Modul TKJ (Teknik Komputer Jaringan)

Bab i

IMAN

Apa dalil naqli dan aqlinya?






Membenarkan dalam hati, diucapkan dalam lisan. Dan dilakukan dalam perbautan.


Bagaimana ciri-ciri orang beriman?


1. Qs. Al Anfal 2-3



1. Bila disebut nama Allah bergetar hatinya

2. Bila dibacakan ayat-ayat Allah bertambah imannya

3. Orang yang mendirikan shalat

4. Orang yang menafkahkan sebagian hartanya


2. Qs. Al Mu’min 1-11

a. Orang yang khusu’ shalatnya

b. Orang yang menjauhkan diri dari (perkataan dan perbuatan yang tidak berguna)

c. Orang yang menunaikan zakat

d. Orang yang menjaga kemaluannya

e. Orang yang memelihara amanat

f. Orang yang memelihara shalat


Mengapa manusia tidak mau beriman? Karena


1. Menuruti keinginan hawa nafsu



“dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”




50. Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu) Ketahuilah bahwa Sesung- guhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesung- guhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.

(Qs Al Qhashas : 50)


2. Taklid buta terhadap ritual, kepercayaan, dan tradisi nenek moyang


“...Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab : “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapt petunjuk?”



170. Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang Telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".


(Qs. Al Baqarah : 170)


3. Mengikuti mayoritas manusia


Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)



116. Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)

(QS. Al An’am : 116)





Taqwa

Apa ciri-ciri orang yang bertaqwa?



133. Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,

134. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

135. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri[229], mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka Mengetahui.


(Qs. Ali Imran 133-135)


a. Gemar menginfakkan hartanya baik lapang/sempit

b. Menahan amarah

c. Memaafkan kesalahan orang lain

d. Mereka yang melakukan perbuatan keji (taubat)



3. (yaitu) mereka yang beriman[13] kepada yang ghaib[14], yang mendirikan shalat[15], dan

menafkahkan sebahagian rezki[16] yang kami anugerahkan kepada mereka.

4. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang Telah diturunkan kepadamu dan

kitab-kitab yang Telah diturunkan sebelummu[17], serta mereka yakin akan adanya

(kehidupan) akhirat[18].

5. Mereka Itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah

orang-orang yang beruntung[19].


QS. Al Baqoroh 3-5


  1. Orang yang beriman kepada yang ghoib
  2. Orang yang mendirikan sholat
  3. Menafkahkan sebagian rizki
  4. Beriman kepada kitabullah
  5. Beriman kepada hari akhir



Syirik



Syirik adalah menajdikan sekutu bagi Allah SWT dalam Rubudiyah-Nya, Uluhiyah-Nya, dan Asma dan sifat-Nya.


Syirik sangat berbahaya, mengapa ?


a. Syirik adalah dosa yang paling besar

b. Allah mengharamkan surga bagi pelaku syirik

c. Allah SWT tidask akan mengampuni dosa sirik, kecuali taubat

d. Syirik membatalkan seluruh amal-amal shaleh

e. Syirik itu menghalalkan harta dan darah pelakunya

f. Syirik adalah perbuatan menyejajarkan Alla dengan makhluk-Nya


Dan apa saja contoh perbuatan syirik itu?


a. Syirik Besar : Menyembah benda-benda/makhluk-Nya/. Berdo’a dan minta tolong kepada orang yang sudah meninggal.

b. Syirik kecil : Bersumpah selain Allah, memakai jimat, menggunakan mantra, ramalan, dan riya.


Evaluasi

1. Apa yang membuar Saudara bertaqwa dan beriman kepada Allah SWT?

2. Apa tanda-tanda orang yang beriman itu?

3. Menurut QS. Ali Imran 133-135 terdapat tanda-tanda orang yang bertaqwa, sebutkan!

4. Apa yang dimaksud dengan iman, jelaskan dan berikan contohnya!

5. Mengapa syirik itu berbahaya? Jelaskan!





BAB II

MANUSIA DAN PERANANNYA



Mengapa manusia diciptakan oleh Allah?

Qs. Ad-dyariyat 56



Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.

Qs. Al Baqarah 30



Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."


Bagaimana terjadinya manusia?


Manusia berasal dari tanah (Qs. Al Anam 2)



Dialah yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya ajal (kematianmu)



Manusia berasal dari Lumpur hitam (Qs. Al Hijr 26)



Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.



Manusia berasal dari tanah kering seperti tembikar (Qs. Ar Rahman 14)



Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar,



Manusia berasal dari Air (Qs. Al Furqon 54)



Dan dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah[1070] dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa.


Jadi kesimpulannya : Manusia diciptakan Allah dari air mani yang berasal dari saripati makanan yang tumbuh diatas tanah.


Menurut QS. Al mu’minun 11-14



11. (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. mereka kekal di dalamnya.

12. Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.

13. Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh

(rahim).

14. Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan

segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang

itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain.

Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.


Manusia berasal dari :

1) Saripati (berasal ) dari tanah

2) Air mani

3) Segumpal darah

4) Segumpal daging

5) Tulang belulang

6) Tulang belulang dibungkus lagi dengan daging

7) Mahluk yang berbentuk


Apakah manusia itu sempurna?


Asal manusia adalah ruh dan tanah. Ia kemudian dilengkapi dengan potensi akal, hati dan jasad yang merupakan suatu kelebihan manusia. (Qs. At-Tin : 4)



Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya





BAB III

MUNAKAHAT


A. Pengertian


Nikah : Bercampur / Menghimpun

Menurut istilah nikah : akad/ijab qobul dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk membentuk rumah tangga yang sakinah.


B. Apa tujuan pernikahan?

1. Sarana kebutuhan biologis

Qs. Ar-Rum : 21



Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.


2. Sarana menggapai ketentraman jiwa

3. Sarana kesinambungan peradaban manusia

Qs. Annisa : 1



Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain[264], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.


Qs. An-Nahl : 72



Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?"


4. Sarana penyelematan manusia dari dekadensi moral


C. Apa saja hukum pernikahan itu?

1. Mubah (boleh)

2. Wajib : bagi orang yang telah cukup umur, cukup (sandang dan pangan) dan dikhawatirkan terjerumus kepada perzinaan.

3. Sunnah : bagi orang yang berkeinginan menikah dan cukup sandang pangan.

4. Makruh : bagi orang yang tidak mampu

5. Haram : bagi orang yang hendak ingin menyakiti orang yang dinikahinya


D. Apa saja jenis-jenis nikah itu ?

Menurut Imam Daruquthi meriwayatkan dari hadits Abu Hrairah ra, bahwa Aisyah ra menyebutkan 4 jenis pernikahan pada zaman jahiliyah :

1. Perkawinan pinang

2. Perwakinan pinjam (gadai)/kontrak

3. Perkawinan sejumlah laki-laki (dibawah 10orang) secara bersama-sama mengumpuli seorang perempuan.

4. Perempuan-perempuan yang tidak menolak untuk digauli oleh banyak orang.


Jenis-jenis nikah yang lain adalah :

1. Nkah Sighar : seorang wali yang mengawinkan putrinya dengan seorang laki-laki dengan syarat laki-laki tadi mengawinkan putrinya kepadanya tanpa mahar.

2. Nkah mut’ah : Pernikahan yang hanya dilakukan dalam waktu tertentu.

3. Nikah muhalil : nikah sorang laki-laki dengan perempuan yang telah ditalak 3 sehabis masa iddahnya kemudian menolaknya dengan tujuan agar bekas suaminya yang peratma dapat nikah dengan dia lagi.

4. Nikah ahli kitab : nikahnya seorang beriman dengan wanita ahli kitab


E. KHITBAH

Adalah permintaan seorang laki-laki untuk menikahi seorang wanita tertentu dengan cara memberitahu wanita tersebut atau walinya secar langsung atau melalui keluarganya.

a. Apa jenis khitbah?

1. Langsung : Khitbah secar langsung seperti ucapan seorang laki-laki “saya ingin menikah dengan kamu”

2. Tidak langsung : khitbah secara tidak langsung adalah ucapan seorang laki-laki yang dipahami bahwa ia ingin menikahi seorang wanita. Seperti : ...hai, kamu sesungguhnya sudah cocok untuk menikah, / saya ingin mencari calon seperti kamu”.

b. Apa hikmah khitbah?

3. Cara untuk saling mengenal antara calon pasangan suami istri

4. Jalan untuk mengetahui tabiat, akhlak dan kecenderungan darimasing-masing calon pasangan suami istri.

5. Jalan untuk mencapai kesepakatan kedua pihak menuju pembentukan mahligai rumah tangga.


F. Bagaimana Istri yang Ideal menurut Islam?

1. Karena Hartanya

2. Karena Keturunannya

3. Karena agamanya

4. Kecantikannya

(HR. Mutafaqun Alaih)


G. Bagaimana Para Ualam Memberikan kriteria memilih calon istri?

1. Wanita yang subur dan berketurunan banyak

2. Wanita yang perawan

3. Wanita dari keluarga yang baik keagamaannya

4. Wanita yang jelas latar belakang nasab dan keturunannya

5. Wanita yang cantik

6. Wanita asing yang tidak ada hubungan kerabat.


H. Wanita yang Haram Dinikahi

Firman Allah (Qs. An-Nisa 22-23)



Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang Telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang Telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan[281]; saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.


1. Al Muharromah al Muabbadah (haram dinikahi selamanya)

a. Diharamkan karena keturunan/nasab

b. Diharamkan karena sepersusuan


2. Al Muharramah al Muaqatah (haram dininikahi karena sebab-sebab sementara)

a. Saudara kandung Istri, sampai bercerai dengan talak-atau meninggal

b. Bibi istri dari bapak ataupun dari

c. Istri orang lain, hingga berpisah baik dengan cerai atau meninggal

d. Wanita dalam masa iddah, sampai berakhir masanya

e. Wanita yang ditalak tiga hingga menikah dengan orang lain kemudian berpisah karena bercerai atau meninggal

f. Wanita pezina hingga ia bertaubat.


I. Rukun Nikah

1. Calon Suami

2. Calon Istri

3. Saksi

4. Wali

5. Ijab Qobul


J. Syarat-syarat pernikahan

1. Dewasa

2. Merdeka

3. Tidak gila



Memilih istri dan berbagai kriterianya

1. Mentaati agama dan sangat mencintainya

2. Tidak mengenal kata-kata yang tercela

3. Diantara sifatnya ialah bersabar dan tidak bersedih

4. Dia tidak meremehkan dosa.

5. Ia berakhlak mulia

6. Di antara sifatnya ialah tidak menceritakan tentang wanita lainnya kepada suaminya.

7. Ia tidak memakai parfum (minyak wangi) ketika keluar dari rumahnya dan memelihara hijabnya.

8. Di antara sifatnya ialah dia tidak melihat aurat wanita lainnya.

9. Di antara sifatnya ialah dia mentaati suaminya.

10. Istri yang beriman tidak meminta cerai kepada suaminya.

11. Ia tidak melepas pakaiannya di selain rumahnya, dan ia senantiasa memelihara hijabnya di luar rumah dan di depan orang-orang asing (bukan muhram).

12. Ia membantu suaminya untuk mentaati Allah.

13. Di antara sifatnya ialah suka bersedekah untuk kebijakan.




ORANG TUA MENAWARKAN PUTERINYA ATAU YANG DIBAWAH PERWALIANNYA KEPADA LAKI-LAKI SHALIH


Seorang laki-laki tua yang salih berkata kepada Musa a.s (QS. Al-Qashash: 27):



Berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya Aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka Aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang- orang yang baik".



KEBIASAAN-KEBIASAAN YANG WAJIB DIJAUHI DALAM PERNIKAHAN (KEMUNKARAN-KEMUNKARAN DALAM PESTA)



Kami akan menyebutkan dalam bab ini, sebagian kebiasaan yang harus dijauhi secara mutlak, karena syari’at melarangnya. Karena kebiasaan-kebiasaan ini sering dilakukan ketika langsungkannya pernikahan, maka tepat sekali bila kami mengemukakaknnya di sini.

  1. Mencabut Alis
  2. Mentato, merenggangkan (mengikir) gigi dan menyambung rambut.
  3. Mencat dan memanjangkan kuku
  4. Melaksanakan pesta di hotel-hotel dan di klub-klub
  5. Nyanyian-nyanyian yang diharamkan serta diiringi dengan alat-alat musik dan biduan.
  6. Memotret (fotografi)
  7. Cincin tunangan
  8. Tidak boleh menyandingkan pengantin pria bersama pengantin wanita
  9. Larangan saweran
  10. Tidak boleh mengatakan “Bir Rafaa’ Wal Banin (Semoga Rukun dan Banyak Anak)“
  11. Mencukur jenggot
  12. Qaza’ (mencukur sebagian rambut dan menyisakan sebagian lainnya)
  13. Kebiasaan yang buruk ketika merobek keperawanan
  14. Meninggalkan shalat berjama’ah
  15. Diharamkan menyebarkan rahasia bersenggama

ADAB-ADAB PERNIKAHAN


Setelah kita menyebutkan tentang pesta-pesta dan kebiasaan-kebiasaan munkar yang wajib dijauhi, maka kita akan menyebutkan dalam bab ini tentang adab-adab pernikahan dansegala hal yang terkait dengannya, mengenai hal-hal yang dianjurkan, yang diwajibkan, dan yang dilarang.


  1. Dianjurkan Khutbah Nikah
  2. Dianjurkan menikah pada bulan Syawwal
  3. Pengantin wanita boleh meminjam pakaian dan perhiasan
  4. Memukul pernikahan dengan memukul rebana
  5. Orang yang menikah disunnahkan berdo’a meminta kebiakan dan keberkahan.
  6. Disunnahkan berdo’a sebelum berduaan dengannya
  7. Kedua pengantin baru, dianjurkan melaksanakan shalat dua rakaat bersama
  8. Suami wajib menyayangi dan bersikap lemah lembut, sebagaimana dilakukan nabi
  9. Disunnahkan untuk tidak menggaulinya (isterinya) terlebih dahulu hingga memberikan sesuatu kepadanya.
  10. Disunnahkan berdo’a sebelum melakukan jima’ (bersetubuh)
  11. Dianjurkan tidak tergesa-gesa dalam persetubuhan
  12. Bagaimana engkau menggauli istrimu?

QS. Al-Baqarah : 223


223. Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan Ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.


  1. Dilarang menyetubuhi di bagian dubur (anus)
  2. Diharamkan menggauli istri yang sedang haid
  3. Kaffarat (denda) orang yang mencampuri isteri yang sedang haid
  4. Kapan dibolehkan mencampurinya setelah bersih?

QS. Al-Baqarah : 222

Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri[137] dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci[138]. apabila mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.


  1. Disunnahkan berwudhu’ di antara dua jima’
  2. Masing-Masing suami isteri berhak memandang tubuh pasangannya dan mandi bersama
  3. Berita tentang seorang pria melihat seorang wanita yang mengagumkannya
  4. Nabi memakruhkan seorang suami memanggil isterinya : “Wahai Saudariku”
  5. Pesta perkawinan
  6. Al-‘AZL





RUKUN DAN SYARAT AKAD NIKAH


Penulis: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim

Akad nikah mempunyai beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun dan syarat menentukan hukum suatu perbuatan, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam pernikahan misalnya, rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal. Artinya, pernikahan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.

Perbedaan rukun dan syarat adalah kalau rukun itu harus ada dalam satu amalan dan ia merupakan bagian yang hakiki dari amalan tersebut. Sementara syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam satu amalan namun ia bukan bagian dari amalan tersebut. Sebagai misal adalah ruku’ termasuk rukun shalat. Ia harus ada dalam ibadah shalat dan merupakan bagian dari amalan/tata cara shalat. Adapun wudhu merupakan syarat shalat, ia harus dilakukan bila seseorang hendak shalat namun ia bukan bagian dari amalan/tata cara shalat.

Dalam masalah rukun dan syarat pernikahan ini kita dapati para ulama berselisih pandang ketika menempatkan mana yang rukun dan mana yang syarat. (Raddul Mukhtar, 4/68, Al-Hawil Kabir, 9/57-59, 152, Al-Mu’tamad fi Fiqhil Imam Ahmad, 2/154)

Akan tetapi karena perselisihan yang ada panjang dan lebar, sementara ruang yang ada terbatas, kita langsung pada kesimpulan akhir dalam permasalahan rukun dan syarat ini.

Rukun Nikah

Rukun nikah adalah sebagai berikut:

1. Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang secara syar’i untuk menikah. Di antara perkara syar’i yang menghalangi keabsahan suatu pernikahan misalnya si wanita yang akan dinikahi termasuk orang yang haram dinikahi oleh si lelaki karena adanya hubungan nasab atau hubungan penyusuan. Atau, si wanita sedang dalam masa iddahnya dan selainnya. Penghalang lainnya misalnya si lelaki adalah orang kafir, sementara wanita yang akan dinikahinya seorang muslimah.

2. Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi wali.“Zawwajtuka Fulanah” (”Aku nikahkan engkau dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka Fulanah” (”Aku nikahkan engkau dengan Fulanah”). Misalnya dengan si wali mengatakan,

3. Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya, dengan menyatakan, “Qabiltu Hadzan Nikah” atau “Qabiltu Hadzat Tazwij” (”Aku terima pernikahan ini”) atau “Qabiltuha.”

Dalam ijab dan qabul dipakai lafadz inkah dan tazwij karena dua lafadz ini yang datang dalam Al-Qur`an. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا

“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istrinya (menceraikannya), zawwajnakaha1 (Kami nikahkan engkau dengan Zainab yang telah diceraikan Zaid).” (Al-Ahzab: 37)

Dan firman-Nya:

وَلاَ تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ

“Janganlah kalian menikahi (tankihu2) wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayah-ayah kalian (ibu tiri).” (An-Nisa`: 22)

Namun penyebutan dua lafadz ini dalam Al-Qur`an bukanlah sebagai pembatasan, yakni harus memakai lafadz ini dan tidak boleh lafadz yang lain. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu, demikian pula murid beliau Ibnul Qayyim rahimahullahu, memilih pendapat yang menyatakan akad nikah bisa terjalin dengan lafadz apa saja yang menunjukkan ke sana, tanpa pembatasan harus dengan lafadz tertentu. Bahkan bisa dengan menggunakan bahasa apa saja, selama yang diinginkan dengan lafadz tersebut adalah penetapan akad. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, seperti Malik, Abu Hanifah, dan salah satu perkataan dari mazhab Ahmad. Akad nikah seorang yang bisu tuli bisa dilakukan dengan menuliskan ijabqabul atau dengan isyarat yang dapat dipahami. (Al-Ikhtiyarat, hal. 203, I’lamul Muwaqqi’in, 2/4-5, Asy-Syarhul Mumti’, 12/38-44, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/283-284)

Adapun syarat nikah adalah sebagai berikut:

Syarat pertama: Kepastian siapa mempelai laki-laki dan siapa mempelai wanita dengan isyarat (menunjuk) atau menyebutkan nama atau sifatnya yang khusus/khas. Sehingga tidak cukup bila seorang wali hanya mengatakan, “Aku nikahkan engkau dengan putriku”, sementara ia memiliki beberapa orang putri.

Syarat kedua: Keridhaan dari masing-masing pihak, dengan dalil hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:

لاَ تُنْكَحُ اْلأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ

“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)

Terkecuali bila si wanita masih kecil, belum baligh, maka boleh bagi walinya menikahkannya tanpa seizinnya.

Syarat ketiga: Adanya wali bagi calon mempelai wanita, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ

“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali.” (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1839)

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيْهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ

“Wanita mana saja yang menikah tanpa izin wali-walinya maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil.” (HR. Abu Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)

Apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali maka nikahnya batil, tidak sah. Demikian pula bila ia menikahkan wanita lain. Ini merupakan pendapat jumhur ulama dan inilah pendapat yang rajih. Diriwayatkan hal ini dari ‘Umar, ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah dan Aisyah radhiyallahu ‘anhum. Demikian pula pendapat yang dipegangi oleh Sa’id ibnul Musayyab, Al-Hasan Al-Bashri, ‘Umar bin Abdil ‘Aziz, Jabir bin Zaid, Ats-Tsauri, Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, Ibnul Mubarak, Ubaidullah Al-’Anbari, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan Abu ‘Ubaid rahimahumullah. Al-Imam Malik juga berpendapat seperti ini dalam riwayat Asyhab. Adapun Abu Hanifah menyelisihi pendapat yang ada, karena beliau berpandangan boleh bagi seorang wanita menikahkan dirinya sendiri ataupun menikahkan wanita lain, sebagaimana ia boleh menyerahkan urusan nikahnya kepada selain walinya. (Mausu’ah Masa`ilil Jumhur fil Fiqhil Islami, 2/673, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/284-285)

Siapakah Wali dalam Pernikahan?

Ulama berbeda pendapat dalam masalah wali bagi wanita dalam pernikahannya. Adapun jumhur ulama, di antara mereka adalah Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan selainnya berpandangan bahwa wali nasab seorang wanita dalam pernikahannya adalah dari kalangan ‘ashabah, yaitu kerabat dari kalangan laki-laki yang hubungan kekerabatannya dengan si wanita terjalin dengan perantara laki-laki (bukan dari pihak keluarga perempuan atau keluarga ibu tapi dari pihak keluarga ayah/laki-laki), seperti ayah, kakek dari pihak ayah3, saudara laki-laki, paman dari pihak ayah, anak laki-laki paman dari pihak ayah, dan seterusnya.

Dengan demikian ayahnya ibu (kakek), saudara perempuan ibu (paman/khal), saudara laki-laki seibu, dan semisalnya, bukanlah wali dalam pernikahan, karena mereka bukan ‘ashabah tapi dari kalangan dzawil arham. (Fathul Bari, 9/235, Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl La Wilayata lighairil ‘Ashabat minal Aqarib)

Di antara sekian wali, maka yang paling berhak untuk menjadi wali si wanita adalah ayahnya, kemudian kakeknya (bapak dari ayahnya) dan seterusnya ke atas (bapaknya kakek, kakeknya kakek, dst.) Setelah itu, anak laki-laki si wanita, cucu laki-laki dari anak laki-lakinya, dan terus ke bawah. Kemudian saudara laki-lakinya yang sekandung atau saudara laki-laki seayah saja. Setelahnya, anak-anak laki-laki mereka (keponakan dari saudara laki-laki) terus ke bawah. Setelah itu barulah paman-paman dari pihak ayah, kemudian anak laki-laki paman dan terus ke bawah. Kemudian paman-paman ayah dari pihak kakek (bapaknya ayah). Setelahnya adalah maula (orang yang memerdekakannya dari perbudakan), kemudian yang paling dekat ‘ashabah-nya dengan si maula. Setelah itu barulah sulthan/penguasa. (Al-Mughni kitab An-Nikah, masalah Wa Ahaqqun Nas bin Binikahil Hurrah Abuha, dan seterusnya). Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Bila seorang wanita tidak memiliki wali nasab atau walinya enggan menikahkannya, maka hakim/penguasa memiliki hak perwalian atasnya4 dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ

“Maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.” (HR. Abu Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)

Syarat-syarat Wali

Ulama menyebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang wali:

1. Laki-laki

2. Berakal

3. Beragama Islam

4. Baligh

5. Tidak sedang berihram haji ataupun umrah, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يُنْكِحُ الْـمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ وَلاَ يَخْطُبُ

“Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan, dan tidak boleh mengkhitbah.” (HR. Muslim no. 3432)

Sebagian fuqaha menambahkan syarat wali yang berikutnya adalah memiliki ‘adalah yaitu dia bukan seorang pendosa, bahkan ia terhindar dari melakukan dosa-dosa besar seperti mencuri, berzina, minum khamr, membunuh, makan harta anak yatim, dan semisalnya. Di samping itu, dia tidak terus-menerus tenggelam dalam dosa-dosa kecil dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak sepantasnya. Pensyaratan ‘adalah ini merupakan salah satu dari dua riwayat dalam mazhab Hanabilah dan merupakan pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’iyyah.

Adapun Hanafiyyah memandang seorang yang fasik tidaklah hilang haknya sebagai wali, kecuali bila kefasikannya tersebut sampai pada batasan ia berani terang-terangan berbuat dosa.

Demikian pula Malikiyyah berpandangan seorang yang fasik tidak hilang haknya sebagai wali. Adapun ‘adalah hanyalah syarat penyempurna bagi wali, sehingga bila ada dua wali yang sama derajatnya, yang satu fasik sedangkan yang satu memiliki ‘adalah, seperti seorang wanita yang tidak lagi memiliki ayah dan ia memiliki dua saudara laki-laki, satunya fasik sedangkan yang satunya adil, tentunya yang dikedepankan adalah yang memiliki ‘adalah. (Fiqhun Nisa` fil Khithbah waz Zawaj secara ringkas, hal. 68-70)

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia

Dalam buku I Hukum Pernikahan, Pasal 19, 20, 21, 22 dan 23 berkenaan dengan wali nikah, disebutkan:

Pasal 19

Wali nikah dalam pernikahan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya.

Pasal 20

(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil, dan baligh.

(2) Wali nikah terdiri dari: a. wali nasab; b. wali hakim

Pasal 21

(1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan; kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai.

Pertama: kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas, yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.

Kedua: kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.

Ketiga: kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah, dan keturunan laki-laki mereka.

Keempat: kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek, dan keturunan laki-laki mereka.

(2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.

(3) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya, maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.

(4) Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat ayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.

Pasal 22

Apabila wali nikah yang paling berhak urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tunawicara, tunarungu, atau sudah uzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.

Pasal 23

(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan.

(2) Dalam hal wali adhal atau enggan, maka wali hakim baru bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.

Syarat keempat: Persaksian atas akad nikah tersebut dengan dalil hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma secara marfu’:

لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ

“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.” (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa’ no. 1839, 1858, 1860 dan Shahihul Jami’ no. 7556, 7557)

Oleh karena itu, tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil.

Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu mengatakan, “Pengamalan hal ini ada di kalangan ahlul ilmi, baik dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun orang-orang setelah mereka dari kalangan tabi’in dan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa tidak sah pernikahan tanpa adanya saksi-saksi. Tidak seorang pun di antara mereka yang menyelisihi hal ini, kecuali sekelompok ahlul ilmi dari kalangan mutaakhirin.” (Sunan At-Tirmidzi, 2/284)

Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia disebutkan pula aturan mengenai saksi dalam pernikahan. Keseluruhan materinya terambil dari kitab fiqih menurut jumhur ulama, terutama fiqh Syafi’iyah, sebagai berikut:

Pasal 24

1. Saksi dalam pernikahan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.

2. Setiap pernikahan harus dipersaksikan oleh dua orang saksi.

Pasal 25
Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau tuli.

Pasal 26

Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.

Footnote:

1 Lafadz tazwij yaitu zawwajtuka.

2 Lafadz inkah yaitu ankahtuka.

3 Adapun bila hubungan kekerabatan itu dari jalur perempuan, maka tidak dinamakan ‘ashabah. Seperti saudara laki-laki ibu, ia merupakan kerabat kita yang diperantarai dengan perempuan yaitu ibu. Demikian pula kakek dari pihak ibu.

4 Adapun pelaksanaannya di Indonesia, lihat pada salinan yang dinukilkan dari Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, buku pertama tentang pernikahan, pasal 23.

(Sumber: Majalah Asy Syari’ah, Vol. IV/No. 39/1429H/2008, kategori: Kajian Utama, hal. 23-27. Dicopy dari http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=633





PROSES SYAR’I SEBUAH PERNIKAHAN

Proses mencari jodoh dalam Islam bukanlah “membeli kucing dalam karung” sebagaimana sering dituduhkan. Namun justru diliputi oleh perkara yang penuh adab. Bukan “coba dulu baru beli” kemudian “habis manis sepah dibuang”, sebagaimana jamaknya pacaran kawula muda di masa sekarang.

Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tatacara ataupun proses sebuah pernikahan yang berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih. Berikut ini kami bawakan perinciannya:

1. Mengenal calon pasangan hidup

Sebelum seorang lelaki memutuskan untuk menikahi seorang wanita, tentunya ia harus mengenal terlebih dahulu siapa wanita yang hendak dinikahinya, begitu pula sebaliknya si wanita tahu siapa lelaki yang berhasrat menikahinya. Tentunya proses kenal-mengenal ini tidak seperti yang dijalani orang-orang yang tidak paham agama, sehingga mereka menghalalkan pacaran atau pertunangan dalam rangka penjajakan calon pasangan hidup, kata mereka. Pacaran dan pertunangan haram hukumnya tanpa kita sangsikan.

Adapun mengenali calon pasangan hidup di sini maksudnya adalah mengetahui siapa namanya, asalnya, keturunannya, keluarganya, akhlaknya, agamanya dan informasi lain yang memang dibutuhkan. Ini bisa ditempuh dengan mencari informasi dari pihak ketiga, baik dari kerabat si lelaki atau si wanita ataupun dari orang lain yang mengenali si lelaki/si wanita.

Yang perlu menjadi perhatian, hendaknya hal-hal yang bisa menjatuhkan kepada fitnah (godaan setan) dihindari kedua belah pihak seperti bermudah-mudahan melakukan hubungan telepon, sms, surat-menyurat, dengan alasan ingin ta’aruf (kenal-mengenal) dengan calon suami/istri. Jangankan baru ta’aruf, yang sudah resmi meminang pun harus menjaga dirinya dari fitnah. Karenanya, ketika Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah ditanya tentang pembicaraan melalui telepon antara seorang pria dengan seorang wanita yang telah dipinangnya, beliau menjawab, “Tidak apa-apa seorang laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya, bila memang pinangannya telah diterima dan pembicaraan yang dilakukan dalam rangka mencari pemahaman sebatas kebutuhan yang ada, tanpa adanya fitnah. Namun bila hal itu dilakukan lewat perantara wali si wanita maka lebih baik lagi dan lebih jauh dari keraguan/fitnah. Adapun pembicaraan yang biasa dilakukan laki-laki dengan wanita, antara pemuda dan pemudi, padahal belum berlangsung pelamaran di antara mereka, namun tujuannya untuk saling mengenal, sebagaimana yang mereka istilahkan, maka ini mungkar, haram, bisa mengarah kepada fitnah serta menjerumuskan kepada perbuatan keji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوفًا

“Maka janganlah kalian tunduk (lembut mendayu-dayu) dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang di hatinya ada penyakit dan ucapkanlah ucapan yang ma’ruf.” (Al-Ahzab: 32)

Seorang wanita tidak sepantasnya berbicara dengan laki-laki ajnabi kecuali bila ada kebutuhan dengan mengucapkan perkataan yang ma’ruf, tidak ada fitnah di dalamnya dan tidak ada keraguan (yang membuatnya dituduh macam-macam).” (Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan 3/163-164)

Beberapa hal yang perlu diperhatikan

Ada beberapa hal yang disenangi bagi laki-laki untuk memerhatikannya:

q Wanita itu shalihah, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تُنْكَحُ النِّسَاءُ لِأَرْبَعَةٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَلِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

“Wanita itu (menurut kebiasaan yang ada, pent.) dinikahi karena empat perkara, bisa jadi karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu wanita yang memiliki agama. Bila tidak, engkau celaka.” (HR. Al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 3620 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

q Wanita itu subur rahimnya. Tentunya bisa diketahui dengan melihat ibu atau saudara perempuannya yang telah menikah.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ

“Nikahilah oleh kalian wanita yang penyayang lagi subur, karena aku berbangga-bangga di hadapan umat yang lain pada kiamat dengan banyaknya jumlah kalian.” (HR. An-Nasa`i no. 3227, Abu Dawud no. 1789, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa`ul Ghalil no. 1784)

q Wanita tersebut masih gadis1, yang dengannya akan dicapai kedekatan yang sempurna.

Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma ketika memberitakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia telah menikah dengan seorang janda, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَهَلاَّ جَارِيَةً تُلاَعِبُهَا وَتُلاَعِبُكَ؟

“Mengapa engkau tidak menikah dengan gadis hingga engkau bisa mengajaknya bermain dan dia bisa mengajakmu bermain?!”

Namun ketika Jabir mengemukakan alasannya, bahwa ia memiliki banyak saudara perempuan yang masih belia, sehingga ia enggan mendatangkan di tengah mereka perempuan yang sama mudanya dengan mereka sehingga tak bisa mengurusi mereka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memujinya, “Benar apa yang engkau lakukan.” (HR. Al-Bukhari no. 5080, 4052 dan Muslim no. 3622, 3624)

Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَلَيْكُمْ بِالْأَبْكَارِ، فَإِنَّهُنَّ أَعْذَبُ أَفْوَاهًا وَأَنْتَقُ أَرْحَامًا وَأَرْضَى بِالْيَسِيْرِ

“Hendaklah kalian menikah dengan para gadis karena mereka lebih segar mulutnya, lebih banyak anaknya, dan lebih ridha dengan yang sedikit.” (HR. Ibnu Majah no. 1861, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 623)

2. Nazhar (melihat calon pasangan hidup)

Seorang wanita pernah datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghibahkan dirinya. Si wanita berkata:

ياَ رَسُوْلَ اللهِ، جِئْتُ أَهَبُ لَكَ نَفْسِي. فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَصَعَّدَ النَّظَرَ فِيْهَا وَصَوَّبَهُ، ثُمَّ طَأْطَأَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم رًأْسَهُ

“Wahai Rasulullah! Aku datang untuk menghibahkan diriku kepadamu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melihat ke arah wanita tersebut. Beliau mengangkat dan menurunkan pandangannya kepada si wanita. Kemudian beliau menundukkan kepalanya. (HR. Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 3472)

Hadits ini menunjukkan bila seorang lelaki ingin menikahi seorang wanita maka dituntunkan baginya untuk terlebih dahulu melihat calonnya tersebut dan mengamatinya. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/215-216)

Oleh karena itu, ketika seorang sahabat ingin menikahi wanita Anshar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatinya:

انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّ فِي أَعْيُنِ الْأَنْصَارِ شَيْئًا، يَعْنِي الصِّغَرَ

“Lihatlah wanita tersebut, karena pada mata orang-orang Anshar ada sesuatu.” Yang beliau maksudkan adalah mata mereka kecil. (HR. Muslim no. 3470 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Demikian pula ketika Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu meminang seorang wanita, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apakah engkau telah melihat wanita yang kau pinang tersebut?” “Belum,” jawab Al-Mughirah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا

“Lihatlah wanita tersebut, karena dengan seperti itu akan lebih pantas untuk melanggengkan hubungan di antara kalian berdua (kelak).” (HR. An-Nasa`i no. 3235, At-Tirmidzi no.1087. Dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 96)

Al-Imam Al-Baghawi rahimahullahu berkata, “Dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamradhiyallahu ‘anhu: “Apakah engkau telah melihat wanita yang kau pinang tersebut?” ada dalil bahwa sunnah hukumnya ia melihat si wanita sebelum khitbah (pelamaran), sehingga tidak memberatkan si wanita bila ternyata ia membatalkan khitbahnya karena setelah nazharSyarhus Sunnah 9/18) kepada Al-Mughirah ternyata ia tidak menyenangi si wanita.” (

Bila nazhar dilakukan setelah khitbah, bisa jadi dengan khitbah tersebut si wanita merasa si lelaki pasti akan menikahinya. Padahal mungkin ketika si lelaki melihatnya ternyata tidak menarik hatinya lalu membatalkan lamarannya, hingga akhirnya si wanita kecewa dan sakit hati. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/214)

Sahabat Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku meminang seorang wanita, maka aku bersembunyi untuk mengintainya hingga aku dapat melihatnya di sebuah pohon kurmanya.” Maka ada yang bertanya kepada Muhammad, “Apakah engkau melakukan hal seperti ini padahal engkau adalah sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Kata Muhammad, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا أَلْقَى اللهُ فيِ قَلْبِ امْرِئٍ خِطْبَةَ امْرَأَةٍ، فَلاَ بَأْسَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا

“Apabila Allah melemparkan di hati seorang lelaki (niat) untuk meminang seorang wanita maka tidak apa-apa baginya melihat wanita tersebut.” (HR. Ibnu Majah no. 1864, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Ibni Majah dan Ash-Shahihah no. 98)

Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata, “Boleh melihat wanita yang ingin dinikahi walaupun si wanita tidak mengetahuinya ataupun tidak menyadarinya.” Dalil dari hal ini sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً، فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا إِذَا كَانَ إِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَيْهَا لِخِطْبَتِهِ، وَإِنْ كَانَتْ لاَ تَعْلَمُ

‘Apabila seorang dari kalian ingin meminang seorang wanita, maka tidak ada dosa baginya melihat si wanita apabila memang tujuan melihatnya untuk meminangnya, walaupun si wanita tidak mengetahui (bahwa dirinya sedang dilihat).” (HR. Ath-Thahawi, Ahmad 5/424 dan Ath-ThabaraniAl-Mu’jamul Ausath 1/52/1/898, dengan sanad yang shahih, lihat Ash-Shahihah 1/200) dalam

Pembolehan melihat wanita yang hendak dilamar walaupun tanpa sepengetahuan dan tanpa seizinnya ini merupakan pendapat yang dipegangi jumhur ulama.

Adapun Al-Imam Malik rahimahullahu dalam satu riwayat darinya menyatakan, “Aku tidak menyukai bila si wanita dilihat dalam keadaan ia tidak tahu karena khawatir pandangan kepada si wanita terarah kepada aurat.” Dan dinukilkan dari sekelompok ahlul ilmi bahwasanya tidak boleh melihat wanita yang dipinang sebelum dilangsungkannya akad karena si wanita masih belum jadi istrinya. (Al-Hawil KabirSyarhul Ma’anil Atsar 2/372, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim 9/214, Fathul Bari 9/158) 9/35,

Haramnya berduaan dan bersepi-sepi tanpa mahram ketika nazhar

Sebagai catatan yang harus menjadi perhatian bahwa ketika nazhar tidak boleh lelaki tersebut berduaan saja dan bersepi-sepi tanpa mahram (berkhalwat) dengan si wanita. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ

“Sekali-kali tidak boleh seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1862 dan Muslim no. 3259)

Karenanya si wanita harus ditemani oleh salah seorang mahramnya, baik saudara laki-laki atau ayahnya. (Fiqhun Nisa` fil Khithbah waz Zawaj, hal. 28)

Bila sekiranya tidak memungkinkan baginya melihat wanita yang ingin dipinang, boleh ia mengutus seorang wanita yang tepercaya guna melihat/mengamati wanita yang ingin dipinang untuk kemudian disampaikan kepadanya. (An-Nazhar fi Ahkamin Nazhar bi Hassatil Bashar, Ibnul Qaththan Al-Fasi hal. 394, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/214, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/280)

Batasan yang boleh dilihat dari seorang wanita

Ketika nazhar, boleh melihat si wanita pada bagian tubuh yang biasa tampak di depan mahramnya. Bagian ini biasa tampak dari si wanita ketika ia sedang bekerja di rumahnya, seperti wajah, dua telapak tangan, leher, kepala, dua betis, dua telapak kaki dan semisalnya. Karena adanya hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَي مَا يَدْعُوهُ إِلىَ نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ

“Bila seorang dari kalian meminang seorang wanita, lalu ia mampu melihat dari si wanita apa yang mendorongnya untuk menikahinya, maka hendaklah ia melakukannya.” (HR. Abu Dawud no. 2082 dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 99)

Di samping itu, dilihat dari adat kebiasaan masyarakat, melihat bagian-bagian itu bukanlah sesuatu yang dianggap memberatkan atau aib. Juga dilihat dari pengamalan yang ada pada para sahabat. Sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma ketika melamar seorang perempuan, ia pun bersembunyi untuk melihatnya hingga ia dapat melihat apa yang mendorongnya untuk menikahi si gadis, karena mengamalkan hadits tersebut. Demikian juga Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anhuhujjah untuk membolehkan seorang lelaki untuk melihat lebih dari sekadar wajah dan dua telapak tangan2. sebagaimana telah disinggung di atas. Sehingga cukuplah hadits-hadits ini dan pemahaman sahabat sebagai

Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “Sisi kebolehan melihat bagian tubuh si wanita yang biasa tampak adalah ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan melihat wanita yang hendak dipinang dengan tanpa sepengetahuannya. Dengan demikian diketahui bahwa beliau mengizinkan melihat bagian tubuh si wanita yang memang biasa terlihat karena tidak mungkin yang dibolehkan hanya melihat wajah saja padahal ketika itu tampak pula bagian tubuhnya yang lain, tidak hanya wajahnya. Karena bagian tubuh tersebut memang biasa terlihat. Dengan demikian dibolehkan melihatnya sebagaimana dibolehkan melihat wajah. Dan juga karena si wanita boleh dilihat dengan perintah penetap syariat berarti dibolehkan melihat bagian tubuhnya sebagaimana yang dibolehkan kepada mahram-mahram si wanita.” (Al-Mughni, fashl Ibahatun Nazhar Ila Wajhil Makhthubah)

Memang dalam masalah batasan yang boleh dilihat ketika nazhar ini didapatkan adanya perselisihan pendapat di kalangan ulama3.

3. Khithbah (peminangan)

Seorang lelaki yang telah berketetapan hati untuk menikahi seorang wanita, hendaknya meminang wanita tersebut kepada walinya.

Apabila seorang lelaki mengetahui wanita yang hendak dipinangnya telah terlebih dahulu dipinang oleh lelaki lain dan pinangan itu diterima, maka haram baginya meminang wanita tersebut. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

لاَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ

“Tidak boleh seseorang meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga saudaranya itu menikahi si wanita atau meninggalkannya (membatalkan pinangannya).” (HR. Al-Bukhari no. 5144)

Dalam riwayat Muslim (no. 3449) disebutkan:

الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ، فَلاَ يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يَبْتَاعَ عَلى بَيْعِ أَخِيْهِ وَلاَ يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَذَرَ

“Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain. Maka tidaklah halal baginya menawar barang yang telah dibeli oleh saudaranya dan tidak halal pula baginya meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga saudaranya meninggalkan pinangannya (membatalkan).”

Perkara ini merugikan peminang yang pertama, di mana bisa jadi pihak wanita meminta pembatalan pinangannya disebabkan si wanita lebih menyukai peminang kedua. Akibatnya, terjadi permusuhan di antara sesama muslim dan pelanggaran hak. Bila peminang pertama ternyata ditolak atau peminang pertama mengizinkan peminang kedua untuk melamar si wanita, atau peminang pertama membatalkan pinangannya maka boleh bagi peminang kedua untuk maju. (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/282)

Setelah pinangan diterima tentunya ada kelanjutan pembicaraan, kapan akad nikad akan dilangsungkan. Namun tidak berarti setelah peminangan tersebut, si lelaki bebas berduaan dan berhubungan dengan si wanita. Karena selama belum akad keduanya tetap ajnabi, sehingga janganlah seorang muslim bermudah-mudahan dalam hal ini. (Fiqhun Nisa fil Khithbah waz Zawaj, hal. 28)

Jangankan duduk bicara berduaan, bahkan ditemani mahram si wanita pun masih dapat mendatangkan fitnah. Karenanya, ketika Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu dimintai fatwa tentang seorang lelaki yang telah meminang seorang wanita, kemudian di hari-hari setelah peminangan, ia biasa bertandang ke rumah si wanita, duduk sebentar bersamanya dengan didampingi mahram si wanita dalam keadaan si wanita memakai hijab yang syar’i. Berbincanglah si lelaki dengan si wanita. Namun pembicaraan mereka tidak keluar dari pembahasan agama ataupun bacaan Al-Qur`an. Lalu apa jawaban Syaikh rahimahullahu? Beliau ternyata berfatwa, “Hal seperti itu tidak sepantasnya dilakukan. Karena, perasaan pria bahwa wanita yang duduk bersamanya telah dipinangnya secara umum akan membangkitkan syahwat. Sementara bangkitnya syahwat kepada selain istri dan budak perempuan yang dimiliki adalah haram. Sesuatu yang mengantarkan kepada keharaman, hukumnya haram pula.” (Fatawa Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin, 2/748)

Yang perlu diperhatikan oleh wali

Ketika wali si wanita didatangi oleh lelaki yang hendak meminang si wanita atau ia hendak menikahkan wanita yang di bawah perwaliannya, seharusnya ia memerhatikan perkara berikut ini:

q Memilihkan suami yang shalih dan bertakwa. Bila yang datang kepadanya lelaki yang demikian dan si wanita yang di bawah perwaliannya juga menyetujui maka hendaknya ia menikahkannya karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ

“Apabila datang kepada kalian (para wali) seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya (untuk meminang wanita kalian) maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)

q Meminta pendapat putrinya/wanita yang di bawah perwaliannya dan tidak boleh memaksanya.

Persetujuan seorang gadis adalah dengan diamnya karena biasanya ia malu. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata menyampaikan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ: أَنْ تَسْكُتَ

“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah! Bagaimana izinnya seorang gadis?” “Izinnya dengan ia diam,” jawab beliau. (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)

4. Akad nikah

Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul.

Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. IjabRiyadhus Shalihin.” dari pihak wali si perempuan dengan ucapannya, misalnya: “Saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab

Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya, misalnya: “Saya terima nikahnya anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”

Sebelum dilangsungkannya akad nikah, disunnahkan untuk menyampaikan khutbah yang dikenal dengan khutbatun nikah atau khutbatul hajah. Lafadznya sebagai berikut:

إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوبُ إِلَيْهِ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَلاَّ إِلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. (آل عمران: ١٠٢)

يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا. (النساء: ١)

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. (الأحزاب: ٧٠-٧١)

5. Walimatul ‘urs

Melangsungkan walimah ‘urs hukumnya sunnah menurut sebagian besar ahlul ilmi, menyelisihi pendapat sebagian mereka yang mengatakan wajib, karena adanya perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu ketika mengabarkan kepada beliau bahwa dirinya telah menikah:

أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ

“Selenggarakanlah walimah walaupun dengan hanya menyembelih seekor kambing4.” (HR. Al-Bukhari no. 5167 dan Muslim no. 3475)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya seperti dalam hadits Anas radhiyallahu ‘anhu disebutkan:

مَا أَوْلَمَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَلىَ شَيْءٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا أَوْلَمَ عَلىَ زَيْنَبَ، أَوْلَمَ بِشَاةٍ

“Tidaklah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya dengan sesuatu yang seperti beliau lakukan ketika walimah dengan Zainab. Beliau menyembelih kambing untuk acara walimahnya dengan Zainab.” (HR. Al-Bukhari no. 5168 dan Muslim no. 3489)

Walimah bisa dilakukan kapan saja. Bisa setelah dilangsungkannya akad nikah dan bisa pula ditunda beberapa waktu sampai berakhirnya hari-hari pengantin baru. Namun disenangi tiga hari setelah dukhul, karena demikian yang dinukilkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah dengan Shafiyyah radhiyallahu ‘anha dan beliau jadikan kemerdekaan Shafiyyah sebagai maharnya. Beliau mengadakan walimah tiga hari kemudian.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Adabuz Zafaf hal. 74: “Diriwayatkan Abu Ya’la dengan sanad yang hasan sebagaimana dalam Fathul Bari (9/199) dan ada dalam Shahih Al-Bukhari secara makna.”)

Hendaklah yang diundang dalam acara walimah tersebut orang-orang yang shalih, tanpa memandang dia orang kaya atau orang miskin. Karena kalau yang dipentingkan hanya orang kaya sementara orang miskinnya tidak diundang, maka makanan walimah tersebut teranggap sejelek-jelek makanan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيْمَةِ، يُدْعَى إِلَيْهَا اْلأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْمَسَاكِيْنُ

“Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah di mana yang diundang dalam walimah tersebut hanya orang-orang kaya sementara orang-orang miskin tidak diundang.” (HR. Al-Bukhari no. 5177 dan Muslim no. 3507)

Pada hari pernikahan ini disunnahkan menabuh duff (sejenis rebana kecil, tanpa keping logam di sekelilingnya -yang menimbulkan suara gemerincing-, ed.) dalam rangka mengumumkan kepada khalayak akan adanya pernikahan tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ الدُّفُّ وَالصَّوْتُ فِي النِّكَاحِ

“Pemisah antara apa yang halal dan yang haram adalah duff dan shaut (suara) dalam pernikahan.”HR. An-Nasa`i no. 3369, Ibnu Majah no. 1896. Dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1994) (

Adapun makna shaut di sini adalah pengumuman pernikahan, lantangnya suara dan penyebutan/pembicaraan tentang pernikahan tersebut di tengah manusia. (Syarhus Sunnah 9/47,48)

Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu menyebutkan satu bab dalam Shahih-nya, “Menabuh duff dalam acara pernikahan dan walimah” dan membawakan hadits Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz radhiyallahu ‘anha yang mengisahkan kehadiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pernikahannya. Ketika itu anak-anak perempuan memukul duff sembari merangkai kata-kata menyenandungkan pujian untuk bapak-bapak mereka yang terbunuh dalam perang Badr, sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengarkannya. (HR. Al-Bukhari no. 5148)

Dalam acara pernikahan ini tidak boleh memutar nyanyian-nyanyian atau memainkan alat-alat musik, karena semua itu hukumnya haram.

Disunnahkan bagi yang menghadiri sebuah pernikahan untuk mendoakan kedua mempelai dengan dalil hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

أَنَّ النَّبِيَّّ صلى الله عليه وسلم كاَنَ إِذَا رَفَّأَ اْلإِنْسَاَن، إِذَا تَزَوَّجَ قَالَ: بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ

“Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila mendoakan seseorang yang menikah, beliau mengatakan: ‘Semoga Allah memberkahi untukmu dan memberkahi atasmu serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan’.” (HR. At-Tirmidzi no. 1091, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahuShahih Sunan At-Tirmidzi) dalam

6. Setelah akad

Ketika mempelai lelaki telah resmi menjadi suami mempelai wanita, lalu ia ingin masuk menemui istrinya maka disenangi baginya untuk melakukan beberapa perkara berikut ini:

Pertama: Bersiwak terlebih dahulu untuk membersihkan mulutnya karena dikhawatirkan tercium aroma yang tidak sedap dari mulutnya. Demikian pula si istri, hendaknya melakukan yang sama. Hal ini lebih mendorong kepada kelanggengan hubungan dan kedekatan di antara keduanya. Didapatkan dari perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersiwak bila hendak masuk rumah menemui istrinya, sebagaimana berita dari Aisyah radhiyallahu ‘anha (HR. Muslim no. 590).

Kedua: Disenangi baginya untuk menyerahkan mahar bagi istrinya sebagaimana akan disebutkan dalam masalah mahar dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

Ketiga: Berlaku lemah lembut kepada istrinya, dengan semisal memberinya segelas minuman ataupun yang semisalnya berdasarkan hadits Asma` bintu Yazid bin As-Sakan radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Aku mendandani Aisyah radhiyallahu ‘anha untuk dipertemukan dengan suaminya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah selesai aku memanggil Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melihat Aisyah. Beliau pun datang dan duduk di samping Aisyah. Lalu didatangkan kepada beliau segelas susu. Beliau minum darinya kemudian memberikannya kepada Aisyah yang menunduk malu.” Asma` pun menegur Aisyah, “Ambillah gelas itu dari tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aisyah pun mengambilnya dan meminum sedikit dari susu tersebut.” (HR. Ahmad, 6/438, 452, 458 secara panjang dan secara ringkas dengan dua sanad yang saling menguatkan, lihat Adabuz Zafaf, hal. 20)

Keempat: Meletakkan tangannya di atas bagian depan kepala istrinya (ubun-ubunnya) sembari mendoakannya, dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِذَا تَزَوَّجَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً أَوِ اشْتَرَى خَادِمًا فَلْيَأْخُذْ بِنَاصِيَتِهَا وَلْيُسَمِّ اللهَ عز وجل وَلْيَدْعُ بِالْبَرَكَةِ وَلْيَقُلْ: اللّهمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهَا وَخَيْرِ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ

“Apabila salah seorang dari kalian menikahi seorang wanita atau membeli seorang budak maka hendaklah ia memegang ubun-ubunnya, menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, mendoakan keberkahan dan mengatakan: ‘Ya Allah, aku meminta kepada-Mu dari kebaikannya dan kebaikan apa yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia di atasnya dan aku berlindung kepada-Mu dari kejelekannya dan kejelekan apa yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia di atasnya’.” (HR. Abu Dawud no. 2160, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Kelima: Ahlul ‘ilmi ada yang memandang setelah dia bertemu dan mendoakan istrinya disenangi baginya untuk shalat dua rakaat bersamanya. Hal ini dinukilkan dari atsar Abu Sa’id maula Abu Usaid Malik bin Rabi’ah Al-Anshari. Ia berkata: “Aku menikah dalam keadaan aku berstatus budak. Aku mengundang sejumlah sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antara mereka ada Ibnu Mas’ud, Abu Dzar, dan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhum. Lalu ditegakkan shalat, majulah Abu Dzar untuk mengimami. Namun orang-orang menyuruhku agar aku yang maju. Ketika aku menanyakan mengapa demikian, mereka menjawab memang seharusnya demikian. Aku pun maju mengimami mereka dalam keadaan aku berstatus budak. Mereka mengajariku dan mengatakan, “Bila engkau masuk menemui istrimu, shalatlah dua rakaat. Kemudian mintalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kebaikannya dan berlindunglah dari kejelekannya. Seterusnya, urusanmu dengan istrimu.” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, demikian pula Abdurrazzaq. Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Adabuz Zafaf hal. 23, “Sanadnya shahih sampai ke Abu Sa’id”).

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Footnote:

1 Namun bukan berarti janda terlarang baginya, karena dari keterangan di atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperkenankan Jabir radhiyallahu ‘anhu memperistri seorang janda. Juga, semua istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dinikahi dalam keadaan janda, kecuali Aisyah radhiyallahu ‘anha.

2 Faedah: Kisah Amirul Mukminin ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang menyingkap dua betis Ummu Kultsum bintu ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu yang hendak dinikahinya, adalah kisah yang dhaif (lemah), pada sanadnya ada irsal dan inqitha’. (Adh-Dha’ifah, ketika membahas hadits no. 1273)

3 Bahkan Al-Imam Ahmad rahimahullahu sampai memiliki beberapa riwayat dalam masalah ini, di antaranya:

Pertama: Yang boleh dilihat hanya wajah si wanita saja.

Kedua: Wajah dan dua telapak tangan. Sebagaimana pendapat ini juga dipegangi oleh Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Syafi’iyyah.

Ketiga: Boleh dilihat bagian tubuhnya yang biasa tampak di depan mahramnya dan bagian ini biasa tampak dari si wanita ketika ia sedang bekerja di rumahnya seperti wajah, dua telapak tangan, leher, kepala, dua betis, dua telapak kaki, dan semisalnya. Tidak boleh dilihat bagian tubuhnya yang biasanya tertutup seperti bagian dada, punggung, dan semisal keduanya.

Keempat: Seluruh tubuhnya boleh dilihat, selain dua kemaluannya. Dinukilkan pendapat ini dari Dawud Azh-Zhahiri.

Kelima: Boleh melihat seluruh tubuhnya tanpa pengecualian. Pendapat ini dipegangi pula oleh Ibnu Hazm dan dicondongi oleh Ibnu Baththal serta dinukilkan juga dari Dawud Azh-Zhahiri.

PERHATIAN: Tentang pendapat Dawud Azh-Zhahiri di atas, Al-Imam An-Nawawi berkata bahwa pendapat tersebut adalah suatu kesalahan yang nyata, yang menyelisihi prinsip Ahlus Sunnah. Ibnul Qaththan menyatakan: “Ada pun sau`atan (yakni qubul dan dubur) tidak perlu dikaji lagi bahwa keduanya tidak boleh dilihat. Apa yang disebutkan bahwa Dawud membolehkan melihat kemaluan, saya sendiri tidak pernah melihat pendapatnya secara langsung dalam buku murid-muridnya. Itu hanya sekedar nukilan dari Abu Hamid Al-Isfirayini. Dan telah saya kemukakan dalil-dalil yang melarang melihat aurat.”

Sulaiman At-Taimi berkata: “Bila engkau mengambil rukhshah (pendapat yang ringan) dari setiap orang alim, akan terkumpul pada dirimu seluruh kejelekan.”

Ibnu Abdilbarr berkata mengomentari ucapan Sulaiman At-Taimi di atas: “Ini adalah ijma’ (kesepakatan ulama), aku tidak mengetahui adanya perbedaan dalam hal ini.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 359)

Selain itu ada pula pendapat berikutnya yang bukan merupakan pendapat Al-Imam Ahmad:

Keenam: Boleh melihat wajah, dua telapak tangan dan dua telapak kaki si wanita, demikian pendapat Abu Hanifah dalam satu riwayat darinya.

Ketujuh: Boleh dilihat dari si wanita sampai ke tempat-tempat daging pada tubuhnya, demikian kata Al-Auza’i. (An-Nazhar fi Ahkamin Nazhar hal. 392,393, Fiqhun Nazhar hal. 77,78)

Al-Imam Al-Albani rahimahullahu menyatakan bahwa riwayat yang ketiga lebih mendekati zahir hadits dan mencocoki apa yang dilakukan oleh para sahabat. (Ash-Shahihah, membahas hadits no. 99)

4 Bagi orang yang punya kelapangan tentunya, sehingga jangan dipahami bahwa walimah harus dengan memotong kambing. Setiap orang punya kemampuan yang berbeda. (Syarhus Sunnah 9/135)

Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam walimah atas pernikahannya dengan Shafiyyah, yang terhidang hanyalah makanan yang terbuat dari tepung dicampur dengan minyak samin dan keju (HR. Al-Bukhari no. 5169).

Sehingga hal ini menunjukkan boleh walimah tanpa memotong sembelihan. Wallahu ‘alam bish-shawab.

(Sumber: Majalah Asy Syari’ah, Vol. IV/No. 39/1429H/2008, kategori: Kajian Utama, hal. 15-22, 27. Dicopy dari http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=632)




MENIKAH DENGAN ATURAN ISLAM

Sebagai salah satu ibadah yang mulia kedudukannya, menikah berikut prosesi yang mendahului ataupun setelahnya juga memiliki rambu-rambu yang telah digariskan syariat.

Pengertian Nikah
Nikah sebagai kata serapan dari bahasa Arab bila ditinjau dari sisi bahasa maknanya menghimpun atau mengumpulkan. Kata ini bisa dimutlakkan pada dua perkara yaitu akad dan jima’ (“hubungan” suami istri).
Adapun pengertian nikah secara syar’i adalah seorang pria mengadakan akad dengan seorang wanita dengan tujuan agar ia dapat istimta’ (bernikmat-nikmat) dengan si wanita, dapat beroleh keturunan, dan tujuan lain yang merupakan maslahat nikah.

Akad nikah merupakan mitsaq (perjanjian) di antara sepasang suami istri. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
“Dan mereka (para istri) telah mengambil dari kalian (para suami) perjanjian yang kuat.” (An-Nisa`: 21)
Akad ini mengharuskan masing-masing dari suami dan istri memenuhi apa yang dikandung dalam perjanjian tersebut, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad (perjanjian-perjanjian) kalian.” (Al-Ma`idah: 1) [Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/175-176, Fathul Bari, 9/130, Adz-Dzakhirah, 4/188-189, At-Ta’rifat Lil Jurjani, hal. 237, Asy-Syarhul Mumti’, 12/5, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/274]

Pensyariatan Nikah dan Maslahatnya
Pensyariatan nikah ditunjukkan dalam Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ (kesepakatan ulama).
Dari Al-Qur`an, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
“Nikahilah oleh kalian wanita-wanita yang kalian senangi.” (An-Nisa`: 3)
وَأَنْكِحُوا اْلأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ
“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih sendiri (belum menikah) di antara kalian, demikian pula orang-orang yang shalih dari kalangan budak laki-laki dan budak perempuan kalian. Bila mereka dalam keadaan fakir maka Allah akan mencukupkan mereka dengan keutamaan dari-Nya.” (An-Nur: 32)

Dari As-Sunnah, sangat banyak kita dapatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, ataupun taqrir (persetujuan). Di antaranya yang bisa kita sebutkan adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para pemuda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ
“Wahai sekalian para pemuda! Siapa di antara kalian yang telah mampu untuk menikah maka hendaknya ia menikah….” (HR. Al-Bukhari no. 5060 dan Muslim no. 3384 dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)

Adapun dari ijma’ maka telah dinukilkan oleh Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullahu dalam kitabnya Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl Al-Ashl fi Masyru’iyatin Nikah Al-Kitabu was-Sunnah wal Ijma’.
Penetap syariat banyak memberikan hasungan untuk melangsungkan pernikahan. Karena dalam pernikahan banyak diperoleh maslahat yang agung yang kembalinya pada pasangan suami-istri, anak-anak yang dilahirkan, masyarakat dan agama. Begitu pula dengan pernikahan akan tertolak sekian banyak mafsadat.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda memberi hasungan:
تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ
“Menikahlah kalian dengan wanita yang penyayang lagi subur, karena (pada hari kiamat nanti) aku membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat yang lain.” (HR. Abu Dawud no. 2050 dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan oleh guru kami Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i rahimahullahu dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/189)
Para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak ketinggalan dalam memberi hasungan untuk menikah. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah berkata kepada Sa’id bin Jubair rahimahullahu: “Apakah engkau telah menikah?” “Belum,” jawab Sa’id. Ibnu ‘Abbas berkata, “Menikahlah! Karena sebaik-baik umat ini adalah orang yang paling banyak istrinya.” (HR. Al-Bukhari no. 5069)

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Seandainya tidak tersisa umurku kecuali hanya semalam, niscaya aku menyenangi bila aku memiliki seorang istri pada malam tersebut.” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, 4/128)

Di antara faedah dan manfaat yang besar dari pernikahan yang dapat kita sebutkan adalah sebagai berikut:

1. Dengan pernikahan akan terjaga kemaluan lelaki dan perempuan, akan menundukkan pandangan keduanya dari melihat apa yang tidak halal dan menjaga diri dari istimta’ (berlezat-lezat) dengan sesuatu yang haram, yang dengan ini akan merusak masyarakat manusia.

2. Menjaga kelestarian umat manusia di muka bumi karena dengan menikah akan lahir generasi-generasi penerus bagi pendahulunya.

3. Memperbanyak umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan keturunan yang lahir dalam pernikahan sehingga menambah hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang beriman, yang dengannya dapat mewujudkan keinginan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membanggakan banyaknya umat beliau. Tentunya hal ini akan membuat marah orang-orang kafir dengan lahirnya para mujahidin fi sabilillah yang akan membela agamanya. Di samping juga akan ada saling membantu dalam melakukan pekerjaan dan memakmurkan alam ini.

4. Menjaga nasab, mengikat kekerabatan dan hubungan rahim sebagian mereka dengan sebagian yang lain. Seandainya tidak ada akad nikah dan menjaga kemaluan dengan pernikahan, niscaya akan tersia-siakan nasab dan keturunan manusia. Akibatnya kehidupan di dunia ini menjadi kacau tiada beraturan. Tidak ada saling mewarisi, tidak ada hak dan kewajiban, tidak ada ushul (asal muasal keturunan seseorang), dan tidak ada furu’ (anak keturunan seseorang).

5. Pernikahan akan menumbuhkan kedekatan hati, mawaddah dan rahmah di antara suami istri. Karena yang namanya manusia pasti membutuhkan teman dalam hidupnya yang bisa menyertainya dalam suka duka dan bahagianya. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengisyaratkan hal ini dalam firman-Nya:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri agar kalian merasa tenang dengannya dan Dia menjadikan mawaddah dan rahmah di antara kalian. Sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mau berpikir.” (Ar-Rum: 21)

Cinta dan kasih sayang di antara suami-istri ini tidak dapat disamai dengan cinta dan kasih sayang di antara dua orang yang berteman atau dua orang yang dekat hubungannya. Karenanya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَمْ يُرَ لِلْمُتَحَابَّيْنِ مِثْلُ النِّكَاحِ
“Tidak terlihat hubungan yang demikian dekat di antara dua orang yang saling mencintai yang bisa menyamai hubungan yang terjalin karena pernikahan.” (HR. Ibnu Majah no. 1848, hadits ini dikuatkan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dengan jalan yang lain, lihat Ash-Shahihah no. 624)

6. Dengan terjalinnya hubungan pernikahan, akan berkumpul dua insan guna bersama membina rumah tangga dan keluarga, di mana keluarga merupakan inti tegaknya masyarakat dan kebaikan bagi masyarakat. Si suami menjaga, mengarahkan dan membimbing istri serta anak-anaknya, dan ia bekerja untuk menafkahi mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita dikarenakan Allah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) di atas sebagain yang lain (wanita) dan juga karena kaum laki-laki telah menginfakkan sebagian dari harta-harta mereka.” (An-Nisa`: 34)
Sementara si istri mengatur rumahnya, mendidik anak-anaknya dan mengurusi perkara mereka. Dengan semua ini akan luruslah keadaan dan teraturlah segala urusan. (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/274, Taudhihul Ahkam, 5/210)

Hukum Nikah
Fuqaha menyebutkan bahwa pada nikah diberlakukan hukum yang lima. Sehingga bisa jadi dalam satu keadaan hukumnya wajib, pada keadaan lain hukumnya mustahab/sunnah atau hanya mubah, bahkan terkadang makruh atau haram.
Adapun hukum asal menikah adalah sunnah menurut pendapat Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan riwayat yang masyhur dari mazhab Al-Imam Ahmad. Sebagaimana hal ini merupakan pendapat mayoritas ulama, menyelisihi pendapat mazhab Zhahiriyyah yang mengatakan wajib.
Nikah ini merupakan sunnah para rasul, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً
“Sungguh Kami telah mengutus para rasul sebelummu dan Kami jadikan untuk mereka istri-istri dan anak turunan.” (Ar-Ra’d: 38)
Utsman bin Mazh’un radhiyallahu ‘anhu, seorang dari sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berkata, “Seandainya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan kami, niscaya kami akan mengebiri diri kami (agar tidak memiliki syahwat terhadap wanita sehingga tidak ada kebutuhan untuk menikah, pent.). Akan tetapi beliau melarang kami dari hidup membujang (tidak menikah).” (HR. Al-Bukhari no. 5073 dan Muslim no. 3390)

Bagi seseorang yang mengkhawatirkan dirinya akan jatuh dalam perbuatan zina bila tidak menikah, maka hukum nikah baginya beralih menjadi wajib karena syahwatnya yang kuat. Ditambah lagi bila di negerinya bebas melakukan hubungan zina. Hukum nikah baginya menjadi wajib untuk menolak mafsadat tersebut. Karena meninggalkan zina hukumnya wajib, dan kewajiban tersebut tidak akan sempurna penunaiannya kecuali dengan nikah.

Hukumnya mubah bagi orang yang tidak bersyahwat namun ia memiliki kecukupan harta. Mubah baginya karena tidak ada sebab-sebab yang mewajibkannya.

Adapun orang yang tidak bersyahwat dan ia fakir, nikah dimakruhkan baginya. Karena ia tidak punya kebutuhan untuk menikah dan ia akan menanggung beban yang berat. Namun terkadang pada orang yang lemah syahwat atau tidak memiliki syahwat ini, karena usia tua atau karena impoten misalnya, diberlakukan hukum makruh tanpa membedakan ia punya harta atau tidak. Karena ia tidak dapat memberikan nafkah batin kepada istrinya, sehingga pada akhirnya dapat memudaratkan si istri.

Dan haram hukumnya bila orang itu benar-benar tidak dapat menunaikan perkara-perkara yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangga. Karena, menikah disyariatkan semata-mata untuk memberikan maslahat. Kalau ada tindakan aniaya seperti ini, akan hilanglah maslahat yang diharapkan, terlebih lagi jika dia berbuat dosa dan melakukan perkara-perkara yang diharamkan.

Haram pula bagi seseorang yang sudah memiliki istri, kemudian ia ingin menikah lagi namun dikhawatirkan tidak dapat berlaku adil di antara istri-istrinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
“Maka apabila kalian khawatir tidak dapat berlaku adil (bila memiliki lebih dari satu istri) maka menikahlah dengan seorang wanita saja.” (An-Nisa`: 3)
[Bada`i’ush Shana`i’, 3/331-335, Al-Ikmal 4/524, Al-Majmu’, 17/204-205, Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl Al-Ashl fi Masyru’iyatin Nikah Al-Kitabu was-Sunnah wal Ijma’, Al-Ahkamusy Syar’iyyah fil Ahwalisy Syakhshiyyah, 1/36, Asy-Syarhul Mumti’, 12/6-9)

Berikut ini ucapan sejumlah ulama dari lima mazhab1 tentang hukum nikah:

  • Ibnu Abidin Al-Hanafi rahimahullahu dalam Hasyiyah-nya menyatakan, nikah lebih utama daripada menyibukkan diri dengan belajar dan mengajar, dan lebih utama daripada mengkhususkan diri untuk mengerjakan ibadah-ibadah nafilah/sunnah. (Raddul Mukhtar ‘Alad Durril Mukhtar Syarhu Tanwiril Abshar, 4/65)
  • Al-Qarafi Al-Maliki rahimahullahu berkata, “Nikah –tanpa melihat keadaan orang-orang yang menikah– hukumnya mandub (sunnah). Menurut mazhab kami (Maliki) dan menurut pendapat Asy-Syafi’i, meninggalkan nikah karena ingin mengerjakan ibadah-ibadah nafilah bagi orang yang jiwanya tidak condong kepada nikah adalah afdhal. Adapun menurut Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal, nikah lebih afdhal, karena ulama berbeda pendapat tentang kewajibannya. Minimal keadaannya adalah nikah lebih dikedepankan karena dengan nikah akan menjaga kehormatan diri sepasang suami istri, akan melahirkan anak-anak yang mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat membanggakan banyaknya umat beliau. Dengan demikian nikah bisa meraih maslahat-maslahat yang besar. Orang yang bisa memberikan kemanfaatan/kebaikan kepada orang lain adalah lebih utama/afdhal daripada orang yang membatasi kemanfaatan untuk dirinya sendiri. Juga, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengedepankan nikah daripada puasa sebagaimana dalam hadits yang telah disebutkan2.” (Adz-Dzakhirah, 4/190)
  • Asy-Syairazi Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata, “Siapa yang dibolehkan untuk menikah dan jiwanya sangat berkeinginan untuk melangsungkannya sementara ia mampu memberikan mahar dan nafkah kepada wanita yang dinikahinya maka mustahab baginya untuk menikah, berdasarkan hadits Abdullah. Juga, karena dengan menikah lebih menjaga kemaluannya dan lebih menyelamatkan agamanya. Namun hukum nikah tidak sampai diwajibkan atasnya.” (Al-Muhadzdzab dengan Al-Majmu’ 17/203)
  • Ibnu Qudamah Al-Hanbali rahimahullahu berkata, “Kaum muslimin sepakat bahwa nikah disyariatkan. Orang-orang dalam mazhab kami berbeda pendapat tentang hukum wajibnya. Namun yang masyhur dalam mazhab ini, hukumnya tidaklah wajib kecuali bila seseorang mengkhawatirkan dirinya jatuh ke dalam perkara yang dilarang bila ia meninggalkan nikah, maka wajib baginya menjaga kehormatan dirinya. Ini merupakan pendapat mayoritas fuqaha.” (Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl Al-Ashl fi Masyru’iyatin Nikah Al-Kitabu was-Sunnah wal Ijma’)
  • Ibnu Hazm Azh-Zhahiri rahimahullahu berkata, “Diwajibkan kepada setiap orang yang mampu untuk jima’ bila ia mendapatkan jalan untuk menikah atau mendapatkan budak agar melakukan salah satunya, dan ini suatu keharusan. Namun bila ia tidak bisa mendapatkan jalan untuk menikah atau mendapatkan budak, hendaklah ia memperbanyak puasa.” (Al-Muhalla bil Atsar, 9/3)


Tujuan Menikah
Orang yang menikah sepantasnya tidak hanya bertujuan untuk menunaikan syahwatnya semata, sebagaimana tujuan kebanyakan manusia pada hari ini. Namun hendaknya ia menikah karena tujuan-tujuan berikut ini:

1. Melaksanakan anjuran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ
“Wahai sekalian para pemuda! Siapa di antara kalian yang telah mampu untuk menikah maka hendaknya ia menikah….”

2. Memperbanyak keturunan umat ini, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ
“Menikahlah kalian dengan wanita yang penyayang lagi subur, karena (pada hari kiamat nanti) aku membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat yang lain.”

3. Menjaga kemaluannya dan kemaluan istrinya, menundukkan pandangannya dan pandangan istrinya dari yang haram. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ. وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah (ya Muhammad) kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka…’.” (An-Nur: 30-31)
Dalam surah yang lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji orang-orang beriman yang salah satu sifat mereka adalah menjaga kemaluan mereka kecuali kepada apa yang dihalalkan:
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ. إِلاَّ عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluan mereka kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak perempuan yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” (Al-Mu`minun: 5-6)
Dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ
“Karena dengan nikah akan lebih menundukkan pandangan (dari melihat yang haram) dan lebih menjaga kemaluan (dari melakukan zina),” juga terkandung tujuan nikah.

Catatan kaki:
1 Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, dan Zhahiriyyah.
2 Yaitu hadits: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ

Sumber: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=631





MENGUTAMAKAN MENIKAH DENGAN WANITA YANG SHALIHAH / SEBALIKNYA

Al-Bukhari rahimahullâh berkata (9/132): Musaddad mengabarkan kepada kami, dia berkata: Yahya mengabarkan kepada kami dari dari ‘Ubaidillah, ia berkata: Sa’id bin Abi Sa’id mengabarkan kepadaku dari bapaknya, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَجَمَالِهَا، وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

“Wanita itu dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, kemuliaan nasabnya, kecantikannya, dan karena agamanya. Maka nikahilah wanita yang baik agamanya niscaya kamu beruntung.”

Hadits tersebut diriwayatkan pula oleh Al-Imam Muslim (2/1086).

Makna hadits tersebut adalah bahwa dalam memilih wanita sebagai istri, manusia terbagi menjadi empat bagian:

  1. Di antara mereka ada yang menyukai wanita yang memiliki agama dan berharta.
  2. Ada yang menyukai wanita yang memiliki nasab mulia.
  3. Ada yang menyukai wanita berwajah rupawan.
  4. Dan yang menyukai wanita yang baik agamanya.

Memilih wanita hanya karena hartanya, jika wanita tersebut tidak berhias dengan ketaqwaan, maka hal ini tidak sepantasnya dilakukan. Karena dengan kondisinya itu, dia menginginkan untuk memiliki kebebasan yang mutlak. Suaminya menjadi budaknya, dan dia akan membanggakan dirinya di hadapan suaminya. Tindak tanduknya menunjukkan hal itu, bahkan terkadang juga ucapannya.

أَيُّهَا المنْكِحُ الثُّرَيَّا سُهَيْلا عَمْرَكَ اللهُ كَيْفَ يَلْتَقِيَانِ
هِيَ شَامِيَّةٌ إِذَا مَا اسْتَهَلَّتْ وَسُهَيْلٌ إِذَا اسْتَهَلَّ يَمَانِي

Wahai orang yang menikahkan (bintang) Tsurayya dengan (bintang) Suhail
Aku ingatkan engkau kepada Allah, bagaimana mungkin keduanya bertemu
Tsurayya adalah bintang negeri Syam jika tampak bercahaya
Sedangkan Suhail jika tampak bercahaya adalah bintang Yaman

Demikianlah juga wanita yang bernasab mulia (terpandang). Jika suaminya tidak setara dengannya dalam hal nasab, dia akan membanggakan dirinya di hadapannya jika tidak berhias dengan ketaqwaan. Setiap saat, wanita itu akan menyebut-nyebut nasabnya yang mulia dan berkata:

وَمَا هِنْدُ إِلا مُهْرَةً عَرَبِيَّةً سُلالَةَ أَفْرَاسٍ تَخَلَّلَهَا بَغْلُ
فَإِنْ وَلَدَتْ فَحْلا فَمِنْ طِيبِ أَصْلِهَا وَإِنْ وَلَدَتْ بَغْلا فَمِنْ ذَلِكَ البَغْلُ

Tiadalah Hindun melainkan anak kuda Arab
Keturunan kuda yang dicampuri baghal (peranakan kuda dengan keledai)
Jika dia melahirkan anak kuda jantan, maka asalnya dari nasab yang baik
Jika dia melahirkan baghal, maka asalnya dari baghal itu

Demikian juga wanita yang berwajah rupawan. Dia akan membanggakan dirinya di hadapan suaminya jika dia tidak berhias dengan ketakqwaan. Dan wanita yang dianjurkan Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam untuk dipilih adalah yang memiliki agama yang baik.

Hal ini bukan berarti seorang laki-laki hendaknya berpaling dari wanita yang berharta, rupawan dan bernasab mulia. Namun maksudnya adalah agar dia tidak menjadikan hal-hal tersebut sebagai tolak ukur sehingga lebih mengutamakannya daripada wanita yang memiliki agama yang baik. Adapun seandainya semua hal tersebut terkumpul dengan kebaikan agama, maka yang demikian lebih bagus.

Wanita yang baik agamanya adalah wanita yang bertaqwa. Dia senantiasa melaksanakan perkara-perkara yang telah Allah Subhânahu wa Ta’âlâ wajibkan dan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Sebagaimana firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ:

فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ

“Sebab itu maka wanita yang shalihah, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).” (An-Nisaa’: 34)

Dia akan menjaga dirinya dan harta suaminya. Dia tidak akan keluar kecuali dengan izin suaminya, dan mengetahui hak-haknya tanpa melampaui batas.

Sudah dimaklumi, meskipun dia adalah wanita yang baik agamanya, namun pastilah dia tidak akan mampu menyempurnakan tugas-tugasnya. Karena wanita adalah makhluk yang kurang akal dan agamanya. Tetapi hal ini tidak ada artinya jika dibandingkan dengan keshalihannya. Ini perkara yang tidak sepantasnya diabaikan.

Sungguh Allah Subhânahu wa Ta’âlâ telah menyebut-nyebut kenikmatan yang Dia anugerahkan kepada Zakaria hamba-Nya, dengan firman-Nya Subhânahu wa Ta’âlâ:

فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَوَهَبْنَا لَهُ يَحْيَى وَأَصْلَحْنَا َهُ زَوْجَهُ

“Maka Kami mengabulkan doanya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami memperbaiki istrinya.” (Al-Anbiyaa’: 90)

Menurut salah satu penafsiran, yang dimaksudkan adalah dari sisi fisik dan agama.

Sebagian ahli tafsir mengatakan, maksudnya yaitu istrinya dapat melahirkan meskipun sebelumnya mandul. Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullâh menganggap kuat[1] tafsir ini, karena konteks ayat tersebut menunjukkan hal itu.

Demikian juga wanita. Dia harus memilih laki-laki yang shalih. Betapa banyak wanita yang shalihah, akan tetapi tidak memilih laki-laki yang shalih. Dia menikah dengan laki-laki yang hina, lalu laki-laki itu menyeretnya kepada pemikiran dan kehinaannya.

Dan terkadang laki-laki terpengaruh pemikiran istrinya,sebagaimana yang terjadi pada ‘Imran bin Haththan. Dia menikahi anak pamannya dengan tujuan menyelamatkannya dari pemikiran Khawarij. Namun istrinya justru menyeretnya kepada pemikiran itu.

Jika demikian halnya dengan laki-laki, terlebih lagi wanita. Karena wanita pada umumnya lebih cepat berubah dan berpindah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain. Kita memohon kepada Allah Subhânahu wa Ta’âlâ ketetapan hati kita. Teman dekat itu akan mempengaruhi temannya. Oleh karena itulah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih teman yang baik.

Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman:

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَوةِ وَالْعَشِىِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلاَ تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَوةِ الدُّنْيَا وَلاَ تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan senja hari dengan mengharapkan keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Al-Kahfi: 28)

Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang jujur.” (At-Taubah: 119)

Sungguh baik orang yang mengatakan:

مَا عَاتَبَ الْمَرْءَ الْكَرِيمَ كَنَفْسِهِ
وَالْمَرْءُ يُصْلِحُهُ الْجَلِيسُ الصَّالِحُ

Seorang yang mulia tidaklah dicela oleh orang yang sepertinya
Dan seseorang akan diperbaiki oleh kawan duduknya yang baik

Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari hadits Abu Musa radhiyallâhu ‘anhu, dia berkata: “Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَثَلُ الجَلِيسِ الصَّالِحِ وَجَلِيْس السَّوْءِ؛ كَحَامِلِ المِسْكِ وَنَافِخِ الكِيرِ؛ فَحَامِلُ المِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحذِيَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ؛ وَنَافِخُ الكِيْرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ؛ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيْحًا مُنْتِنَة

“Perumpamaan teman yang baik dan teman yang jelek itu seperti penjual minyak wangi dengan tukang besi yang meniup alat peniup api. Penjual minyak wangi akan memberikan minyak wangi kepadamu atau engkau akan membelinya. Sedangkan tukang besi akan membakar bajumu atau engkau akan mencium bau yang busuk darinya.”

Ketika Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada pamannya Abu Thalib menjelang kematiannya:

يَا عَمِّ! قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللهِ

“Wahai paman, ucapkanlah laa ilaaha illallaah, sebuah kalimat yang aku akan berhujjah untukmu dengannya di sisi Allah.”

Abu Jahl dan ‘Abdullah bin Abi Umayyah mengatakan: “Apakah kamu membenci agama ‘Abdul Muththalib?” Abu Thalib pun mengatakan bahwa dia di atas agama ‘Abdul Muththalib. Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Al-Musayyib bin Huzun radhiyallâhu ‘anhu.

Dari sini (diambil pelajaran) bahwa teman-teman duduk yang jelek itulah yang menghalangi Abu Thalib dari Islam.

Dan Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda sebagaimana dalam Sunan Abi Dawud (no. 4833) dari hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu:

الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيْلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

“Seseorang itu sesuai agama temannya. Maka hendaklah salah seorang di antara kalian melihat siapa temannya.”

Seorang penya’ir berkata:

عَنِ المَرْءِ لاَ تَسْأَلْ وَسَلْ عَنْ قَرِينِهِ
فَكُلُّ قَرِينٍ بِالمُقَارَنِ يَقْتَدِي

Janganlah kau bertanya tentang seseorang, tapi tanyakanlah siapa temannya
Karena setiap teman akan mencontoh teman-temannya

Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman tentang keadaan penduduk Jannah:

فَأَقْبَلَ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ يَتَسَاءَلُونَ* قَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ إِنِّى كَانَ لِى قَرِينٌ* يَقُولُ أَءِنَّكَ لَمِنَ الْمُصَدَّقِينَ* أَءِذَا مِتْنَا وَكُنَّا تُرَابًا وَعِظَامًا أَءِنَّا لَمَدِينُونَ* قَالَ هَلْ أَنْتُمْ مُطَّلِعُونَ* فَاطَّلَعَ فَرَءَاهُ فِى سَوَاءِ الْجَحِيمِ

“Lalu sebagian mereka menghadap kepada sebagian yang lain sambil bercakap-cakap, berkatalah salah seorang di antara mereka: ‘Sesungguhnya aku dahulu (di dunia) mempunyai seorang teman yang berkata: ‘Apakah engkau sungguh-sungguh termasuk orang-orang yang membenarkan (hari berbangkit)? Apakah bila kita telah mati dan kita telah menjadi tanah dan tulang belulang, apakah sesungguhnya kita benar-benar (akan dibangkitkan) untuk diberi pembalasan?’ Orang tersebut juga berkata: ‘Maukah kalian meninjau (temanku itu)?’ Maka dia meninjaunya, lalu dia melihat temannya itu berada di tengah neraka yang menyala-nyala.’” (Ash-Shaaffaat: 50-55)

Allah Subhânahu wa Ta’âlâ juga berfirman:

وَقَيَّضْنَا لَهُمْ قُرَنَاءَ فَزَيَّنُوا لَهُمْ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَحَقَّ عَلَيْهِمُ الْقَولُ فِي أُمَمٍ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِمْ مِنَ الْجِنِّ وَالإِنْسِ إِنَّهُمْ كَانُوا خَاسِرِينَ

“Dan kami tetapkan bagi mereka teman-teman yang menjadikan mereka memandang bagus apa yang ada di hadapan dan di belakang mereka. Dan tetaplah atas mereka keputusan adzab pada umat-umat yang terdahulu sebelum mereka dari jin dan manusia. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang merugi.” (Fushshilat: 25)

Wanita yang baik agamanya akan mencintai lelaki yang baik agamanya pula. Dan wanita yang sebaliknya akan mencintai lelaki yang sebaliknya pula. Sebagaimana sabda Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam:

الأَرْوَاحُ جُنُوْدٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَا مِنْهَا اخْتَلَفَ

“Ruh-ruh itu seperti tentara yang berhimpun yang saling berhadapan. Apabila mereka saling mengenal (sifatnya, kecenderungannya dan sama-sama sifatnya) maka akan saling bersatu, dan apabila saling berbeda maka akan tercerai-berai.”

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu dan diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 3336 secara mu’allaq dari ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anha.

Al-Imam An-Nawawi mengatakan dalam Syarah Muslim (16/pada hadits no. 2638): “Para ulama mengatakan, maknanya mereka adalah sekelompok manusia yang berkumpul atau manusia yang bermacam-macam lagi berbeda-beda. Ruh-ruh itu saling mengenal karena suatu perkara yang Allah Subhânahu wa Ta’âlâ menciptakan ruh-ruh itu di atasnya. Ada yang mengatakan, karena mereka dijadikan Allah Subhânahu wa Ta’âlâ di atas sifat-sifat yang saling mencocoki dan tabiat yang saling bersesuaian. Ada yang mengatakan, karena mereka diciptakan secara bersama kemudian jasad mereka saling berpisah, sehingga yang mencocoki tabiat yang lain, dia akan bersatu dengannya. Dan yang saling berjauhan[2] tabiatnya maka dia akan lari dan menyelisihinya. Al-Khaththabi dan lainnya berkata bahwa persatuan mereka adalah kebahagiaan atau kesengsaraan ketika Allah Subhânahu wa Ta’âlâ menciptakan mereka pada awalnya. Dan ruh-ruh itu terbagi menjadi dua kelompok yang saling berlawanan, jika jasad-jasad itu saling bertemu di dunia maka mereka akan bersatu atau berselisih sesuai yang mereka diciptakan di atasnya. Sehingga orang yang baik cenderung kepada orang yang baik, dan orang yang jahat juga cenderung kepada orang yang jahat. Wallahu a’lam.

Dan di dalam suatu permisalan:

وكل من شكله يرغب

Setiap orang yang memiliki persamaan bentuk dengan orang lain, maka dia akan mencintainya

Dalam permisalan yang lain:

إن الطيور على أشكالها تقع
فكل يرغب في مثله

Sesungguhnya burung-burung itu akan bertengger bersama burung yang sama bentuknya
Sehingga setiap orang akan mencintai yang semisal dengannya

Hadits lain yang menganjurkan menikah dengan wanita yang shalihah adalah sbb.:

Al-Imam Muslim rahimahullâh berkata:

Muhammad bin ‘Abdillah bin Numair Al-Hamdani mengabarkan kepadaku, dia berkata: ‘Abdullah bin Yazid mengabarkan kepada kami, dia berkata: Haiwah mengabarkan kepada kami, dia berkata: Syarahbil bin Syarik mengabarkan kepadaku bahwa dia mendengar Abu ‘Abdirrahman Al-Hubli menyampaikan hadits dari ‘Abdullah bin Amr bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ

“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah.”

Dalam hadits ini terdapat keutamaan yang jelas bagi seorang wanita yang shalihah, dengan Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam menjadikannya sebagai sebaik-baiknya perhiasan di dunia. Dan Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam mengategorikan wanita shalihah sebagai kebahagiaan.

Ibnu Hibban meriwayatkan sebagaimana dalam Al-Ihsan (9/340) dari Sa’d bin Abu Waqqash radhiyallâhu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَرْبَعٌ مِنَ السَّعَادَةِ: الْمَرْأَةُ الصَّالِحَاةُ، وَالْمَسْكَنُ الوَاسِعُ، وَالْجَارُ الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيءُ. وَأَرْبَعٌ مِنَ الشَّقَاءِ: الْمَرْأَةُ السُّوءُ، وَالْجَارُ السُّوءُ، وَالْمَرْكَبُ السُّوءُ، وَالْمَسْكَنُ الضَّيِّقُ

“Empat perkara yang merupakan kebahagian: seorang wanita (istri) yang shalihah, tempat tinggal yang luas, tetangga yang baik, dan tunggangan (kendaraan) yang nyaman. Dan empat perkara yang merupakan kesengsaraan: seorang wanita yang jelek (agamanya), tetangga yang jelek, tunggangan yang jelek, dan tempat tinggal yang sempit.” (Hadits ini diriwayatkan pula oleh Al-Hakim)

Karena itu, seorang wanita hendaklah punya keinginan besar untuk menjadi wanita yang shalihah dan mempelajari sifatsifatnya, sehingga dia menjadi bagian dari mereka.Ungkapan ringkas tentang wanita shalihah adalah wanita yang berpegang teguh dengan kitab Rabbnya dan Sunnah Nabi-Nya shallallâhu ‘alaihi wa sallam di atas pemahaman Salafush Shalih.

Sebagaimana firman Rabb kita Yang Maha Agung di atas keagungan-Nya:

وَالَّذِينَ يُمَسِّكُونَ بِالْكِتَابِ وَأَقَامُوا الصَّلَوةَ إِنَّا لاَ نُضِيعُ أَجْرَ الْمُصْلِحِينَ

“Dan orang-orang yang berpegang teguh dengan Al-Kitab serta mendirikan shalat, (akan diberi pahala) karena sesungguhnya Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (Al-A’raaf: 170)

Hanya kepada Allah Subhânahu wa Ta’âlâ kita mengeluh tentang orang-orang yang memiliki sifat keserakahan. Terkadang seorang laki-laki yang mengikuti sunnah lagi bertaqwa datang kepada seorang anak perempuan, namun dia ditolak karena dia tidak memiliki ijazah.

Ada seorang ayah yang menangisi anak perempuannya yang bersikeras menikah dengan lelaki Sunni yang melamarnya. Sang ayah berkata kepadanya: “Aku menginginkan kebaikan dirimu.” Ini merupakan suatu kebodohan yang membinasakannya, ketamakan yang menjadikannya melampaui batas, dan kezhaliman-kezhaliman yang sebagiannya di atas yang lain.

Benarlah Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam ketika bersabda:

إِنَّ أَحْسَابَ أَهْلِ الدُّنْيَا الذي يَذْهَبُ إِلَيهِ الْمَالُ

“Sesungguhnya kemuliaan yang dicenderungi oleh ahli dunia (di dalam pernikahan atau yang lainnya, pent) adalah harta.”[3]

Hadits tersebut diriwayatkan oleh An-Nasa’i dari Buraidah bin Al-Hushaib, dan dishahihkan oleh Ayahanda rahimahullâh dalam Ash-Shahihul Musnad.

Betapa banyak orang yang memiliki memiliki ijazah, namun dia tidak mendapatkan faedah darinya sedikitpun karena birokrasi pemerintah. Betapa banyak orang yang melakukan keharaman dan terjatuh dalam kemaksiatan karena ijazahnya, karena sekolah (yang mengeluarkan ijazah) adalah sekolah yang bersifat ikhtilath (siswa dan siswinya bercampur baur tanpa hijab). Dan terkadang sekolah tidak memberikan toleransi terhadap pakaian syar’i ketika siswi tersebut ke sekolah. Siswa laki-laki diwajibkan mencukur jenggotnya, memakai celana pantalon yang terhitung sebagai tasyabbuh dengan orang-orang kafir, dan lain-lain. Ada sebuah kaset rekaman Ayahanda rahimahullâh berjudul Tahdziru Ad-Daris min Fitnatil Madaris (Peringatan bagi Pelajar tentang Fitnah Sekolah, pent).

Sesungguhnya kemaksiatan itu membahayakan individu dan masyarakat. Berbagai kejadian di alam ini seperti fitnah, kerusakan, kekeringan, dan berkuasanya para musuh, serta kehinaan, adalah disebabkan kemaksiatan.

Allah berfirman:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِى عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Ar-Ruum: 41)

Allah berfirman:

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا عَنْ كَثِيرٍ

“Dan musibah apapun yang menimpa kalian, maka adalah disebabkan perbuatan tangan kalian sendiri. Dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahan kalian).” (Asy-Syuuraa: 30)

Disebabkan satu kemaksiatan saja, kedua orang tua para manusia -yakni Adam dan Hawa- dikeluarkan dari Surga, sebagaimana yang Allah Subhânahu wa Ta’âlâ sebutkan dalam kitab-Nya yang mulia.

Oleh karena itu, bertaubat dan kembali kepada Allah Subhânahu wa Ta’âlâ harus dilakukan segera, dan tidak boleh menundanya walaupun sekejap mata.

Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا تُوبُوا إِلَى اللهِ تَوْبَةً نَصُوحًا

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya.”At-Tahriim: 8) (

Footnote:

1 Disebutkan dalam kitab Nashihati lin Nisa’ dengan lafazh istazhraha, dan zhahirnya yang tepat adalah istazhharhu. Lihat dalam Tafsir Ibnu Katsir. (-pent)

2 Disebutkan dalam kitab Nashihati lin Nisa’ dengan lafazh ba’ahu (menjualnya). Sedangkan dalam kitab aslinya yaitu Syarah Shahih Muslim karya An-Nawawi disebutkan dengan lafazh ba’adaahuSyarah Shahih Muslim karya An-Nawawi pada Kitab Al-Birr was Shilah, bab Al-Arwah Junudun Mujannadah. (saling menjauh). Selain itu juga ada kata yang hilang dalam penukilan di kitab ini. Lihat

3 Yang tercantum dalam kitab Nashihati lin Nisa’ dengan lafazh al-ladziina. Namun zhahirnya, yang tepat adalah al-ladzii dengan bentuk tunggal, bukan jamak. Karena sesuai dengan zhahir konteks kalimatnya. Hal ini juga yang disebut dalam Sunan An-Nasa’i dan lainnya. (-pent.)

(Sumber: نصيحتي للنساء (Nasehatku Untuk Kaum Wanita) karya Ummu ‘Abdillah Al-Wadi’iyyah, hal. 277-285, penerjemah: Al-Ustadz Muhaimin, penerbit: Pustaka Ar-Rayyan Solo, untuk http://akhwat.web.id dengan tambahan teks Arab dari penerbit Darul Atsar Yaman)