk konsep gagasan, atau rencana yang nanti akan diwujudkan dalam kenyataan. Dengan demikian dalam perbuatan ini sebenarnya terjadi hubungan timbal balik antara alam sekitar dengan dirinya. Ia secara konseptual memilih dan memilah barang-barang tertentu, peristiwa tertentu, unsur-unsur tertentu, kemudian menyusunnya atas dasar tertib tertentu hingga terjadilah sesuatu produk tertentu pula, bahkan dalam waktu yang bersamaan manusia kreatif, pencipta kebudayaan ini sekaligus berdialektis dengan Tuhan. Seuntai syair berikut mengilustrasikan:

Thou dist create night and I made the lamp

Thou dist create clay and I made the cup

Thou dist create deserts, mountains and forests

I produced the orchards, gardens and grocests

It is I who turneth stone into a mirror

And it is I turneth potion into an antidote (Audah [mengutip Iqbal], 1982:XVI)

Artinya

Kau ciptakan malam dan aku yang membuat lampu

Kau ciptakan tanah liat dan aku yang membuat piala

Kau ciptakan sahara, gunung, dan hutan belantara

Aku juga yang membuat kebun anggur, taman-taman, dan padang tanaman

Akulah yang mengubah batu menjadi cermin

Akulah yang mengubah racun menjadi obat penawar

Dalam Islam justru memuji kepada siapapun yang menciptakan sesuatu (berkreasi) tentang sesuatu yang baik. Pahalanya akan tetap mengalir terus semakin lama aliran itu semakin banyak, sebanyak orang yang mengikutinya - budaya dalam arti yang telah mapan, demikian sebaliknya jika kreatifitas itu jelek. Nabi bersabda (an-Nawawi, [t.th]:101)

. . . من سن فى الا سلام سنة حسنة فله ا جرمن عمل بها بعده من غير ا ن ينقص من ا جور هم شيئ و من سن فى الا سلام سنة سيئة كا ن عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غيرا ن ينقص من او زا ر هم شئ (روا ه مسلم)

. . . barang siapa yang melakukan suatu kretifitas yang baik di dalam Islam, akan memperoleh pahala dan pahalanya orang-orang melakukannya (kreatifitas) sesudahnya tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka, dan barang siapa melakukan kreatifitas yang buruk di dalam Islam, ia memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang melaksanakannya (kreatifitas) sesudahnya tanpa mengurangi sedikitpun dosa-dosa mereka (H.R Muslim)

Memang kebudayaan berasal dari aksi seseorang atau sekelompok orang. Orang-orang ini biasa disebut agen kebudayaan (brouker cultural). Aksi ini direspon orang banyak, ada yang menolak dan ada yang menerima atau ada yang selektifitas. Jika pada akhirnya diterima secara luas oleh masyarakat maka aksi budaya lalu menjadi kebudayaan yang mapan (cultural folk) (winich, 1997:145)


1. Hubungan Manusia dengan Allah

Hubungan antara manusia dengan Allah dapat dijelaskan melalui kebudayaan dengan pendekatan normatif. Hanya saja norma itu lebih dominan berasal dari Allah pada aspek-aspek ritual. Hubunagn ini berpola top down (atas bawah). Allah menuntut supaya manusia menyembahNya. Aktifitas menyembah ini dalam bahasa agama disebut ibadah mahdah, seperti taharah, salat, puasa ramadan, zakat, haji, mengurus jenazah, ‘udhiyyah, ‘aqiqah, doa, dan zikir (Jalaluddin Rahmat, 1988:47). Atau hak Allah atas manusia. Allah berfirman



Artinya :

“ Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa “. ( QS Al Baqarah : 21 ).

Dalam hal ini manusia harus patuh secara mutlak kepada Allah. Sebaliknya hak manusia atas Allah adalah manusia dimuliakan dibanding seluruh ciptaanNya di alam semesta ini. Allah berfirman



Artinya :

“ dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan “. ( QS Al Isra’ : 70 ).

Selain itu, manusia dijadikan wakil-Nya di bumi ini. Allah berfirman



Artinya :

“ ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi…." ( QS Al Baqarah : 30 ).

Manusia dibekali ilmu pengetahuan: wa allama Adam al-asma a kullaha (dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama benda semuanya



Artinya :

“ dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar! ". ( QS Al Baqarah : 31 ).

Wujud nyata ajaran Allah kepada manusia itu adalah konseptualisasi atas benda-benda (Iqbal, 1981) yang pada akhirnya menjadi ilmu dan ketrampilan. Itulah sebabnya manusia tidak terkalahkan kepandaiannya dibanding seluruh makhluk di alam semesta ini.


2. Hubungan Manusia dengan Manusia

Secara realistis manusia tidak bisa hidup sendirian. Ia pasti membutuhkan bantuan orang lain. Untuk itu manusia menjalin kerja sama, melakukan kesepakatan-kesepakatan bersama untuk melangsungkan hidup.

Dalam banyak hal antara manusia satu dengan yang lainnya memiliki individualitas dan khas milik pribadi. Pendambaan yang berlebihan terhadap hak privasi tentu menghambat kerja sama antar warga. Untuk itu dituntut ada pengorbanan dari masing-masing pihak, ada toleransi diantara manusia, dan saling hormat-menghormati. Dalam hal ini Allah berfirman



Artinya :

“ …dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran… “ (QS Al Maidah : 2 )

Jika tidak saling menghormati dan menghargai satu sama lain akan menimbulan krisis dan konflik satu sama lainnya. Allah berfirman



Artinya :

“ Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu…” ( QS Ali Imran : 159 ).


3. Hubungan Manusia dengan Alam Semesta

Secara realistis manusia bergantung sepenuhnya terhadap alam sejak mulai menghirup udara, butuh kehangatan, makan, minum, hingga beristirahat dari berbagai macam aktifitas. Ia tidak bisa hidup tanpa alam. Menurut norma Islam seluruh isi alam ini untuk manusia dalam menopang kehidupannya. Allah berfirman



Artinya :

“ Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu… “ ( QS Al Baqarah : 29 )

Penggunaan alam sebagai fasilitas hidup manusia bukan penggunaan semena-mena, melainkan harus tetap dalam keadaan baik yang dapat dirumuskan sebagai harmoni alam. Allah berfirman

ولا تفسد وا فى الا رض بعد ا صلحها

dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah Allah memperbaikinya...(Q.S al-Hadid/57:25).

Pengrusakan alam semesta sangat tidak disukai oleh Allah. Allah berfirman



Artinya :

“ ….dan mereka berbuat kerusakan dimuka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan “. ( QS Al Maidah : 64 ).

Sebaliknya Allah amat menyukai orang-orang yang berbuat baik terhadap alam lingkungan. Demikian Allah berfirman



Artinya :

“ dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik “ ( QS Al A’raf : 56 ).

Ringkasnya, alam semesta atau alam lingkungan fisik menjadi medan aktifitas budaya manusia namun tetap dalam kondisi yang dapat mendukung kehidupan manusia itu sebdiri. Eksplorasi alam dengan tidak mengindahkan peringatan-peringatan pencipta alam tentu akan berakibat rusaknya alam yang pada akihirnya akan menghancurkan manusia itu sendiri.


E. Budaya Akademik.

Telah dijelaskan di muka bahwa hakekat manusia terletak pada amal atau eksistensi diri atau penciptaan kebudayaan yang terus menerus untuk mencapai kesempurnaan dirinya sebagai manusia (full human). Yang menghentikan proses penciptaan kebudayaan ini hanya kalau dia meninggal. Amal, bereksistensi, atau aktifitas budaya (penciptaan, pelestarian, perubahan, penyempurnaan, pemantapan) merupakan kesatuan dari akal, qalbu, dan aksi budaya serta kesadaran akan tujuannya. Tujuan seluruh aktifitas kebudayaan adalah pelaksanaan perintah Tuhan. Allah berfirman



Artinya :

“ dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku “. ( QS. Adz Dzariyat : 56 ).

Wujud penyembahan atau pengabdian manusia kepada Allah adalah melaksanakan tugas sebagai khalifah, memakmurkan bumi, berlaku baik terhadap alam semesta, sesama manusia, dan Allah. Penghambaan, penyembahan, atau pengabdian itu sebenarnya bukan untuk menambahkan agar Allah semakin agung, melainkan kepada manusia itu sendiri. Allah tak berkurang sedikitpun kesempurnaannya. Allah berfirman:



Artinya :

“…. tetapi jika kamu kafir Maka (ketahuilah), Sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji “. ( QS An Nisa’ : 131 )



Artinya :

“ ….dan jika kamu kafir, (maka kekafiran itu tidak merugikan Allah sedikitpun) karena Sesungguhnya apa yang di langit dan di bumi itu adalah kepunyaan Allah, dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana “. ( QS An Nisa’ : 170 )



Artinya :

“ dan Musa berkata: "Jika kamu dan orang-orang yang ada di muka bumi semuanya mengingkari (nikmat Allah) Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji ". ( QS. Ibrahim : 8 ).



Artinya :

“ jika kamu kafir Maka Sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu….” ( QS. Az Zumar : 7 ).


Mahasiswa adalah bagian kelas atau spesies manusia. Mahasiswa menempati posisi penting, strategis, dan terhormat dari kelas manusia. Lebih banyak manusia yang gagal atau kandas dalam mencita-citakan dirinya menjadi mahasiswa. Tidak sedikit orang yang menyatakan “masa depan suram” ketika mereka tidak diterima di perguruan tinggi di mana mereka melakukan test penerimaan mahasiswa baru. Karena itu menjadi mahasiswa merupakan anugerah Allah yang pantas disyukuri. Allah berfirman:



Artinya :

“ dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih ". ( QS Ibrahim : 7 ).

Karena eksistensi mahasiswa adalah belajar, maka ia disebut sebagai manusia pembelajar yang pengertiannya amat luas, yaitu bukan hanya belajar di sekolah atau perguruan tinggi, bukan hanya kursus-kursus dan pelatihan (on the job atau off the job) di berbagai perusahaan, melainkan mencakup:

a. mulai bersikap jujur, pertama-tama terhadap diri kita sendiri

b. mulai menerima tanggung jawab yang sesuai dengan kapasitas diri kita

c. mulai dapat diandalkan dan di pegang kata-katanya

d. mulai mengembangkan kepedulian sosial dan lingkungan

e. mulai bersikap adil terhadap sesama tanpa diskriminasi

f. mulai mengembangkan keberanian menyatakan dan mengaktualisasi diri

g. mulai menjadi rasional tanpa harus memutlakkan buah pikiran kita yang relatif itu

h. mulai rendah hati dan menyadari keterbatasan diri

i. mulai pendisiplin diri (pengaharapan, hasrat, energi, waktu)

j. mulai bersikap optimis tanpa menjadi naif

k. mulai menyatakan komitmen dan menepatinya

l. mulai memprakarsai sesuatu yang baik sekalipun tidak profitable

m. mulai bertekun (perseverance) dalam mengerjakan sesuatu

n. mulai mampu bekerja sama dengan orang-orang yang berbeda dengan kita

o. mulai saling menyayangi satu sama lain

p. mulai memberikan dorongan dan membangkitkan hati yang lesu

q. mulai memaafkan dan mengampuni kesalahan orang

r. mulai murah hati dan senag berbagi

s. mulai memanfaatkan peluang dan kesempatan

t. mulai mengahayati persudaraan sesama umat, sesama bangsa, dan sesama manusia.

Semboyan manusia pembelajar antara lain (Harefa,2000:vi) “Belajar dan mengajar secara berkesinambungan harus menjadi bagian dari pekerjaan”, begitu kata Peter F. Drucker. Dan hakikat manusia pembelajar itu sendiri adalah:

Setiap orang (manusia) yang bersedia menerima tanggung jawab untuk melakukan dua hal penting, yakni: pertama, berusaha mengenali hakikat dirinya, potensi dan bakat-bakat terbaiknya, dengan selalu berusaha mencari jawaban yang lebih baik tentang beberapa pernyataan eksistensial seperti “Siapakah aku?”, “Dari manakah aku datang?”, “Ke manakah aku akan pergi?”, “Apakah yang menjadi tanggung jawabku dalam hidup ini?”, dan “Kepada siapa aku harus percaya?”; dan kedua, berusaha sekuat tenaga untuk mengaktualisasikan segenap potensinya itu, mengekspresikan dan menyatakan dirinya sepenuh-penuhnya, seutuh-utuhnya, dengan cara menjadi dirinya sendiri dan menolak untuk dibanding-bandingkan dengan segala sesuatu yang “bukan dirinya”.

Dalam Islam dijelaskan bahwa wahyu yang pertama adalah perintah belajar (membaca) yang tertulis (kitab suci) atau yang tidak tertulis (alam semesta). Allah berfirman



Artinya :

“ bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan “. (QS Al ‘Alaq : 1 ).

Esensi ayat ini manusia (atas nama Allah) hendaklah membaca, mempelajari apa saja yang diciptakan Allah. Manusia, khususnya mahasiswa, yang setengah hati atau kurang memiliki daya fitalitas dalam membaca, meneliti fenomena alam ciptaan Allah untuk dimanfaatkan sebagai penunjang kehidupan manusia, tidak menghargai diri sebagai insan akademis.

Harga diri insan akademis dapat dirumuskan: pertama, mengenai sikap perasaan, dan evaluasi mengenai diri sendiri; kedua, mengenai proses berpikir, mengingat, dan persepsi mengenai diri sendiri (Evita & Sutarkinah, 2006:40). Artinya watak diri insan pembelajar adalah keseluruhan potensi internal diri itulah yang tampil mengemuka sehingga dapat dibedakan secara tegas dengan insan non akademis, dan insan non pembelajar.

Budaya insan akademis bukanlah jenis manusia yang bekerja atas dorongan emosional “hantam dulu urusan belakang”, melainkan penerapan harga diri secara utuh sebagaimana baru saja disebutkan itu dan emosi menjadi salah satu komponennya, khususnya menjadi pendorong untuk memperoleh sukses secara akademis yang memiliki karakter berpikir kritis, kerja keras, jujur, dan fair dalam menggapai prestise akademis dan selanjutnya bermuara pada kualitas diri sebagai manusia yang sepenuh-penuhnya. Indikasinya antara lain: memiliki pengetahuan, berilmu, sikap belajar lebih lanjut, unggul, kompeten, berkepribadian siap pakai, produktif, dan profesional (Harefa, 2000:64). Yang secara singkat menurut Islam adalah wakil Tuhan di bumi (khalifat-llah fi al ard) yang memiliki tanggung jawab kehidupan alam semesta secara makmur, damai, dan sejahtera.

Sebagai penutup dalam uraian ini, seuntai sajak yang menantang untuk menjadi manusia dewasa lahir batin, patut direnungkan:


Life is a game ... play it

Life is struggel ... face it

Life is beauty .. praise it

Live is puzzle ... solve it

Life is opportunity ... take it

Life is sorrowfull ... experience it

Life is a song ... sing it

Life is a goal ... achieve it

Life is a mission ... fulfill it


F. Pembentukan Kebudayaan: Etos Kerja, Sikap Terbuka, dan Adil


1. Etos Kerja

Telah disebutkan terdahulu hakikat manusia terletak pada eksistensinya. “Eksistensinya” berarti berpikir untuk mencipta yang menghasilkan produk atau ciptaan. Dengan kata lain hakikat manusia adalah kerja. Konsekuensi logisnya adalah berhenti bekerja hilang hakikatnya sebagai manusia. Telah disebutkan pula bahwa Islam lebih mementingkan amal dari pada gagasan atau terminal terakhir adalah amal. Amal identik dengan kerja dan sekali lagi hakikat manusia adalah kerja.

Alquran sendiri memandang amal itu begitu penting. Kata amal dan berbagai kata yang seakar kata dengannya seperti ya’malun, ta’malun, ‘amila, i’malu dan yang sejenisnya disebut dalam Al-Quran sebanyak 192 kali. Kata amal shalih yang dirangkai dengan kata iman sebanyak 46 kali. Ini berarti hakikat manusia atas dasar pendekatan kebudayaan maupun agama adalah sama yaitu terletak pada kerja atau amal. Kesimpulan ini didukung oleh pepatah:

ا لعلم بلا عمل كا لنخل بلا عسل

(ilmu tanpa amal bagaikan lebah tanpa madu) atau

ا لعلم بلا عمل كا لشجر بلا ثمر

(ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah).

Dengan demikian manusia yang tidak beramal atau tidak bekerja hakikat kemanusiaannya tidak utuh, atau bahkan hilang hakikat kemanusiaannya.

Supaya manusia tidak hilang hakikat kemanusiaannya, Rasulullah mengajarkan kepada umatnya supaya terjauh dari sifat pemalas. Demikian doa Rasul:

للهم ا نى اعو ذ بك من الكسل والعجز والبخل (روا ه التر مذى عن زيد بن ارقم)

(ya Allah sesungguhnya aku mohon perlindungan Engakau dari kemalasan, kelemahan, dan kebakhilan. H.R at-Turmuzi dari ibn Arqam (at-Turmuzi, V:226)).

Malas, lemah kepribadian dan bakhil adalah penghalang utama dalam menumbuhkan etos apapun termasuk etos kerja. Sebaliknya Islam memotifasi demikian bersemangat supaya setiap pemeluknya rajin beramal atau bekerja. Allah berfirman:



Artinya :

“ Barangsiapa membawa amal yang baik, Maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan Barangsiapa yang membawa perbuatan jahat Maka Dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan) “.( QS Al An’am : 160 ).

Dalam ayat tersebut menunjukkan bahwa siapa yang beramal baik pahalanya dilipatgandakan 10 kali lipat. Sebelas kali Allah berfirman bahwa orang yang beramal baik itu berakhir dengan keberuntungan (Abd al-Baqi, [t.th.]:668). Satu diantara:



Artinya :

“ Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan “. ( QS Al Hajj : 77 ).

Kata kemenangan dalam ayat itu sama dengan keberuntungan, dapat diperhatikan dalam ayat berikut:



Artinya :

“ Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman “.(QS. Al Mu’minun: 1)

Keberuntungan atau kemenangan dalam ayat tersebut dan ke 11 yang lain dalam Al-Quran selalu berarti sebagai akibat dari amal baik. Keberuntungan sebagai amal atau kerja bisa berupa pahala yang dinikmati besok di hari akhirat kelak, bisa di kehidupan dunia sekarang. Bahkan sesungguhnya, karena Islam tidak mengenal paham sekularisme, yaitu pemisahan urusan dunia dan urusan akhirat (agama), justru setiap urusan apapun dalam Islam selalu mengandung dimensi dunia dan akhirat. Karena itu di dalam Islam dianjurkan mencari kebahagiaan dunia dan kehidupan akhirat sekaligus. Allah berfirman:



Artinya :

“dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan Kami, berilah Kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah Kami dari siksa neraka“. ( QS. Al Baqarah : 201 ).

Kebahagiaan (hasanah) tidak pernah datang begitu saja kepada seseorang yang berpangku tangan. Hanya kerja keras kebahagiaan juga takkan didapat. Tetapi kebahagiaan selalu merupakan perpaduan antara kerja keras dan anugerah Allah. Karena itu Allah juga memerintahkan supaya di dalam mencari kehidupan itu tidak setengah-setengah, dunia saja atau akhirat saja, melainkan keduannya.



Artinya :

“ dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan “. ( QS. Al Qashash : 77 ).

Kemudian, di dalam kerja keras mencari kebahagiaan baik dunia maupun akhirat itu ada kode etiknya, yaitu tidak boleh berbuat kerusakan, kerusakan apapun (diri sendiri, hubungannya dengan orang lain, terhadap tetumbuhan, binatang, maupun alam semesta).


2. Sikap Terbuka

Inti sikap terbuka adalah jujur, dan ini merupakan ajaran akhlak yang penting di dalam Islam. Lawan dari jujur adalah tidak jujur. Bentuk-bentuk tidak jujur antara lain adalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sebagai bangsa, kita amat prihatin, di satu sisi, kita (bangsa Indonesia) merupakan pemeluk Islam terbesar di dunia, dan di sisi lain sebagai bangsa amat korup. Dengan demikian terjadi fenomena antiklimak. Mestinya yang haq itu menghancurkan yang bathil, justru dalam tataran praktis seolah-olah yang haq bercampur dengan yang bathil. Tampilan praktisnya, salat ya, korupsi ya. Ini adalah cara beragama yang salah.

Cara beragama yang benar harus ada koherensi antara ajaran, keimanan terhadap ajaran, dan pelaksanaan atas ajaran. Dapat dicontohkan di sini, ajaran berbunyi:

Artinya :

“ ….Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar…..” ( QS. Al ‘Ankabut : 45 ).

Manusia merespon terhadap ajaran (wahyu) itu dengan iman. Setelah itu ia mewujudkan keimanannya dengan melakukan salat dan di luar pelaksanaan salat mencegah diri untuk berbuat keji dan munkar.

Termasuk koherensi antara ajaran, iman, dan pelaksanaan ajaran adalah jika terlanjur berbuat salah segera mengakui kesalahan dan memohon ampunan kepada siapa ia bersalah (Allah atau sesama manusia). Jika berbuat salah kepada Allah segera ingat kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya.

Artinya :

“ dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau Menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka…. “ ( QS. Ali Imron : 135 ).

Jika berbuat salah kepada manusia segera meminta maaf kepadanya tidak usah menunggu lebaran tiba. Pengakuan kesalahan baik terhadap Allah maupun kepada selain-Nya ini merupakan sikap jujur dan terbuka. Menurut Islam sikap jujur dan terbuka termasuk baik. Nabi bersabda:

ا ن ا لصد ق يهدى ا لى ا لبر وا ن ا لبر يهدى ا لى ا لجنة وا ن ا لرجل يصد ق حتى يكتب عند الله صد يقا. وا ن ا لكذ ب يهد ا لى ا لفجور. وا ن ا لفجور يهدى ا لنا ر. وا ن الرجل ليكذ ب حتى يكتب عند لله كذا با( متفق عليه)

(Sesungguhnya jujur itu menggiring ke arah kebajikan dan kebajikan itu mengarah ke surga. Sesungguhnya lelaki yang senantiasa jujur, ia ditetapkan sebagai orang yang jujur. Sesungguhnya bohong itu menggiring ke arah dusta. Dusta itu menggiring ke neraka. sesungguhnya lelaki yang senantiasa berbuat bohong itu akan ditetapkan sebagai pembohong. Muttafaq ‘alaih (an-Nawawi, [t.th.]:42)).


3. Bersikap Adil

Secara leksikal adil dapat diaritikan tidak berat sebelah, tidak memihak, berpegang kepada kebenaran, sepatutnya, dan tidak sewenang-wenang (Kamus Besar, l990 :6-7) Dari masing-masing arti dapat dicontohkan sebagai berikut: (1) Cinta kasih seorang ibu terhadap putra-putrinya tidak berat sebelah. (2) Dalam memutuskan perkara, seorang hakim tidak memihak kepada salah satu yang bersengketa.(3) Di dalam menjalankan tugasnya sebagai hakim, Hamid selalu berpegang kepada kebenaran. (4) Sudah sepatutnya jika akhlaqul-karimah guru diteladani oleh murid.(5) Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang tidak berbuat sewenang-wenang terhadap yang dipimpin. Dari masing-masing contoh ini dapat disimpulkan bahwa sikap adil amat positif secara moral.

Karena sifat yang positif, tentu sikap adil didambakan oleh banyak orang. Dalam contoh-contoh di atas, sikap adil bersikap positif atau menguntungkan orang lain. Adil juga dapat dartikan tingkah laku dan kekuatan jiwa yang mendorong seseorang untuk mengendalikan amarah dan syahwat dan menyalurkannya ke tujuan yang baik (al-Hufiy, 2000: 24). Dalam definisi ini dapat dipahami bahwa adil adalah kondisi batiniah seseorang yang berbentuk energi. Energi ini mendesak keluar untuk mengendalikan amarah dan kemauan-kemauan hawa nafsu sehingga perbuatan yang keluar menjadi baik. Yang mestinya orang itu menuruti hawa nafsu, karena kendali sikaprbuatannya menjadi terarah, tidak merugikan diri sendiri dan orng lain.

Adil dapat diartikan menempatkan berbagai kekuatan batiniah secara tertib dan seimbang (al-Hufiy, 2000 :26). Kekuatan yang dimaksud adalah al-hikmah, asy-syaja’ah, dan al-‘iffa.al-Hikmah berarti kecerdasan. Orang cerdas dapat membedakan antara yang benar dan salah, baik dan buruk, haq dan batal secara tepat, tetapi belum tentu ia selalu memilih yang benar, yang baik, dan yang haq. Asy-syaja’ah berarti berani tanpa rasa takut. Al-‘ffah berarti suci. Ketiga sifat utma ini jika tidak seimbang menjadi tidak baik. Orang amat cerdas atau genius tetapi kecerdasannya dapat dijadikan alat untuk mengelabuhi orang lain karena tidak ada ‘iffah di dalam dirinya. Orang selalu berani menangani setiap masalah yang dihadapi, tentu akan menampakkan profil preman karena tidak ada al-hikmah dan ‘iffah di dalam dirinya. Orang cerdas dan berani lalu digunakan untuk mengeruk kekayaan negara secara tidak syah adalah tidak baik karena tidak ‘iffah di dalam dirinya. Orang selalu hanya memilih kesucian dalam semua suasana secara terang-terangan tentu dapat membahayakan diri sendiri.

Jika antara al-hikmah, asy-syaja’ah, dan al-‘iffah berpadu secara seimbang dalam diri seseorang, maka orang itu akan bersikap adil. Orang berani melakukan sesuatu setelah ditimbang-timbang bahwa sesuatu itu baik menurut akal dan menurut pertimbangan syariat juga baik . inilah gambaran perbuatan adil. Berarti, ia berani berbuat karena benar. Orang tidak berani berbuat juga karena benar, adalah bersikap adil, bukan karena takut. Dengan dimikian adil adalah puncak dari ketiga sifat utama tersebut.

Islam memandang sikap adil amat fundamental dalam struktur ajaran. Kata adil dan berbagai turunannya seperti : ya’dilun, i’dilu, ‘adlun, dan ta’dili diulang sebanyak 28 kali di dalam Alquran. Karena itu Allah memerintah kepada kita supaya berlaku adil dalam semua hal. Allah berfirman:

Artinya :

“...Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa...” (QS. Al Maidah: 8).

Kata adil sinonim dengan al-qish. Kata ini dan berbagai derivasinya, umpama: iqshitu, al-muqshitun, dan al-qashitun terulaqng sebanyak 25 kali dalam Alquran (‘Abd al-Baqiy, [t.th.] :P690). Kadang-kadang kata adil dan kata al-qisht disebut secara besama-sama dan satu sama lain berarti sama. Contohnya adalah:

Artinya :

“ dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil “. ( QS. Al Hujurat : 9 ).

Karena baik secara rasional maupun syariah bahwa sikap adil itu adalah baik dan positif, tetapi di sisi lain kita merupakan pemeluk agama Islam terbesar dunia dan di saat yang sama dikenal sebagai bangsa dengan aneka predikat yang tidak baik seperti KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), maka untuk merubah citra buruk itu salah satu cara strategis adalah membudayakan sikap adil dalam semua lapangan kehidupan.

Untuk mewujudkan sikap adil harus dilatih terus menerus secara berkesinambungan, yang bererti pembiasaan berlaku adil. “Mulai sekarang, mulai yang sederhana, dan mulai dari diri sendiri”,Inilah komitmen untuk mulaiu pembiasaan berlaku adil. Jika langkah awal ini dapat dilalui dengan baik, tentu mudah menjalar kepada orang lain, apalagi kalau yang memulai komitmen itu adalah orang yang memiliki pengaruh di masyarakat di mana ia berada karena salah satu naluri manusia adalah meniru idola. Jika idola tidak bersikap adil, tentu para fansnya akan meniru tidak adil pula.

Dalam Islam orang yang paling pantas untuk di dudukkan sebagai idola untuk ditiru dan diteladani adalah Rasulullah SAW. Allah berfirman :


Artinya :

“ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah “. ( QS. Al Ahzab : 21 ).

Selain itu ‘Aisyah, istri Rasulullah, menyebutkan bahwa akhlak beliau adalah Al-Quran “kana khuluqulm Al-Quran” (H.R Muslim dari ‘Aisyah). Kiranya terlalu pantas jika idola pertama seluruh umat Islam adalah Rasulullah. Hingga sekarang Rasulullah adalah orang yang paling berpengaruh di dunia (rangking pertama) dari seratus orang yang paling berpengaruh di dunia (Hart, 1982:4). Cukup banyak contoh-contoh sikap adil yang ditampakkan oleh Rasulullah, antara lain:

An-Nu’man bin Basyir mengatakan, “Ayahku memberi sesuatu pemberian kepadaku. Lalu ibuku Amrah bin Rawahah berkata, “Aku tidak rela sebelum engkau persaksikan hadiah itu di hadapan Rasulullah SAW”.

Ayahku lalu menghadap Rasulullah SAW dan berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku telah membarikan suatu pemberian kepada anakku dari Amrah bin Rawahah. Kemudian aku diperintahkannya supaya bersaksi kepada Tuan!”

Rasulullah SAW lalu berkata, “Apakah engkau juga telah memberi kepada semua anakmu pemberian seperti ini?

An-Nu’man menjawab, “Tidak”.

Beliau lalu bersabda, “bertaqwalah kepada Allah dan berlaku adillah terhadap anak-anakmu!

Kemudian ayahku pulang dan menarik kembali pemberiannya.

Dan

Ada orang perempuan Makhdzumiyyah mencuri. Kejadian itu sangat orang-orang Quraisy. Mereka berkata, “Siapakah yang akan membicarakan hal ini kepada Rasulullah SAW?”

Tidak ada seorangpun yang berani kecuali (kekasih wanita itu) Usman bin Zaid r.a. Lalu ia membicarakan hal tersebut dengan Rasulullah SAW.

Beliau berkata, “Apakah kamu akan bertindak sebagai pembela dalam pelanggarana hukum Allah?” Kemudian Rasulullah SAW berdiri serta berkhotbah. Di antara isi khotbahnya beliau bersabda, “Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kamu adalah apabila ada seorang dari golongan bangsawan mencuri, mereka biarkan saja, tetapi bila yang mencuri itu dari golongan bawah (lemah), dia dijatuhi hukuman. Demi Allah andaikata Fatimah putri Muhammad mencuri, pasti akan kupotong tangannya. (Al-hufiy, 2000:189)

Dan masih banyak contoh lain tentang keadilan Rasulullah.




Latihan

1. Berbagai pengertian kebudayaan telah didefinisikan oleh para budayawan dengan berbagai macam pendekatan yang kalau disesuaikan satu sama lain berbeda pengertiannya. Dapatkan Saudara merangkumnya ke dalam sebuah definisi yang singkat, padat, namun merangkum keseluruhan makna dari masing-masing pendekatan tentang kebudayaan?

2. Konflik kebudayaan sering terjadi den merepresentasikan konflik angkatan tua dan angkatan muda, antara perkotaan dan pedesaan, antara wilayah satu dengan yang lainnya. Jelaskan darimana penyebab dan asal-usul dasar konflik kebudayaan itu?

3. Islam lebih mementingkan amal daripada gagasan atau terminal akhir agama adalah perbuatan. Jelaskan makna ungkapan ini!

4. Jelaskan proses dan rote aktifitas kebudayaan yang bermakana kepada kebudayaan sebagai produk!

5. Diantara perangkat aktifitas budaya adalah akal dan qalbu. Jelaskan pengertiannya masing-masing dan tunjukkan peran spesialisasinya masing-masing dan kerjasamanya dalam penciptaan kebudayaan!

6. Islam lebih mementingkan kebudayaan sebagai proses daripada kebudayaan sebagai produk. Jelaskan ungkapan ini dan berilah contoh sekaligus penjelasan contoh itu sehingga jawaban Saudara cukup tuntas!

7. Jawablah dengan jujur! Termasuk sebagai insan pembelajar atau bukankah Saudara? Kalau iya, jelaskan cakupan pengertian manusia sebagai insan pembelajar. Saudara harus sadar bahwa jawaban Saudara itu menentukan rangking dan posisi di mana kualitas Saudara.

8. Apakah Saudara memiliki harga diri yang terhormat dalam kapasitas Saudara sebagai insan akademis? Jelaskan di mana letak keberhargaan diri tersebut!

9. Jelaskan prosedur teknis Saudara dalam menggapai kualitas diri yang penuh (full human) sejak dari potensi internal diri hingga mewujud sebagai manusia yang berkompeten, profesional, dan bertanggung jawab!

10. “Ilmu tanpa amalbagaikan lebah tanpa madu”, Apa arti pepetah ini dalam kaitannya dengan etos kerja dalam Islam ?

11. Ternyata Islam memandang tidak baik terhadap pemalas. Bahaimana tuntunan doa Rasulullah supaya seluruh umatnya tidak menjadi pemalas ?

12. Tulislah sebuah dalil , boleh terjemahnya dalam bahasa Indonesia, yang menunjukkan motifasi amat besar supaya orang itu gemar beramal baik ?

13. Jelaskan arti adiul secara leksikal sekurang-kurangnya empat macam, kemudian buatlah contoh masing-masingnya dalam suatu kalimat singkat.

14. Adil merupakan keseimbangan dari sifat-sifat utama: al-hikmah, asy-syaja’ah, dan al-‘iffah. Jelaskan arti masing-masing istilah ini dan berikanlah co0ntoh sikap adil yang menggambarkan perpaduan dan keseimbangan ketiga sifat utama itu.

15. Mengapa contoh akhlak terbaik di dunia ini adalah Rasulullah ?



DAFTAR PUSTAKA



‘Abdal-Baqiy, Ahmad Fuad al-. Al-Mu’jam al-Mufahras li al-Faz al-Qur’an Karim. Indonesia: Maktabah Dahlan [t.th.].

An-Nawawi, Muhiyyi ad-Din Abi Zakaria Yahya bin Syaraf. Riyad as-Salihin. Surabaya.

Asy’arie, Musa. Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Alquran. Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992.

Audah, Ali (et all). Membangun Kembali Pikiran Agama Islam. Jakarta: Tintamas, 1992.

Geertz, Clifford, “The Impact of the Concept of Culture on Concept of Man”, dalam John R. Platt (ed.). New Views of the Nature of Man. Chicago: The University of Chicago Press, 1965.

Hareva, Andrias. Menjadi Manusia Pembelajar. Jakarta: Harian Kompas, 2000.

Hart, Michail H. Seratus Tokoh Paling Berpengaruh Dalam Sejarah (ter.) Junaidi HM. Jakarta: Pustaka Jaya, l982.

Al-Hufiy, Ahmad Muhammad . Keteladanan Akhlak Nabi Muhammad SAW. (terj.) Abdullah Zakiy al-Kaaf .Bandung: Pustaka Setia, 2000.

Iqbal, Mohammad. The Reconsturction of Religious Thought in Islam. Lakore: Muhammad Ashraf, 1981.

Al-Ju’fi, Abu Abdi-llah bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari. Sahih al-Bukhari, VIII. Semarang: Thoha Putra, [t.th].

Kroeber, A.L dan Kluckhon, Clyde. Cultural: a Critical Review of Concepts and Definitions. Massaschusset: The Museum, 1952.

Mazkir, Ibrahim. Mu’jam al-Falsafi. Qahirah: al-Hai’ah al-‘Ammah li asy-Syirin al-Matba’ah al-Amiriyyah, 1997.

Munawwir, A.W. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia. Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir, 1984.

Rahmat, Jalaluddin. Islam Alternatif. Bandung: Mizan, 1988.

Singgih-Salim, Evita E. Sukses Belajar di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Pandawa, 2006.

at-Turmuzi, Abu ‘Isa Muhammad bin Isa bin Saurak. Sunav at-Turmuzi, IV. Semarang: Thoha Putra, [t.th].

Wach, Joachim. The Comparative Study of Religious. New york: Columbia University Press, 1966.

Winick, Charles. Dictionary of Antropology. Tolowa. New Jersey: Littlefield-Adams & Co, 1977.