BAB IX

HUKUM SYAR’I



Standar Kompetensi


Setelah membaca bab ini mahasiswa diharapkan:

1. Mengerti hukum syar’i dan pembagiannya

2. Mengerti pembagian dan masing-masing bagian tentang hokum syar’i

3. Memahami penerapan syariat Islam di masa kini, antara lain di negeri kita Republik Indonesia

4. Mampu menaati hukum yang berlaku


A. Pengertian Hukum Syar’i Dan Pembagiannya

Dalil - Dalil Syara’ Serta Pembagian Hukum Syara’


1. Pengertian Hukum Syar’i


Menurut para ahli ushul fiqh (ushuliyah). yang dikatakan hukum syar’i ialah khitab (Sabda) pencipta syariat yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, yang mengandung suatu tuntutan, atau pilihan atau yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.

Menurut Muhammad Idris As-Syafi’i (Imam Syafi’i) dalam kitab Al-Risalah menyatakan : Syari’at adalah peraturan-peraturan yang bersumber dan wahyu ilahi mengenai tingkah laku manusia.



2. Syari’at Dilihat Dari Segi Ilmu Hukum

Norma hukum dasar yang diwahyukan Allah, yang wajib diikuti oleh orang Islam baik dalam berhubungan dengan Allah maupun dalam herhubungan dengan sesama manusia dan benda dalam bermasyarakat.

Dalam syari’at Islam atau hukum Islam, muncul ilmu pengetahuan yang dinamakan ilmu. Ilmu fiqih adalah ilmu yang mempelajari syari’at. Orang yang paham ilmu fiqih disebut Fakih. Ilmu fiqih yaitu ilmu yang bertugas memahami dan menguraikan norma- norma dasar yang terdapat dalam Al-Qur’an & Hadis.



3. Perbedaan syari’at Islam dengan fiqih adalah sebagai berikut:

a. Syari’at terdapat dalam A1-Qur’an dan Hadits, sedangkan fiqih terdapat dalam kitab fiqih.

b. Syari’at bersifat fundamental, mempunyai ruang lingkup lebih luas dan fiqih. Fiqih bersifat instrumental ruang lingkupnya terbatas.

c. Syari’at adalah ketetapan Allah dan ketentuan Rosulnya, karena itu berlaku abadi. Sedang fiqih karya manusia yang dapat beruhah dan masa ke masa.

d. Syari’at hanya satu, sedangkan liqih lebih dan satu, sehingga timbul aliran-aliran hukum dan madhab - madhab.

e. Syariat menujukkan kesatuan dalam islam, sedangkan fiqih merupakan keragarnan. ( Mukhtar Yahya & Fathurrohman, 1993 : 121 ).



B. Pembagian Dalil – Dalil Syara’.

Sebagian kecil dan golongan ahli Ushul fiqih membedakan pengertian dalil dengan amarah. Golongan ini mengkhususkan pengertian dalil kepada sesuatu yang dimanfaatkan untuk menetapkan hukum syar’i-amali secara qath’i, sedangkan amarah dikhususkan kepada sesuatu yang dimanfaatkan untuk menetapkan hukum syar’i-amali secara zhanni. Biarpun demikian para ahli Ushul fiqih yang mashur menetapkan bahwa pengertian dalil itu sudah mencakup kedua pengertian tersebut secara mutlak, haik secara qath’i maupun secara zhanni. Atas dasara iru!ah lumbur (golongan tersbesar) ahli Ushul membagi dalil itu kepada dalil qath’i yakni Al-Qur’an dan Hadits Mutawatir dan dalil zhanni yakni Hadits Ahad dan sebagainya. Bukan membaginya kepada dalil dan amarah.

Dalil-dalil syara’ yang telah disepakati oleh jumhurahli Us-hul ada 4 macam. Dalil - dalil berturut-turut adalah sehagai berikut: Al-Qur’an, As-Sunnah, Al - ijma’, Al - Qiyas.

Sebagai bukti keharusan beristidlal dengan 4 macam dalil hukurn tersehut di atas ialah firman Allah:



Artinya :

“ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. ( QS. An Nisa’ : 59 ).


Perintah untuk mengikuti Allah dan Rasul-Nya adalah perintah untuk mengikuti Al-Qur’an dan as-sunnah. Sedangkan perintah utnuk mentaati orang yang memegang kekuasaan adalah perintah untuk mengikuti hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan yang dibuat dan disetujui oleh badan-hadan yang mempunyai kekuasaan rnemhuat undang - undang dan golongan kaum muslimin. Adapun perintah untuk memulangkan perkara yang dipertengkarkan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah perintah untuk menggunakan analogi (qiyas). selama tidak ada nash dan ijma’.


1. AL-QUR’AN

a. Ta’rif

Al-Qur’ an adalah ialah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Dalam bahasa Arab dengan perantara malaikat Jibril. sebagai hujjah (argumentasi) bagi-Nya dalam mendakwahkan kerasulan-Nya dan sebagai pedoman hidup hagi manusia yang dapat dipergunakan untuk mencari kebahagian hidup di dunia dan akhirat serta sebagai media untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan membacanya.



Artinya :

“ Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. ( QS. Al Hijr : 9 ).

b. Keistimewaan Al-Qur’an

Di antara keistimewaan Al-Qun’an ialah hahwa lafal dan ma’nanya berasal dan Tuhan. Lafalnya yang berbahasa Arab itu dimasukkan oleh Allah ke dalam dada Nabi Muhammad. kemudian beliau membacanyadan terus menyampaikan kepada umatnya.

c. Kehujjahan AI-Qur’an

Tidak ada perselisihan pendapat di antara kaum muslirnin tentang Al-Qur’an itu berdiri sebagai hujjah (argumentasi) yang kuat bagi mereka dan bahwa ia serta hukum - hukum yang wajib ditaati itu dan sisi Allah.



Artinya :

“ Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, Sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain". ( QS. Al Isra’ : 88 ).


Tetapi orang-orang kafir melancarkan tuduhan kepada Nabi Muhrnmad bahwa beliaulah yang membuat Al - Qur’an itu. Kernudian Allah memerintahkan menentang mereka dalam firman-Nya:



Artinya :

“ atau (patutkah) mereka mengatakan "Muhammad membuat-buatnya." Katakanlah: "(Kalau benar yang kamu katakan itu), Maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang yang benar." ( QS. Yunus : 38 ).


Ketika mereka ternyata lemah. tidak sanggup membuat sebuah surat yang ma’nanya dengan Al-qur’an itu, maka Allah rnernerintahkan untuk membuat tantangan kcpada mereka agar membuat sepuluh surat yang memadai seni dan gaya bahasnya, dalarn firrnan-Nya:



Artinya :

“ bahkan mereka mengatakan: "Muhammad telah membuat-buat Al Quran itu", Katakanlah: "(Kalau demikian), Maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar ". ( QS. Hud : 13 ).


Kemudian setelah Rasulullah berhijrah ke Madinah, Allah memerintahkan kembali untuk mengadakan tantangan kepada mereka dalam firman-Nya:



Artinya :

“ dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. ( QS. Al Baqarah : 23 ).


Biarpun orang-orang kafir tersebut sudah berusaha dengan sungguh-sungguh membuat surat-surat Al-Quran untuk menandinginya, namun sekali-kali hasilnya tidak memadai sedikit pun. Akhirnya mereka harus mengakui akan kelemahan mereka dan mengakui bahwa Al-Qur’an adalah di luar kemampuan manusia. lnilah sebagai bukti bahwa A1-Quran itu datang dan sisi Tuhan.

d. Macam-Macam Hukum Dalam Al - Qur’an

Hukum-hukum yang terkandung di dalam Al - Qur’an itu ada 3 macam.

1) hukum-hukum i’tiqadiyah. Yakni hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban para mukallaf untuk rnernpercayai Allah, malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul - rasul-Nya dan hari pembalasan.

2) hukum-hukum akhlaq. Yakni tingkah laku yang berhuhungan dengan kewajiban orang mukallaf untuk menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan dirinya dan sifat-sifat yang tercela

3) hukum-hukum amaliah. Yakni yang bersangkutan dengan perkataan - perkataan, perbuatan-perbuatan, perjanjian-perjanjian dan muamalah (kerja sama) sesama manusia. Macam yang ketiga inilah yang disebut Fiqhul Qur’an dan itulah yang hendak dicapai oleh Ilmu Ushul Fiqih.

e. Dalalah (petunjuk) ayat-ayat Al-Qur’an

Nash-nash Al - Quran itu. itu ditinjau dan segi penunjukannya (dalalahnya) terhadap hukum-hukum terbagi kepada 2 macam.

1) Qati’iy ud-dalalah

2) Zhanniyud-dalalah


.

2. AS-SUNNAH

a. Ta’rif

As-sunnah menurut istilah syar’i ialah sabda, perbuatan dan taqrir (persetujuan) yang berasal dari Rasullah saw.

Sesuai dengan tiga hal tersebut di atas yang disandarkannya kepada Rasullah saw. Maka Sunnah itu dapat dibedakan kepada 3 macam. Yaitu:

1) Sunnah qauliyah (perkataan)

2) Sunnah fi’liyah (perbuatan)

3) Sunnah taqririyah (persetujuan)

b. Kehujjahan As-Sunnah

1) Al - Qur’an
Misalnya firman Allah:



Artinya :

“Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".(QS. Ali Imran: 32)
Di dalam surat An Nisa : 80, Allah menjelaskan bahwa taat kepada Rasulullah saw. adalah sama dengan taat kepada Allah. firman-Nya.



Artinya :

“ Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka “. ( QS. An Nisa’ : 80 ).

2) Kedua, As – Sunnah

3) Ketiga, Ijma’us sahabat

4) Keempat, Logika/Qiyas.


Firman Allah:



Artinya :

“keterangan - keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada merekadan supaya mereka memikirkan“ (QS. An Nahl : 44 ).

c. Nisbah (hubungan) as-Sunnah dengan AI-Qur’an

Nisbah (hubungan) as-sunnah dengan Al-Qur’an ditinjau dan segi penggunaan hujjah dan pengambilan hukum-hukum syari’at adalah hahwa as-Sunnah itu sebagai sumber hukum yang sederajat lebih rendah dan pada Al-Qur’an.

Adapun nisbah as-Sunnah dengan Al-Qur’an dan segi materi hukum yang terkandung di dalarn ada tiga macam. Yakni:

1) Menguatkan (muakkid) hukum suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya di dalam Al-Qur’an, misalnya shalat, dan zakat telah ditetapkan hukumnya di dalam Al-Qur’an:



Artinya :

“ dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat! …" ( QS. An Nisa’ : 77 ).

2) Memberikan keterangan (bayan) ayat-ayat al-qur’an. Dalam memberikan penjelasan ini ada 3 macam. Yakni:

a) Memberikan perincian ayat-ayat yang masih mujmal, misalnya perintah sembahyang di dalarn A1-Qur’an:



Artinya :

“Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman “. ( QS. An Nisa’ : 103 ).

Kemudian Rasulullah saw. Menerangkan waktu-waktu sembahyang, jumlah raka’ atnya, syarat-syaratnya dan rukun-rukunnya, dengan mempraktikkan sembahyang lalu setelah itu bersabda kepada para sahahat:

Bersembahyanglah kamu seperti yang kamu lakukan lihat bagaimana aku mengerjakan sembahyang. (HR. Bukhari).

Demikian juga dalam kewajiban berzakat. dan pergi haji Allah berfirman secara global, kemudian Rasulullah saw. Menjelaskan macam-macam dan besarnya harta yang dizakatkan dan menjelaskan cara-cara menjalankan ibadah haji.

b) Membatasi kemutlakannya (taqyidul-mutlak,), misal nya Al -Qur’ an mernbolehkan kepada orang yang akan meninggal berwasiat atas harta peninggalannya berapa saja dengan tidak dibatasi rnaksimalnya. dalam frrnan-Nya:



Artinya :

“ …sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya.. “. ( QS. An Nisa’ : 12 ).

Kemudian Rasulullah memberikan batasan maksimal wasiat yang diperkenankan dalam salah satu wawancaranya dengan Sa’ad bin Abi waqqash yang meminta agar diperkenankan berwasiat 2/3 harta peniggalannya. Setelah permintaan wasiat sehesar itu ditolak oleh beliau, minta diperkenankan wasiat 1/2 harta peninggalannya dan setelah permintaan yang akhir ini ditolak pula, lalu minta diperkenankan 1/3 hartanya. Rasullah mengizinkan 1/3 ini, katanya:

sepertiga itu adalah banyak dan besar. Sebab jika kumu meninggulkan ahli warisan dalam keadaan kecukupun adalah Iebih baik daripada jiku kamu meninggalkan mereka dalam keadaun miskin yang meminta-minia kepada orang banyak. (HR. Bukhari-Muslim).

c) Mentakhshishkan keumumannya (takhshishul-‘am). Misalnya Allah berfirman secara umum tentang keharaman makan bangkai (binatang yang tiada disembelih dengan nama Allah) dan darah dalam firman-Nya:



Artinya :

“ diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi… “ ( QS. Al Maidah : 3 ).

Kemudian Rasulullah saw. Mengkhususkannva dengan memberikan pengecualian kepada bangkai ikan laut. belalang, hati dan limpa dalam sabdanya:

Dihalalkan bagi kamu dua macam bangkai dan dua macam darah. Dua macam bangkai itu ialah bangkai ikan air dan belalang. Sedang dua macam darah itu ialah hati dan limpa. (HR. Ibnu Majah dan al-Hakim).

Demikian juga dalam masalah pusaka - mempusakai antara anak dengan kedua orang tuanya disebutkan secara umurn oleh Allah dalam firman-Nya:



Artinya :

“ Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan… ”. ( QS An Nisa’ : 11 ).

Dalam ayat tersebut dikatakan secara umum orang tua yang mewariskan harta peninggalannya kepada anak-anaknya. Kemudian keumuman itu ditakhshishkan oleh sabda Rasulullah saw:

Kami, khususnya para Nabi, tidak dapat diwarisi. Apa yang kami tinggalkan adalah sebagai sedekah. (Rw. Bukhari-Muslirn).

Perkataan anak dalam ayat tersebut juga dilukiskan secara umum dengan Iafal “au1adakum” (anak - anakmu). Kemudian anak tersebut dikhususkan oleh Nabi Muhammad saw. Kepada anak yang dapat mewarisi. Sedangkan anak yang tidak berhak mempusakai harta orang tuanya, misalnya karena ia membunuh orang tuanya, dikeluarkan dan pengertian umum itu, mengingat sabda Rasulullah saw:

Tidak ada hak bagi si pembunuh mempusakai harta peninggalan orang yang dibunuh sedikit pun. (HR. An-Nisa’i).

d) Mencipiakan hukum baru yang tiada terdapat di dalam Al - Qur ‘an. Misalnya beliau menetapkan hukum haramnya binatang buas yang bertaring kuat dan burung yang berkuku kuat seperti yang dirwayatkan oleh lbnu Abbas:

Rasulullah saw. Melarang memakan setiap binatang yang bertaring dan golongan binatang buas dan setiap binatang yang berkuku kuat dan golongan burung. (Rw. Muslim)

Dan beliau mengharamkan seorang laki-laki mengawini wanita yang sepersusuan, karena mengawini wanita yang sesusuan itu adalah sama dengan mengawini wanita yang tunggal nasab. Sabda beliau:
Sungguh Allah telah mengharamkan sesesorang mengawini wanita karena sepersusuan, sebagaimana halnya Allah mengharamkan mengawini wanita karena senasab. (Rw. Bukhari-Muslim)

Hukum-hukum yang ditetapkan oleh Rasullah saw. itu adakalnya atas ilham dari Allah dan adakalanya hasil ijtihad beliau sendiri. Biarpun dari hasil ijthad sendiri. tetapi karena dasar yang dipergunakan berhjtihad itu adalah jiwa dan dasar perundang - undangan yang umum dalam Al - Qur’an, maka mustahillah ia bertentangan dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an.


d. Pembagian Sunnah

Sunnah ditinjau dari segi sedikit atau banyaknya orang-orang yang pada menriwayatkan dari Rasullah saw. dibagi kepada 3 bagian:

1) SunnahMutawatirah

2) SunnahMasyhurah

3) Sunnah Ahad (Shohih, Hasan Dan I)ho’iI)

e. Perkataan dan Perbuatan Rasulullah saw. yang bukan merupakan syari’at

Sabda, perbuatan dan taqrir rasulullah saw. Adalah syari’at yang harus ditaati oleh kaurn muslimin selama sabda, perbuatan dan taqrir tersebut keluar dari beliau Rasulullah dan memang dimaksudkan sebagai undang-undang umurn yang wajib ditaati.

3. AL - IJMA’

a. Ta’rif

Ijma’ menurut istilah ahli ushul fiqih ialah persepakatan para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa sepeninggal Rasulullah saw. Terhadap suatu hukurn syar’i mengenai suatu peristiwa.

b. Rukun-Rukun Ijma’

1) Pada masa terjadinya peristiwa itu harus ada heberapa orang mujtahid.

2) Seluruh mujtahid kaum muslimin rnenyetujui hukurn syara’ yang telah mereka putuskan itu dengan tidak memandang negara, kebangsaan dan golongan mereka.

3) Persepakatan itu hendaknya dilahirkan oleh masing-masing dan mereka secara tegas terhadap peristiwa itu, baik lewat perkataan maupun perbuatan.

4) Persepakaan itu haruslah merupakan persepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid.

c. Kehujjahan ijma’

Sebagai bukti bahwa ijma’ itu menjadi hujjah adalah sehagai berikut:

1)

Artinya :

“ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu ”. ( QS. An Nisa’ : 59 ).

2) Sabda Rasullah saw.: Umatku tidak sepakat untuk membuat kekeliruan. (HR. lbnu Majah). Dan sabda beliau yang menejelaskan penghargaan yang baik dari Allah terhadap pendapat yang baik dari kaum muslimin: Apa yang dipandang baik oleh orang-orang muslim, di sisi Allah pun dipandang baik juga. (HR. Ahrnad)




4. AL-QIYAS

a. Ta’rif

Yang dinamakan Qiyas, menurut para ahli Ushul Fiqih, adalah mempersamakan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya dengan hukum suatu peristiwa yang sudah ada nashnya lantaran adanya persamaan illat hukumnya dari kedua peristiwa itu.

b. KehujjahanQiyas

Jumhur ulama’ berpendirian bahwa Qiyas itu adalah menjadi hujjah syari’at (sumber hukum syari’at) bagi hukum-hukum amal perbuatan manusia. dan berada pada tingkatan keempat dari dalil-dalil syari’at.

c. Rukun-Rukun Qiyas
Setiap Qiyas, mempunyai 4 rukun. yakni:

1) Ashal (pokok)

2) Far’u (cabang)

3) Hukum ashal

4) ‘illat.

C. Pembagian Hukum Syara’

Dengan memperhatikan kembali tarif hakikat hukum menurut Ushuliyun sehagaimana dikemukakan di atas, nyatalah bahwa elemen - elemen yang terdapat dalam ta’rif itu membedakan hukum kepada dua macam. Yakni hukum taklifi dan hukum wadh’i.


1. HUKUM TAKLIFI


a. Ta’rif


HUKUM TAKLIFI


Khitah-khitab tersebut dinamai hukurn taklili karena mengandung pembebanan (taklif) kepada para mukallaf untuk dikerjakan, ditinggalkan atau dipilih antara dikerjakan dengan ditinggalkan. Tuntutan untuk mengerjakan suatu perbuatan atau untuk meninggalkannya adalah jelas sekali sebagai pemberian beban. Adapun pilihan antara mengerjakan dan meninggalkan satu perbuatan pada hakikatnya bukanlah merupakan suatu pembebanan, tetapi hanya alternatif belaka. Para Ushuliyun memasukkannya ke dalam pembebanan (hukum-taklif) adalah berdasarkan kepada urnumnya (ghalibnya). ( Mukhtar Y. dan Fathurrohman, 193 : 124 ).


b. Pembagian hukum taklifi

Hukum taklifi itu ada 5 macam :

1) Ijab, yang dirnaksud ijab ialah khitab syar’i yang menuntut agar dilakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti.



Artinya :

“…Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman“.(QS. An Nisa’ : 103 ).

2) Nadb. Nadb ialah khitab syar’i yang menuntut agar dilakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak harus dikerjakan.

3) Tahrim. Yakni khitab syari yang menuntut untuk ditinggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tegas, sebagaimana firman Allah:



Artinya :

“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk… “ ( QS. An Nisa’ : 43 ).

4) Karahah. Ialah khitab syar’i yang menuntut untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak tegas agar ditinggalkan.

5) Ibahah. Ibahah ialah khitab syari yang mengandung hak pilihan antara mengerjakan dan meninggalkannya. Berikut ini dikemukakan perbandingan pembagian hukum taklifi menurut ulama jumhur dengan Hanafiah.


Menurut Jumhur Menurut Hanafiah

1). Ijab 1. Fardhu, bila ditunjuk oleh dalil qath’i 2. Wajib, bila ditunjuk oleh dalail zhanni

2). Nadb (mandub, sunnat ) 3. Sunnat, bila selalu dikerjakan oleh nabi, kecuali udzur.

4. Mandub, bila banyak beliau tinggalkan aripada beliau kerjakan.

3). Tahrim ( haram ) 5. Haram, bila dilarang oleh qath’i

6. Karabah Tahrim, bila dilarang oleh dalil zhanni.

4). Karahah 7. karahah – tanzil

5). Ibahah ( mubah, jaiz, halal ) 8. Ibahah ( mubah ).

Dengan memperhatikan kembali keterangan sebagaiman dikemukakan di atas, maka dapatlah kiranya disimpulkan hahwa:

a) Perbuatan yang dituntut untuk dikerjakan itu ada 2 macam yakni : wajib dan mandub.

b) Perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan itu ada 2 macam yakni : haram dan makruh.

c) Perbuatan yang diperkenankan dipilih untuk dikerjakan atau ditinggalkan ada satu macam saja, yakni mubah.


c. Tujuan Umum Syari’at Islam

1) Menegakkan Kemaslahatan

Tujuan syari’at Islam itu dapat dipahami dan diterima oleh akal pikiran manusia, kecuali hal-hal yang bersifat ta‘abbudi dan sesuatu yang hikamnya tidak dima‘qul (tidak dapat dipahami). ( Yusuf Al Qardhawi, 1997 : 55 ).

Setiap orang yang belajar syari’at Islam, akan mengatakan hahwa hukum-hukum yang tertuang di dalam syari’at Islam itu berorientasi memelihara kemaslahatan para mukallaf, menolak kemafsadatan (kerusakan), dan mewujudkan kemaslahatan bagi mereka. Allah SWT menjadikan risalah Nabi Muhammad sehagai rahmatan lil alamin, sebagaimana yang tertuang didalarn firman-nya surah Al-Anbiya ayat 107:



Artinya :

“ dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam ”. ( QS. Al Anbiya’ : 107 ).

Allah juga menjadikan Al-Qur’an sehagai obat, petunjuk dan rahmat bagi orang yang mau mengikuti dan beriman kepada-Nya, sebagairnana firman Allah surah Yunus ayat 57:



Artinya :

“Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman “. ( QS. Yunus : 57 ).

Barangsiapa yang membaca dan mengamati hukum-hukum yang tertuang dalam syari’at Islam dan memikiran sesuatu yang di ta‘lil (dicari alasan) dalam Al-Qur’an dan Hadis, maka ia akan menemukan penjelasan bahwa syari’at Islam bertujuan untuk menegakkan kemaslahatan semua makhluk, terutama dalam bidang-bidang ibadah. Disyariatkannya ibadah adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia yang taklifi. Allah butuh kepada ibadah hamba-Nya. ketaatan dan kesyukuran manusia tidak memberikan manfaat bagi Allah, sebagaimana maksiat hamba tidak memudharatkan Allah, semua perbuatan manusia itu akan berpulang kepada manusia itu sendiri. Ketentuan ini tertuang dalam firman Allah An - NamI ayat 40:



Artinya :

“dan Barangsiapa yang bersyukur Maka Sesungguhnya Dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan Barangsiapa yang ingkar, Maka Sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia ". ( QS. An Naml : 40 ).

Sesungguhnya hikrnah, rahmat, kebaikan, dan kemurahan Allah itu menuntut manusia untuk beribadah dengan segala sesuatu yang mengandung kemaslahatan dan kebahagian buat mereka, baik di dunia maupun di akhirat. Karena itu, dalam kitab Allah (Al-Qur’an) kita temukan tujuan-tujuan pokok ibadah ritual dalam Islam, seperti dalam persoalan wudu. Allah SWT berfirman



Artinya :

“..Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur “. ( QS. Al Maidah : 6 ).

Mengenai salat, Allah SWT berfirman dalam surah Al-Ankahut ayat 45



Artinya :

“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar” (QS. Al Ankabut : 45 ).

Mengenai hukum yang berkaitan dengan zakat, Allah SWT berfirman dalam surah At-tauhah ayat 103 :



Artinya :

“ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka... “ ( QS. At Taubah : 103 ).

Mengenai puasa, Allah SWT berfirman dalam surah Al - Baqarah ayat 183

Artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa “. ( QS. Al Baqarah : 183 ).



Mengenai haji, Allah SWT berfirman dalam surah Al - Hajj ayat 28 :



Artinya :

“ supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan (Hari Raya Haji dan Tasyrik) “ . ( QS. Al Hajj : 28 ).

2) Memusnahkan Kemafsadatan

Jika syari’at Islam bertujuan memelihara dan mewujudkan kemaslahatan, maka ia pun mempunyai tujuan untuk menghilangkan dan memusnahkan kemafsadatan serta mencegahnya. Mereka yang menganggap kemaslahatan sebagai dalil syara’ yang berdiri sendiri, berpegang pada hadis yang artinya: “Tidak boleh membinasakan diri dan saling membinasakan.”

Maksud kata : Laa Dharara Wa Laa Dhiraara adalah seseorang tidak boleh menyengsarakan dirinya sendiri dan tidak pula boleh menyengsarakan orang lain. Jika seseorang itu tidak membinasakan dirinya sendiri dan orang lain, maka secara otomatis kemaslahatan itu akan terwujud dan terjaga.

Para ulama berpendapat, bahwa hukum asal dalam kata : Dharara pada hadis tersebut itu menunjukan ‘hararn”. Sebab, kata dharara itu nakirah dalarn bentuk nafi. Karena itu, kata-kata tersebut mencakup seluruh jenis kemudharatan. Yakni, seluruh jenis perbuatan yang dapat merugikan dan mencelakakan. Berbeda dengan kemalahan (kebaikan). Hukum asal kemaslahatan adalah halal, sesuai dengan firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 29:



Artinya :

“ Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu “. ( QS. Al Baqarah : 29 ).

Sebagaimana yang telah dijelaskan lmam Asy-Syatibi, bahwa sesungguhnya memelihara kemaslahatan yang menjadi tujuan syari’at Islam itu dapat ditinjau dari dua aspek : aspek positif dan negatif. Aspek positif, memelihara dan menegakkan tiang syari’at Islam, sedangkan aspek negatif mengantisipasi dan menolak kerusakan (mafsadat) baik pada masalah yang belum, sudah, maupun yang akan terjadi.

Karena itu, menolak dan mengantisipasi timbulnya kemafsadatan adalah wajib guna menegakkan kemaslahatan. Bahkan, memelihara maslahat itu juga termasuk wajib guna meniadakan kerusakan (mafasadah), seperti yang disinyalir Imam Asy-Syatibi. Di atas kekuatan dan pondasi itulah segala perintah dan larangan dalam syari’at Islam itu di tegakkan.

Imam Qarrafi berkata “Jika sudah diketahui, bahwa segala perintah dalam syari’at Islam itu bergantung pada kemaslahatan, sebagaimana larangan juga bergantung pada mafsadah, maka ketahuilah bahwa kemaslahatan itu ada di derajat terendah, maka ada hukum sunnah, dan jika derajat yang paling tinggi, maka ada hukum wajib. Begitu juga mafsadah, jika ia ada diderajat terendah maka ada hukuman makruh. Hukum makruh ini akan naik, sesuai dengan naiknya mafsadah sehingga ia sampai pada derajat makruh paling tinggi, di hawah derajat haram. Jika ia ditingkatkan paling tinggi, maka ada hukum haram.

3) Sikap Syari’at Islam : Antara Kemaslahatan Dan Kemafsadatan

Jika antar kemaslahatan saling bertentangan, atau jika kemaslahatan berlawanan dengan kemafsadatan, bagaimana sikap syari’at Islam? Maksudnya, suatu perkara itu terkadang satu sisi memberikan kemaslahatan pada seseorang atau suatu golongan, pada sisi lain menimbulkan kemafsadatan. Hal ini sering muncul di tengah-tengah masyarakat.

Untuk menyikapi kondisi tersebut, syari’at Islam mengambil jalan taufiq (mengumpulkan nash - nash yang saling berlawanan). Jika jalan taufiq tersebut tidak mungkin, maka syari’at Islam menempuh jalan tarjih.

d) Peran Agama dalam Penegakan Hukum

Agama sangat perlu bagi penegakan hukum, terutama lagi bagi Jaksa dan Hakim. Sebab dengan dasar Agama maka ia akan memutuskan suatu perkara yang seadil-adilnya. Sebuah pepatah arab mengatakan “Qu1il haqqa walau kaana murran” / katakanlah yang haq (benar) walau pahit rasanya. ( Idris Ramulyo 1981 – 1999 ).

Diantara realisme syariat Islam itu adalah ia tidak hanya memberikan nasihat keagamaan dan bimbingan akhlaq an-sich, tetapi juga ia menetapkan “Undang-Undang Kriminal”, sebab manusia yang berbuat kriminalitas itu tidak hanya bisa dicegah dengan nasihat-nasihat saja, melainkan juga perlu hukuman dan tindakan kekerasan yang sesuai dengan kejahatannya. Mengenai hal tersebut Khaifah Usman bin Affan mengatakan jika nasihat-nasihat keagamaan itu tidak bisa menekan atau menghilangkan angka kriminalitas, maka seseorang harus menggunakan pendekatan kekuasaan.


D. Syarat Penerapan Syariat Islam


1. Penerapan Syari’at islam Di Masa Kini


Syari’at Islam relevan untuk diterapkan di zaman sekarang, bahkan di negeri - negeri non Islam sekalipun. Sebab, ia cocok untuk setiap zaman dan tempat. Bahkan, ia yang hanya patut untuk zaman sekarang, sementara kondisi ekonomi, sosial, politk, pemerintah, dan kebudayaan berbeda dengan zaman penerapan syariat dahulu? Misalnya, di hidang ekonomi, muncul hal-hal yang aktual, seperti: Bank. Asuransi, dan lain-lain. Bidang sosial kemasyarakatan, merebaknya kaum buruh dalam percaturan kehidupan dan aliran pandangan sosialis di dalam percaturan kehidupan dan aliran pandangan sosial di dalam sistem perekonomian. Tampilnya kaum wanita aktif bekerja di jalan-jalan raya, pabrik - pabrik, dan toko-toko serta kantor sementara kaum laki-laki banyak pengangguran. Pengaruhnya sangat besar bagi tatanan keluarga dan kehidupan seluruhnya. Munculnya teknologi canggih, di banyak negara, ilmu pengetahuan yang telah merebak begitu kuat untuk memerangi kaum yang buta huruf. Keuntungannya, dapat meningkatnya bangunan dan semakin mudahnya sarana kehidupan. Bidang politik, muncul sistem perwakilan sebagai saluran aspirasi rakyat, lahir sistem pembagian kekuasaan. dan sistem-sistem lainnya. Bidang komunikasi antar Negara, Jarak menjadi begitu dekat seakan-akan dunia ini satu negara, sementara umat manusia bosan perang dan dakwah pun mendapat respon posistif baik oleh individu maupun masyarakat. (Yusuf Al Qardhawi 1997 : 285 )

Perubahan dan perkembangan dunia yang begitu mengglobal, apakah syari’at Islam dapat meresponnya? Apakah hukum-hukum Islam itu cocok untuk diterapkan pada zaman sekarang? Jawabannya, syari’at Islam adalah kekal abadi. mampu menghadapi dan merespon problematika kontemporer dan sanggup untuk mengantisipasinya. Ia mampu mengarahkan dan membimbing kehidupan ini di atas jalan hidayah Allah. Problem kontemporer tersebut dapat direspon diatasi oleh syari’at Islam, akan tetapi dengan beberapa syarat yang harus ditempuhnya. Di antaranya adalah membuka pintu ijtihad bagi mereka yang mampu dan kembali mengikuti jejak salaf ash-shaleh serta melepaskan diri dari fanatisme mazhab dalam hal yang berkaitan dengan tasyri’ untuk masyarakat seluruhnya.

Pintu ijtihad telah dibuka oleh Nabi SAW. Tidak ada seorang pun yang berhak untuk menutupnya. A1-Qur’an maupun hadis tidak kita mengharuskan untuk terikad satu mazhab fiqih tertentu. Bahkan, pernyataan-pernyataan para Imam Mazhab banyak yang melarang bertaqlid dalam hal-hal yang diijtihadi mereka, terlebih-lebih dijadikan agama atau syari’at.

Imarn Malik, misalnya. pernah diminta Khalifah Abu Ja’far Al-Mansur untuk menulis sebuah kitab yang berisi seleksi antara kemurahan lbnu Abbas dan kekerasan - kekerasan hukum Ibnu Umar r.a. Lalu Imam Malik menulis kitab Muwaththa’ itu dijadikan kitab undang-undang resmi negara dan diberlakukan kepada seluruh umat Islam. Imam Malik tidak merestuinya. Dengan kealiman, kefakihan, kebijakan, dan kewara’annya, beliau berkata kepada khalifah : jangan anda lakukan, wahai amirul mukminin! Mereka telah banyak mendengar hadis dan pendapat lain. Biarkanlah mereka mengamalkan sesuai dengan pilihannya.

Dalam riwayat, Imam Malik berkata: Para sahahat Rasulullah SAW tersebar diberbagai negeri, dan masing-masing penduduk negeri tesebut belajar kepada mereka. Karena itu, jika mereka kita haruskan untuk mengikuti satu pendapat saja, niscaya akan timbul fitnah. Mendengar jawaban yang bijak dan Irnam Malik tersebut. Kahliiah Ahu Ja’far Al-Mansur puas dan mengurungkan niatnya.

Imam Malik tidak akan membenci kita, jika pikiran dan pendapat kita diluar hasil ijtihadnya. Kita tidak akan dibenci para Imam selain Imam Malik, jika kita pindah kependapat lain yang menurut kita benar, meski pendapat tersebut menyalahi pendapat mereka. Sebab, tidak ada dari mereka yang menyatakan bahwa dirinya maksum. Imam Malik pernah mengatakan : “Setiap orang itu pendapatnya boleh diambil dan boleh dibuang, kecuali pendapatnya Nabi Muhammad SAW.” beliau juga pernah mengatakan : “Genersi akhir umat ini tidak akan baik, kecuali dengan faktor-faktor yang membuat generasi pertama dahulu menjadi baik.”


2. ljtihad Dalam Masalah-Masalah Baru

Hukum ijtihad adalah fardhu kifayah bagi umat Islam urnumnya. khususnya bagi para ularna untuk melaksanakan ijtihad dalam masalah baru akibat perubahan zaman dan situasi, dan mengeluarkan hukum yang cocok dengannya dengan berpedoman pada nash-nash, qiyas, istihsan, istislah, sadduddari’ah, ‘urf yang benar, atau lainnya yang dinyatakan dalam ushul fiqih dan kaidah-kaidahnya.

Sekarang dunia mengalarni peruhahan dan perkembangan yang luar biasa. Ada yang menyebutnya dengan era kebangkitan ke dua, yakni, sebuah era di mana manusia mulai disibukkan untuk memerankan kemampuan otaknya melalui media elektronik. Syari’at Islam harus mampu meresponnya untuk memberikan kepastian hukum pada kejadian dan masalah baru tersebut. Di sinilah ijtihad mempunyai peran besar.





Latihan

1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan As sunnah, dan sebutkan beberapa fungsi Assunnah terhadap Al-Qur’an

2. Apakah yang dimaksud dengan ljtihad?

3. Apakah tujuan Hukum Islam?

4. Apakah yang dimaksud dengan Syariat? dimana letak perbedaan antara Syariat dengan Fiqih.?

5. Jelaskan pengertian A1-Ahkam Al-Khomsah (Hukum Lima)!

6. Jelaskan landasan dan sumber hukum Islam!

7. Coba Saudara jelaskan mengapa syariat islam dikatakan lebih mantap daripada hukum Islam?

8. Didalam hukum islam dilihat asas keadilan, asas kepastian hukum & asas manfaat. Jelaskan!

9. Bagaimana kedudukan Qiyas dalam hubungannya dengan hukum islam?

10. Jelaskan secara ringkas sumber-sumber hukum islam ?

11. Hukum islam menganut sistem hukum terbuka & tertutup. Dapatkah Saudara jelaskan mengapa demikian ?

12. Hukum islam menganut sistem hukum terbuka & tertutup. Dapatkah Saudara jelaskan mengapa demikian ?

13. Bagaimana peranan agama dalam penegakan hukum ?

14. Bagaimana cara melakukan ijtihad dalam masalah-masalah baru?

15. Jelaskan cara penerapan syariat islam dimasa kini?





DAFTAR PUSTAKA


Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam. Jakarta: Rajawali pers, 1982.

Idris Ramulya, Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 1999.

Muhkhtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam. Bandung: Al-Ma’arif. 1993.

Yusuf Qardhawi, Membumikan Syariat Islam. Surabaya: Aneka Ilmu, 1997