TKJ - BAB IV

AHLAK

Telah kita ketahui bahwa struktur Agama garis besarnya ada tiga : Aqidah, Syari’ah dan Akhlak, atau Iman, Islam dan Ihsan, dan juga telah kita ketahui bahwa Aqidah lebih luas daripada rukun Iman, karena Aqidah di samping mencakup rukun Iman juga mencakup tentang pandangan hidup. Bagaimana pandangan Islam tentang dari mana manusia hidup ini, dan untuk apa dia hidup dan ke mana nanti tujuannya. Menurut Aqidah Islam manusia ini berasal dari ciptaan Allah SWT. Untuk beribadah kepada-Nya dan akhirnya nanti akan kembali kepada-Nya untuk mempertanggungjawabkannya kepada-Nya. Demikian pula syari’at mencakup rukun Islam, Ibadah dan mu’amalah.

Dalam hadists riwayat Bukhori dan Muslim yang isinya tanya jawab antara nabi Muhammad SAW dengan malaikat Jibril apakah iman itu dijawab. Iman ialah rukun iman yang enam, dan apakah Islam dijawab dijawab bahwa Islam adalah Rukun Islam yang lima; apakah Ihsan, dijawab bahwa Ihsan ialah “bahwa engkau menyembah kepada Tuhan seakan-akan engkau melihat-Nya dan apabila engkau tidak mampu melihat-Nya sesungguhnya Allah SWT melihat engkau” maka dapat kita ketahui bahwa ihsan itu ialah perbuatan baik yang dilakukan dengan sebaik-baiknya. Ihsan itu sendiri arti asalnya ialah perbuatan baik. Tetapi yang tersirat di dalam hadits tersebut maksudnya ialah karena pada waktu kau beribadah kepada Allah SWT itu dilihat Allah SWT maka lakukanlah dengan sebaik-baiknya, seikhlas-ikhlasnya. Tidak hanya ketentuan-ketentuan lahirnya telah engkau lakukan tapi juga ketentuan-ketentuan batin, sebab ada orang yang melakukan sholat tetapi tidak khusyu’, ada orang yang membayar zakat dipamer-pamerkan. Ada orang yang beribadah haji karena manusia saja dan supaya dikatakan bahwa dia sudah naik haji.

Menurut syari’at atau fiqh sholat yang dilakukan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan lahir, misalnya sudah suci dari hadast kecil dan besar sudah menutup aurat menghadap kiblat melaksanakan rukunnya sudah sah dan sudah benar. Tetapi sholat itu seharusnya dilakukan dengan Ihsan, yaitu mengerti apa yang diucapkan dari do’a dan bacaannya (Q.S. 4 : 43) dengan ikhlas (Q.S. 98 : 5) dan khusus’ kontak dengan Tuhan (Q.S. 23 : 1, 2) serta mampu menjadi perisai dari perbuatan keji dan mungkar (Q.S. 29 : 45) Umat Islam jangan melakukan sholat seperti yang disinyalir Nabi SAW.


(Q.S. An Nisaa’ : 43)


43. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub[301], terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu Telah menyentuh perempuan, Kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun. (Q.S. 4 : 43)

(Q.S. Al Bayyinah : 5)


5. Maka kelak kamu akan melihat dan mereka (orang-orang kafir)pun akan melihat, (Q.S. 98 : 5)


“Akan datang suatu masa di mana banyak orang yang melakukan sholat tetapi sebenarnya mereka tidak melakukan sholat (H.R. Ahmad)”

Sholat yang dilakukan hanya melakukan ketentuan-ketentuan lahir saja adalah seperti gambar yang tidak berjiwa, persis seperti orang yang dilukis tapi tak merasa dilihat oleh Allah SWT dan tak memberi warna dalam segala kehidupan adalah tidak tepat bila dikira Agama Islam itu sarat dengan peraturan dan hukum dengan perintah dan larangan dan tentang boleh dan tidak boleh, tampaknya seakan-akan agama ini penuh degan rambu-rambu dan belenggu-belenggu yang mengekang kebebasan manusia dan menekankan kegiatan lahir atau lebih mementingkan kulitnya daripada isinya, sehingga beragama ini terasa kering dan gersang.

Memang betul agama Islam sebagian berisi tentang hukum-hukum boleh dan tidak boleh atau syariah agar hidup manusia tertib dan teratur, tapi Agama Islam tidak identik dengan hukum Islam, sebab agama Islam juga mengajarkan umatnya untuk selalu dekat dengan Allah SWT merasa selalu diawasi-Nya danmerasa mendapat kasih, rahmat dan penilaian dari Allah SWT. Islam mengajarkan umatnya agar memiliki sifat-sifat cinta kasih jujur, adil, ulet, tabah, halus, dan sifat-sifat terpuji lainnya yang disebut akhlak, moral dan etika.

Pada waktu Nabi SAW masih hidup orang-orang jahiliyah masuk Islam bukan karena ia takut atau terpaksa kalau tidak masuk Islam akan diperangi (sama sekali tidak, sebab Islam tidak mengenal paksaan dan Islam disebarkan dengan cara damai) tetapi karena mereka mereka tertarik kepada budi pekerti Nabi SAW yang terpuji, yaitu sifat-sifat jujur, benar, rendah hati, pema’af, pemurah, cinta kasih, hidup sederhana, dan lain-lain.

Tanah Arab yang kering, keras dan tandus itu membentuk pribadi orang-orang Arab menjadi keras, kasar, beringas dan kejam serta suka berperang antara suku berebeut kekuasaan dan kebutuhan hidup, lahirlah pemimpin dunia yang tidak terbentuk dan tidak terpengaruhi oleh alam sekitarnya yang disegani dan dihormati baik oleh kawan maupun lawan serta dicintai oleh orang-orang yang lemah (dhu’afa) atau orang-orang yang dibuat lemah (mustad’afin). Dengan akhlak yang terpuji Nabi Muhammad SAW mampu merubah akhlak kaum jahiliyah yang telah bobrok itu menjadi umat yang berakhlak mulia. Memang salah satu tugas Nabi yang terpenting ialah menanamkan kepada jiwa umat Islam Akhlak yang mulia dengan sabdanya :

“Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (H.R. Ahmad, dari Abu Hurairoh)

Bagi kita umat Islam sudah semestinya meniru akhlak Nabi SAW baik ucapan maupun perbuatannya, karena oleh Allah sendiri dipuji dengan firman-Nya yang artinya :

(Q.S. Al Qalam : 4)


4. Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (Q.S. 68 : 4).

Lain daripada dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Nabi SAW itu adalah “uswatun hasanah”, artinya teladan yang baik.

(Q.S. Al Ahzab : 21)


21. Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.

(Q.S. 33 : 21)

Di atas telah disebutkan bahwa ihsan ialah perbuatan baik yang dilakukan dengan sebaik-baiknya jangan asal kalau sudah belajar dan ujian saja. Demikian pula kalau orang sebagai dosen, jangan hanya sekedar sudah mengajar dan menguji saja. Tentunya mereka sudah tahu kewajiban apa yang harus dilakukan.

Ahlaq lebih luas daripada Ichsan, sebab akhlaq tidak hanya membicarakan hal-hal yang baik-baik saja tetapi juga menjelaskan apakah yang disebut baik itu dan apakah yang dikatakan buruk itu, bagaimana hubungannya dengan syari’ah dan lain sebagainya. Yang dibicarakan ilmu akhlaq, moral, dan etika adalah sama yaitu tentang baik dan buruk sedangkan perbedaannya adalah dari sumber penilaian. Akhlaq sumber penilaian dari Allah SWT dan Rosul-Nya, sedang moral atau etika sumbernya dari manusia dan konotasinya selalu baik dan yang jelek dikatakan tidak bermoral (amoral) atau tidak etis. Akhlak ada yang baik (Karimah, mahmudah) dan ada yang buruk atau tercela (madzmudah). Akhlaq nilainya adalah relatif. Berubah-berubah dan subyektif.

Kalau demikian akhlak itu sama saja dengan budi pekerti, watak atau tabiat. Jadi yang membiasakan berkehendak baik maka akhlaqnya atau budi pekertinya baik. Karena dibiasakan maka menjadi sifat yang tertanam dalam jiwa. Sebalikjia dibiasakan kehendak buruk. Misalnya membiasakan untuk tidak disiplin, maka akhlaknya berarti buruk. Meskipun demikian tidak berarti bahwa orangyang belum membiasakan berkehendak buruk kalau berbuat buruk tidak dinilai buruk. Orang yang belum membiasakan berbuat buruk kalau berbuat buruk tentu kita nilai lebih buruk dan apabila sudah menjadi kebiasannya tentu kita nilai lebih buruk lagi sebab disamping keburukan itu sudah dilakukan berulang-ulang juga kebiasaan buruk akan lebih sulit dihilangkan. Ahlak juga dikatakan karena suatu perbuatan yang di lakukan secara spontan. Apa yang biasa dilakukan, difikirkan dalam hati maka akan keluar disaat orang tersebut tidak menyadarinya.

Ada juga istilah etos kerja, artinya kebiasaan kerja, atau sifat kerja. Misalnya etos kerja orang Indonesia pada umumnya kurang handal jia dibanding dengan etos kerja bangsa Jepang. Etika termasuk dibicarakan dalam ilmu filsafat, karena di sini dibicarakan bagaimana seharusnya dilakukan seseorang, apakah yang dinilai baik atau buruk itu dan lain-lain.


Hubungan Antara Aqidah, Syari’ah dan Akhlak

Sudah kita ketahui bahwa iman yang tidak disertai amal tak akan ada artinya dan sebaliknya amal yang lepas dari iman akan sia-sia, tak akan dinilai. Orang yang katanya percaya kepada Tuhan tapi dalam kenyataannya sama sekali tidak pernah melakukan apa yang dikehendaki Tuhan baik berupa ucapan maupan perbuatan menunjukkan bahwa ia tidak percaya akan adanya Tuhan. Disini mesti ada hubungan kausalitas antara aqidah dengan syari’ah yaitu bahwa orang yang beriman kepada Allah SWT akibatnya akan melakukan apa yang dikehendaki-Nya. Itulah sebabnya pengertian Iman yang lengkap (terminologi).

Ialah : “Hatinya membenarkan, lisannya mengucapkan, dan melaksanakan dalam perbuatan”.

Mengamalkan syari’ah juga dapat mempengaruhi Aqidah, yaitu orang yang mengamalkan syari’ah terus-menerus akan menjadi kokoh, sebaliknya jika orang jarang sekali mengamalkan maka imannya menjadi lemah. Dengan demikian kita ketahui adanya hubungan timbal balik antara aqidah dengan syari’ah.

Firman Allah berikut ini menunjukkan adanya hubungan antara syari’ah dengan akhlak.

(Q.S. Al ‘Ankabuut : 45)


45. Bacalah apa yang Telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. 29 : 45)


Sabda Nabi SAW berikut ini menunjukkan adanya hubungan antara Iman dengan Akhlak.

Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka jangan menyusahkan tetangganya.” (H.R. Bukhori)

Ayat berikut ini menunjukkan adanya hubungan antara Aqidah, Syari’ah dan Akhlak.

(Q.S. Al Mu’minuun : 1, 2)

1. Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,

2. (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya,

(Q.S. 23 : 1, 2)

Ayat tersebut dapat kita kupas bahwa orang yang melakukan sholat itu melaksanakan tiga struktur sekaligus, yaitu bahwa melakukan shalat didorong iman, artinya Allah SWT yang memerintahkannya. Kemudian ia melakukan syarat rukunnya shalat berarti melakukan syari’ah. Sedangkan akhlaknya sholat ialah sikap yang khusu’.

Hubungan sebab akibat dan timbal balik dari tiga struktur agama dapat kita gambarkan sebagai berikut :

Perlu diketahui bahwa baik aqidah, syari’ah maupun akhlak semuanya penting, kesemuannya merupakan satu kesatuan yang utuh dapat dibeda-bedakan tetapi tidak boleh dipisahkan. Orang yang mementingkan aqidah saja atau syari’ah saja atau akhlak saja maupun dua macam saja tidak dapat dibenarkan. Misalnya orang yang rajin sholat lima waktu tetapi berakhlak tidak baik kepada sesama berarti hanya mementingkan akhlak yang baik kepada Allah SWT, atau sebaliknya orang yang berakhlak baik kepada sesama tetapi tidak melaksanakan sholat. Orang Islam jangan sampai terjebak oleh rutinitas syari’ah atau ritual keagamaan saja.

Dengan demikian Islam mengajarkan keseimbangan dalam segala hal yaitu keseimbangan antara aqidah, syari’ah dan akhlak, kesemimbangan antara urusan dunia dan akhirat, antara hablum-minannas, antara lahir dan bathin antara kemakmuran materiil dan kemakmuran spiritual. Itulah sebabnya di dalam Al Qur’an dinyatakan bahwa umat Islam adalah ummatan wasaton, artinya umat yang bekesimbangan (Q.S. An Nisaa’ : 143)


143. Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir): tidak masuk kepada golongan Ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir), Maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya.

(Q.S. An Nisaa’ : 143)

Akhirnya perlu ditambahkan bahwa tidak semua perbuatan yang tidak terpuji itu didorong oleh iman. Banyak orang yang berbuat yang sebetulnya terpuji tapi hanya melihat bahwa perbuatan itu terpuji dan didorong oleh semata-mata rasa kemanusiaan. Sebagaimana telah disinggung di muka bahwa bagaimanapun baiknya perbuatan itu jika lepas dari nilai Iman tidak aakn memperoleh kebiakan dari Allah SWT meskipun di dunia ini mungkin memperoleh kebaikan dari manusia berupa pujian, balasan baik atau ucapan terima kasih atau dia merasakan kepuasan batin.

Pentingnya Akhlak

Semua orang membutuhkan kesehatan baik kesehatan rohani maupun kesehatan badan jasmani. Orang yang sedang sakit bathinnya dapat membayangkan bagaimana rasanya orang yang sedang sehat sesudah merasakan sendiri bagaimaan tidak enaknya orang yang sakit. Orang yang sedang sakit badannya kesembuhan adalah kebutuhan yang paling penting sehingga mengalahkan kebutuhan-kebutuhan yang lain. Kalau yang sakit jitu orang banyak maka yang ikut menderita tidak hanya mereka yang sakit tetapi juga mereka yang sehat yaitu merasa terganggu dan merasa tidak aman. Di sini orang membutuhkan bantuan dari orang-orang ahli kesehatan.

Dalam hal kesehatan rohani pun semua orang membutuhkannya, yaitu apabila misalnya dalam rumah tangga ketentraman, kedamaian, dan kebahagiaan akan dirasakan apabila masing-masing anggota keluarga saling mencintai dan mengasihi, saling mempercayai dan saling mengerti hak dan kewajiban masing-masing. Harta kekayaan yang melimpah tak bisa membahagiakan rumah tangga apabila suami atau istri bertindak kasar, tidak jujur atau berlaku berselingkuh, atau anaknya suka membandel, sukar diatur meskipun orang tuanya telah memberi tauladan yang baik-baik.

Orang yang bekerja keras tekun dan ulet akan cepat tercapai apa yang diinginkan dan berhasil baik,sebaliknya orang bekerja seenanknya, santai-santai dan tidak ulet akibatnya tidak akan maju-maju dan tidak sukses dalam hidupnya.

Kemudian apabila penyakit-penyakit tersebut melanda masyarakat, misalnya ketidakadilan, kekerasan, kebencian, kecurigaan, kesewenang-wenangan keserakahan, ketidakdisiplinan dan ketidak-rasa-tanggung-jawaban maka dalam hal ini akhlak yang terpuji terasa sangat penting sebab penyakit-penyakit rohani atau kemerosotan akhlak tersebut tentu akan menyengsarakan masyarakat banyak dan yang sengsara tidak hanya yang berbuat dholim atau yangrusak akhlaknya tapi yang tidak berbuat akan terkena kesengsaraan, sebagaimana firman Allah SWT :

(Q.S. Al Anfaal : 25)

25. Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan Ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.

(Q.S. 8 : 25)

Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa kesengsaraan atau kehancuran mulai dari keluarga, masyarakat banyak sampai kepada suatu bangsa atau negara pada dasarnya karena mereka sudah rusah akhlaknya. Dalam ayat lain Allah SWT berfirman :

(Q.S. Al Israa’ : 16)

16. Dan jika kami hendak membinasakan suatu negeri, Maka kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, Maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan kami), Kemudian kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.

(Q.S. 17 : 16)

Karena pentingnya akhlak ini maka pengalaman rukun islam tidak pernah melepas dari nilai akhlak. Kita pernah membaca atau hafal firman Allah SWT yang artinya bahwa pengaruh “Shalat mencegah perbuatan keji dan munkar” (Q.S. 29 : 45). Pemahaman keblaikannya atau “Mafhum mukhalafahnya” pengaruh sholat mampu mendorong perbuatan yang terpuji dan ma’ruf, puasa tidak sekedar meninggalkan makan dan minum tapi juga meninggalkan ucapan dan perbuatan yang tecela (Al Hadist), zakat jangan diikuti dengan ucapan yang menyakiti hati kepada yang diberi zakat dan jangan pamer

(Q.S. Al. Baqoroh : 264)

264. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya Karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, Kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (Tidak bertanah). mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.

(Q.S. 2 : 264)

Dan haji yang mabrur atau haji yang diterima ialah haji yang dilakukan dengan penuh keihlasan, meninggalkan segala perbuatan dan ucapan yang tidak baik.

Bahkan ada sebuah hadist riawat Muslim yang ringasnya Nabi SAW bersabda : “Bahwa nanti di hari kiamat terdapat orang-orang yang temasuk orang yang istilahnya disebut Muflis yang artinya bangkrut yaitu orang-orang yang pahala shalatnya, puasanya dan zakatnya menjadi habis karena dipakai untuk mengganti dosa-dosa kejelekan yang dilakukan terhadap orang-orang lain. Karena sudah tidak mempunyai pahala lagi maka orang tersebut kemudian dicampakkan ke neraka.”

Di bawah ini terdapat beberapa hadist yang menunjukkan bahwa akhlak yang terpuji penting sekali :

Bersabda Nabi Muhammad SAW:

“Orang yang paling sempurna imannya ialah orang yang paling baik akhlaknya (H. R. Thobrani)

Bersabda Rosullulloh SAW :

“Orang-orang yang paling cinta kepada Nabi SAW dan pang paling dekat dengan Nabi SAW dihari kiamat ialah orang yang paling baik akhlaknya” (H.R. Ahmad)

Kemudian perlu diketahui bahwa baik buruknya akhlak seseorang tergantung kepada kuat atau lemahnya iman seseorang, artinya kalau imannya kuat maka akhlaknya akan menjadi baik dan kalau lemah imannya maka akhlaknya akan jelek. Berdasarkan pada hadits yang artinya :

“Tidak (kuat) iman seseorang apabila tetangganya tidak merasa tentram dengan ulahnya yang buruk” (H.R. Bukhori)

Bagi kita yang meyakini seyakin-yakinnya akan adanya balasan di akherat tentu akan berusaha untuk senantiasa berakhlak yang terpuji meskipun misalnya di sekitar kita orang berbuat tidak terpuji mungkin sudah merata atau sudah kaprah sehingga mereka menilai wajar-wajar saja atau mungkin orang-orang yang berbuat tidak terpuji untuk sementara biasa-biasa saja, artinya tidak sengsara di dunia ini pada awalnya, tapi kita yakin bahwa semua perbuatan buruk karena pertentangan dengan suara hati umat manusia pasti akan menyengsarakan manusia di dunia ini cepat atau lambat sedang di alam akherat sudah dapat dipastikan.

Bukti yang menunjukkan bahwa segala sesuau yang disandang seseorang sangat ditentukan oleh akhlaknya, yaitu bahwa bagaimanapun tinggi ilmu seseorang, bagaimanapun tinggi kedudukan seseorang, dan bagaimana pun kekayaan atau rupawan seseorang apabila akhlaknya tidak terpuji maka menjadi merosotlah namanya. Jadi pada akhirnya orang menilai orang lain bukan karena ilmunya yang tinggi rupawan atau kekayaannya yang melimpah tetapi yang dinilai adalah akhlaknya.

Perlu ditambahkan bahwa penyakit-penyakit jasmani pada umumnya dapat disembuhkan apabila sejak dini orang sudah berikhtiaar untuk diobati, demikian pula penyakit rohani apabila orang sejak awal orang sudah berusaha untuk menghilangkannya. Tetapi bagaimanapun penyakit rohani lebih sulit untuk di obati oleh orang lain kecuali kalau yang bersangkutan sendiri tak ada kemauan untuk menghilangkannya.

Akan lebih sulit lagi apabila perbuatan yang tidak erpuji itu sudah menjadi kebiasaan atau Akhlak seseorang seperti penyakit yang sudah kronis akan sangat sukar untuk disembuhkan. Bahkan ada sementara orang yang berbuat tidak terpuji berpendapat bahwa ia berbuat yang terpuji. Dalam hal ini orangperlu mengembalikan penilaian kepad aajaran Agama. Yakni kepada Al Qur’an dan Hadits. Berdasarkan firman Allah:

(Q.S. An Nisaa’ : 59)

59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. An Nisaa’ : 59)

Manusia Bisa Menjadi Baik dan Bisa Menjadi Buruk

(Q.S. Ali Imran : 110)

110. Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.

(Q.S. 3 : 110)

Firman Allah tersebut mengajarkan kepada kita untuk beramar ma’ruf dan bernahi mungkar kepada umat manusia. Tetapi kita juga beramar ma’ruf bernahi mungkar kepada diri kita sendiri, berdasarkan firman Allah yang artinya :

(Q.S. Al Baqoroh : 44)

44. Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir? (Q.S. 2 : 44)

Ma’ruf arti asalnya ialah “sudah terkenal”, kemudian berubah menjadi berarti “baik” sebabnya ialah karena semua orang sudah mengenal bahwa perbuatan itu adalah baik, misalnya semua orang sudah mengenal bahwa dermawan, ulet, tekun, kasih dan rajin itu semua adalah baik. Sedang mungkar arti asalnya ialah “yang dibenci”, kemudian berarti “buruk”, karena semua mungkar arti asalnya ialah “yang dibenci”, kemudian berarti “buruk”, karena semua orang pada hakekatnya tidak senang kepada perbuatan itu, misalnya semua orang pada hakikatnya tidak suka kepada sifat bakhil, takabur, keras hati, tidak disiplin dan lain-lain yang buruk.

Kalau demikian dapat kita ketahui bahwa penilaian semua umat manusia ada persamaannya mengenai mana yang disebut baik dan mana yang dinilai buruk. Dari persamaan ini pula dapat kita ketahui bahwa terdapat beberapa nilai yang sifatnya universal. Memang manusia berbeda dengan hewan, mempunyai kemampuan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Hal ini sesuai dengan firman Allah yang artinya :

(Q.S. Asy Syams : 6-9)

6. Dan bumi serta penghamparannya,

7. Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),

8. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.

9. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,

(Q.S. 91 : 6-9)

Menurut ayat 6 dan 7 tersebut menunjukkan bahwa jika manusia telah mendapat ilham dari Allah berupa kemampuan untuk bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, sedang ayat 8 dan 9 mengajarkan kepada kita bahwa manusia menjadi baik atau buruk itu tergantung kepada dirinya sendiri, artinya ia menjadi baik atau buruk itu adalah pilihannya sendiri. Karena baik buruknya manusia pilihan manusia sendiri maka ia harus bertanggung jawab terhadap apa yang ia pilih.

(Q.S. Al Ahqaaf : 46)


46. Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hambaNya.

(Q.S. 41 : 46)

Jadi baik buruknya manusia tergantung kepada dirinya sendiri, jika ia berusaha untuk menjadi manusia yang baik ia akan beruntung, sebaliknya jika ia menjadikan dirinya buruk ia akan rugi atau akan sengsara. Apakah manusia menjadi baik atau buruk memang dasarnya baik atau dasarnya memang sudah buruk, atau bagaimana ? Dalam hal ini terdapat tiga ajaran :

Pertama, agama yang mengajarkan bahwa asal kejadian atau fitrah manusia itu adalah kotor, artinya telah berdosa, jadi dasarnya memang sudah buruk. Maka manusia selalu cenderung kepada yang buruk-buruk, artinya suka bermalas-malasan, selalu cenderung kepada tidak disiplin, suka berontak kepada Tuhan dan lain sebagainya.

Kedua, Agama yang mengajarkan bahwa asal kejadian manusia itu baik karena jikwa manusia berasal dari Tuhan sehingga manusia cenderung kepada perbuatan yang baik dan mulia.

Ketiga, menurut ajaran Islam asal kejadian manusia itu mempunyai kecenderungan kepada yang baik dan yang buruk sebab pada diri manusia terdapat potensi atau baha yang memungkinkan manusia untuk menjadi baik atau buruk, kemudian tergantung manusia itu sendiri diarahkan kepada yang baik atau kepada yang buruk. (perhatikan lagi ayat diatas). Manusia asal mulanya memang diciptakan dari tanah lumpur –sebagai lambang yang buruk—dan dari roh ciptaan Tuhan, yang melambangkan kebaikan

(Q.S. Ash Shaaffat : 11; 32 : 9)

11. Maka tanyakanlah kepada mereka (musyrik Mekah): "Apakah mereka yang lebih kukuh kejadiannya ataukah apa yang Telah kami ciptakan itu?" Sesungguhnya kami Telah menciptakan mereka dari tanah liat


32. Maka kami Telah menyesatkan kamu, Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang sesat.


9. Untuk mengusir mereka dan bagi mereka siksaan yang kekal,

(Q.S. 37 : 11; 32 : 9)


Lingkungan di mana manusia hidup berupa pergaulan, anggota keluarga, semua yang dilihat dan dibaca memang dapat mempengaruhi manusia menjadi baik atau buruk tetapi manusia bukan barang yang mati yang pasti terbentuk dan ditentukan oleh lingkungannya. Manusia memiliki bakat, mempunyai iman dan keyakinan serta mempunyai akal dan nafsu. Lingkungan di mana manusia hidup memang merupakan faktor yang penting yang dapat mempengaruhi tingkah laku manusia, tetapi dasar dan batin manusia juga merupakan faktor yang tidak kalah penting. Oleh karena itu, keuda faktor tersebut perlu mendapat perhatian.

Jadi apabila lingkungan orang itu jelek kemudian ia menjadi jelek janganlah menyalahkan lingkungan atau jaman kemudian orang bercuci tangan tidak mau bertanggung jawab terhadap apa yang ia lakukan.

Seorang miskin mencari pekerjaan sulit, kanan kirinya banyak orang yang sudah berkecukupan, kemudian ia yang bertemu dengan seorang pencuri mungkin akan menjadi perampok. Hal ini cocok dengan sabda Nabi SAW:

“Kefakiran itu cenderung untuk membuat orang kufur”

Tetapi dalam hadits lain kita melihat seorang sahabat ketika dia miskin rajin shalat berjamaah, sesudah dia menjadi orang kaya malah shalatnya banyak ditinggalkan.

Dengan demikian lingkungan berupa kemiskinan belum tentu menjadikan orang itu buruk, demikian kemakmuran belum tentu menjadikan itu baik, karena semua itu tergantung kepada batin seseorang. Orang yang imannya lemah akan terpengaruh dan larut dalam keburukan jika lingkungannya buruk, sebaliknya orang yang imannya kuat ia akan mampu bertahan menjadi baik jika lingkungannya buruk, bahkan orang yang imannya tangguh ia akan mampu merubah terhadap masyarakat yang berakhlak buruk. Ia melawan arus, bagaimana akibatnya diserahkan sepenuhnya kepada Allah SWT, kalau berhasil itu dari Allah, dan bersyukur, tapi kalau tidak berhasil juga diyakini dari Allah, dan dia tidak putus asa, sebab yang dinilai oleh Allah bukan berhasil dan tidaknya, tapi ikhtiar atau amalnya.

Tujuan Hidup Manusia

Dimuka telah dijelaskan tentang filsafat “sangkaan paraning dumadi”, yaitu pandangan hidup Islam tentang manusia ini berasal dari mana, akan ke mana tujuannya serta hidup ini bertugas untuk apa. Karena yang membuat manusia hidup ini Allah maka jawabannya kita serahkan kepada yang membuat hidup yaitu Allah SWT sendiri, bukan kepada hasil pikiran manusia, sebab manusia tidak membuat dirinya hidup. Maka pandangan hidup tidak akan dijawab oleh ilmu pengetahuan dan seharusnya juga tidak dijawab oleh ilmu filsafat.

Pertanyaannya kemudian adalah : Apakah tujuan hidup manusia? Islam mengajarkan pada umatnya agar menjadi umat yang kuat sebagaimana sabda Nabi

“Orang muslim yang kuat lebih baik dari pada orang muslim yang lemah dan Allah SWT menghendaki kepada umat Islam agar mempunyai anak keturunan yang kuat-kuat, jangan sampai mempunyai keturunan yang lemah-lemah”.

(Q.S. An Nisaa' : 9)

9. Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.

(Q.S. 4 : 9)

Yang dimaksud kuat tentunya tidak hanya kuat dalam arti fisik materiil tapi juga kuat dalam arti mental spirituil. Agar fisiknya kuat maka tentunya segala kebutuhan jasmaninya terpenuhi, yakni antar lain kebutuhan rasa cinta dan kasih, kebutuhan akan rasa keadilan, kebebasan, ketenangan, kesuksesan, kebutuhan untuk beribadah, rasa aman, dan lain-lain.

Keturunan menjadi kuat apabila umat Islam sekarang ini juga kuat, baik kuat dalam jasmaninya maupun rohaninya, kuat ekonominya, kuat IPTEk-nya, IMTAQ-nya dan moralnya. Dalam segala hal menurut ajaran Islam kepada yang akan datang hendaknya lebih baik dari pada sekarang, demikian sabda Nabi SAW.

Apabila manusia hidup ini hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani dan apabila telah terpenuhi hidup manusia akan senang dan bahagia?

Ternyata apabila tujuan hidup manusia itu agar terpenuhi kebutuhan jasmani dan rohani maka apabila tujuan itu sudah tercapai kebahagiaan itu akan hilang karena manusia dikejar oleh kebutuhan hidup lagi yang tidak akan henti-hentinya.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebahagiaan dunia ini tidak langgeng. Kenikmatan dunia ini menurut Al Qur’an hanyalah memperdayakan atau menipu manusia.

(Q.S. Luqman : 33)

33. Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar, Maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (syaitan) memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah. (Q.S. 31 : 33)

Maksudnya kelihatannya menjanjikan kebahagiaan yang memuaskan tapi sebetulnya serba relatif. Mengapa kenikamatan dunia yang relatif, yang goyah dan serba terdapat kekurangan ini dipakai sebagai tujuan?

Menurut ajaran Islam tujuan hidup manusia itu bukan mengejar kemakmuran kebendaan melainkan tujuan hidup itu adalah mengharapkan ridho Allah

(Q.S. Al Baqarah : 27, 265; An Nisaa' : 114)

27. (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. mereka Itulah orang-orang yang rugi.

265. Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya Karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran Tinggi yang disiram oleh hujan lebat, Maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. jika hujan lebat tidak menyiraminya, Maka hujan gerimis (pun memadai). dan Allah Maha melihat apa yang kamu perbuat.

114. Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. dan barangsiapa yang berbuat demikian Karena mencari keredhaan Allah, Maka kelak kami memberi kepadanya pahala yang besar. (Q.S. 2 : 27, 265; 4 : 114)

Dan dengan hidup selalu mengharapkan ridho Allah dalam keadaan bagaimana saja orang akan merasa tenteram dan bahagia, sebab apabila kemakmuran kebendaan itu dipakai tujuan dan kemakmuran materi dianggap baik dan kemiskinan dianggap hina, maka orang akan berusaha untuk menjadi makmur dengan cara-cara yang tidak diridhoi oleh Allah, misalnya korupsi, berlaku tidak adil, menipu, merugikan orang lain, serakah dan lain-lain yang termasuk akhlak yang tercela.

Islam mengajarkan bahwa kemakmuran materi itu adalah sekedar alat untutk berbakti atau mengabdi kepada Allah, sehingga dalam mencari dan menggunakannya haruslah disesuaikan kepada yang dituju dalam hidup ini, yaitu ridho Allah. Selama orang dalam mencari danmenggunakan kebutuhan kebendaan di jalan yang diridhoi Allah apakah orang itu kaya atau miskin maka ia adalah orang yang makmur dalam arti spirituil. Sebab mungkin sekali orang yang akay jika diti8njau dari segi kejiawaan, tapi dia miskin jika ditinjau dari ketenangan jiwa sebaliknya adapula orang yang disebut miskin jika ditinjau dari segi kebendaan tapi dia kaya jika ditinjau dari segi kejiwaan, karena ia sudah merasa cukup apa yang ia miliki yang dalam istilah agama disebut qona’ah.

Orang yang kaya dalam arti kebedaan tapi miskin dalam arti kejiwaan lebih berbahaya atau lebih buruk dari pada orang yang miskin baik dalam arti kebendaan maupun dalam arti kejiwaan. Peperangan-peperangan yang dilakukan penjajah Belanda, Jepang dan oleh siapapun bukan disebabkan karena mereka miskin dalam arti kebendaan tapi lebih disebabkan oleh sifat serakah dan tidak ada rasa qona’ah.

Tidak kalah bahayanya jika orang miskin baik dalam arti kebendaan maupun dalam arti kejiwaan. Pemberontakan PKI adalah dilakukan oleh kaum-kaum yangg miskin dalam arti kedua-duanya. Demikian pula kerusuhan disertai pengrusakan yang dilakukan masa baru-baru ini. Korupsi yang dilakukan oleh orang-orang yang berkecukupan adalah miskin dalam arti kejiwaan.

Dengan demikian kaya dalam arti materi belum bisa kita nilai baik kecuali apabila cara memperoleh kekayaan dan cara menggunakannya kedua-duanya diridhoi oleh Allah. Sebaliknya miskin dalam arti materi belum dapat kita nilai buruk, hina atau memalukan kecuali jika orang tidak berusaha mengatasi kemiskinann atau tidak berbuat tidak terpuji. Kalau benar kekayaan sebagian bangsa kita berasal korupsi dan kolusi dan kita belum melihat adanya usaha-usaha sungguh-sungguh untuk memberantas perbuatanyang tercela itu bahkan orang cenderung berpendapat bahwa korupsi dan kolusi hal yang lumrah maka kita dapat mengatakan kalau pembangunan bangsa kita selama ini lebih cenderung menekankan materiil daripada pembangunan mental spirituil, padahal bangsa kita menghendaki pembangunan ini berkeseimbangan, pembangunan manusia seutuhnya. Kita melihat orang lebih menekankan mengentaskan kemiskinan kebendaan daripada mengentaskan kemiskinan rohani.

Apabila pembangunan kita harus berkesinambungan, dan agar bangsa kita menjadi bangsa yang kuat dan tak akan hancur di perjalanan, maka kita harus juga mengentaskan kemiskinan moral dengan kita berantas korupsi, ketidakadilan, keserakahan dan segala macam bentuk kemaksiatan.

Pembangunan mental spiritual adalah pembangunan moral yang bersumber kepada agama, di sini kita melihat perlunya akhlak yang nilainya mutlak, bukan dari pendapat manusia yang relatif tapi dari Allah yang pasti akan memberi balasan di alam akherat nanti. Akan adanya balasan yang membahagiakan dan menyengsarakan alam akherat nanti dimaksudkan agar manusia berakhlak yang terpuji di alam duni ini.

Baik dan Buruk Menurut Etika dan Akhlaq

Apakah yang dipakai untuk menilai perbuatan itu baik atau buruk?

Dalam etika ada beberapa aliran, antara lain ialah :

1. Hedonisme, yaitu aliran yang berpendapat bahwa sesuatu itu baik ukurannya adalah membahagiakan. Sesuatu apabila menyenangkan atau memberikan kenikamatan adalah baik, sebaliknya apabila tidak menyenangkan adalah buruk.

Kelemahan dari aliran ini adalah tentang “menyenangkan” itu sendiri, bagaimana bila sesuatu menyenangkan bagi A tapi bagi B tidak menyenangkan? Jadi seharusnya oleh siapa pun ukurannya itu sama, misalnya berkhianat siapa pun menilai jelek, karena yang dipakai ukuran merugikan kepada orang lain. Aliran hedonisme mengarah kepada mementingkan dirinya sendiri atau individualistik.

2. Programtisme berpendapat bahwa perbuatan baik ialah segala sesuatu yang memberi faedah, apabila tidak berguna maka tidak baik. Banyak dari kalangan ilmuwan atau menerima aliran ini. Tapi kalau kira perhatikan lebih jauh kadang-kadang yang dipentingkan bergunanya bukan benarnya sehingga ada ungkapan “salah asal berguna adalah baik”, padahal mestinya salah itu adalah buruk.

3. Sosiologi. berpendapat bahwa baik buruknya perbuatan seseorang tergantung kepada masyarakat yang menilai. Di sini termasuk tradisi yang berlaku di masyarakat atau kepercayaan yang dipegang teguh orang banyak. Kelemahannya mungkin oleh masyarakat tertentu dinilai baik tapi oleh masyarakat lainnya dinilai buruk.

4. Ekonomi. Segala sesuatu yang menguntungkan adalah baik sedang rugi itu adalah jelek. Pendapat ini juga bersifat subyektif, tergantung bagi siapa yang untuk, jadi tidak untuk semua umat manusia.

Menurut ajaran Islam segala sesuatu dinilai baik apabila sesuatu dengan ajaran agama dan yang bertentungan dengan ajaran Agama dianggap buruk.

Dalam surat Al Fatihah disebutkan :

“Tunjukkan kami (ya Allah SWT) ke jalan yang lurus”

“Seperti jalan (yang ditempuh oleh) orang-orang yang Kau beri nikmat”

Jadi kita mohon kepada Allah SWT kiranya diberi petunjuk agar berbuat di jalan yang benar (yaitu mengikuti apa saja yang dikehendaki Allah) agar memperoleh kenikmatan dari Allah SWT sebagaimana orang-orang yang pernah memperoleh kenikmatan dari Allah karena mereka telah menempuh di jalan yang benar. Kenikmatan dinilai baik apabila kenikmatan itu buah dari perbuatan yang diridhoi, dari jalan yang tidak benar yang dilalui oleh orang-orang hedonis.

Kemudian jika paradigmatisme ditinjau dari segi ajaran Islam maka kita juga melihat bahwa Nabi kita bersabda :

“Sebaik-baik kamu adalah orang yang banyak gunanya bagi manusia

(H.R. Al Qodo’i)

Jadi Islam mengajarkan kepada kita agar hidup kita ini berguna bagi manusia pada umumnya, bukan hanya bagi manusia muslim saja, baik di lingkungan keluarga, tetangga, masyarakat banyak dan bangsa. Berguna itu adalah baik, sedang tidak berguna itu adalah jelek. Tetapi berguna dalam Islam adalah berguna yang diridhoi oleh Allah sebab ada yang berguna tapi tidak sesuai dengan ajaran Islam, misalnya hasil penjualan minuman keras. Dalam Islam ada istilah manfaat dan madhorot, maslahat dan mafsadsat, miras lebih banyak madhorotnya daripada manfaatnya, maka diharamkan. Demikian pula nikah “mut’ah” atau kawin kontrak lebih banyak mafsasdatnya daripada maslahannya maka juga dilarang.

Penilaian terhadap sesuatu dikalangan umat bukan dilakukan oleh masyarakat tapi para ahli agama, yaitu oleh par ulama yang istilahnya disebut “ijmak” kemudian masyarakat banyak mengikuti ijmak para ulama tersebut.

Akhirnya aliran Ekonomi jika ditinjau menurut ajaran Islam kita ketahui bahwa dalam Al-Qur’an surah Al-Ash dinyatakan bahwa Islam mengajarkan pula agar hidup umat Islam untung, yaitu hidup yang diisi dengan iman dan amal saleh, yakni perbuatan yang sesuai dengan ajaran Islam. Kalau hidup tidak diisi dengan iman dan amal yang baik maka dikatakan rugi misalnya diisi dengan amalan yang saleh berupa amalan yang tidak diridhoi oleh Allah. Jadi untung atau rugi itu tidak hanya dipandang dari segi materiil tapi juga spirituil. Orang yang berzakat atau beribadah haji jika ditinjau dari segi materi dia rugi tapi jika ditinjau dari segi kejiwaan ia untung karena sebagian hidupnya diisi dengan iman dan amal saleh. Untung karena jiwanya merasa puas dan tenteram di dunia ini dan bergembira karena nanti di alam akherat akan diberi pahala yang berlipat ganda. Jadi hartanya untuk berzakat dan naik haji itu tidak hilang atau berkurang tapi mendapat imbalan yang tidak ternilai harganya.

Kesimpulan menjadi demikian bahwa ukuran yang dipakai untuk menentukan apakah sesuatu baik atu buruk adaalah sesuai dengan ajaran Islam atau diridhoi Allah atau tidak. Kalau sesuai atau diridhoi Allah adalah baik jika sebaliknya adalah buruk. Atau dengan kata lain apakah sesuatu itu taqwa atau maksiyat, berdasarkan firman Allah SWT.

(Q.S. Al Baqoroh : 189)

189. Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. (Q.S. 2 : 189)

Mengarahkan Kepada Akhlaq yang Baik

Dilihat dari kualitasnya akhlaq dapat dibedakan menjadi dua, yaitu akhlaq terpuji dan akhlaq tercela atau mahmudah dan madzmumah. Contohnya masing-masing sudah kita ketahui karena dalam diri manusia ada kemampuan untuk menilai bahwa perbuatan itu terpuji dan mampu menilai perbuatan itu tercela.

Lain dari pada itu di dalam lubuh jiwa manusia ada kekuatan yang mendorong untuk melakukan kebaikan dan keuatan yang melarang perbuatan buruk. Kekuatan itu disebut bisikan hati atu hati nurani (Arab: dhomir. Inggris conscience) apabila kekuatanyang mendorong untuk berbuat baik dituruti maka hati manusia akan merasa gembira tapi apabila tidak diikuti akan menimbulkan penyesalan. Demikian pula kekuatan yang melarang apabila diikuti, artinya larangan itu tidak dilakukan maka hati orang akan merasa puas, tapi apabila kekuatanyang melarang itu tidak diikuti kemudian orang merasa tidak tenang. Dalam hati nuraninya orang yang sedang mencuri telah melarang melakukan pencurian itu dalam batinnya dia mengatakan bahwa pencurian itu tidak baik, tapi ada bisikan lain yang membisiki hati nurani tersebut sehingga di melakukan pencurian itu. Bisikan hati nurani itu dari malaikat sedang bisikanlain itu dari bisikan syetan.

Ada oang yang menemukan barnag yang sangat berharga, dan dia tahu bahwa tak ada seseorang pun mengetahuinya, kecuali Tuhan. Dalam hati nuraninya ia ingin mengembalikan kepada pemiliknya, meskipun ada bisikan supaya memiliki barang tersebut sebab tak ada seorang pun yang mengetahuinya.

Hati nurani tidak mesti benar, tapi ada juga yang salah, kalau keyakinan manusia benar maka suara hatinya akan benar, tapi kalau keyakinan itu salah maka suara hati juga salah. Oleh karena itu harus kita kembalikan kepada ajaran agama Islam, kalau sesuai dengan ajaran Islam tentunya benar dan sebaliknya, sebab sebagaimana telah dikatakan bahwa bisikan itu mungkin saja dari syetan.

Jadi orang jangan mengandalkan kepada hati nurani kecuali kalau sesuai dengan tuntutan Agama. Ada seorang wanita muslimah bersedia untuk dinikah dengan laki-laki beragama lain alasannya mengikuti panggilan suara hatinya. Suara hati ini jelas salah karena tidak mengikuti tuntunan ajaran Islam.

Kemudian dari pada itu apabila suara hati tersebut sesuai dengan ajaran Islam harus kita ikuti terus, harus kita biasakan dan kita dorong terus, yang akibatnya akan menjadi kebiasaan. Kebiasaan yang baik inilah yangkemudianmenjadi akhlaq kita. Kalau sudah menjadi akhlaq maka akan menjadi berat jika kita tinggalkan dan menjadi ringankita lakukan. Nabi kita Muhammad SAW memberi tuntunankepada ummat Islam agar anak-anaknya yang sudah berusia 7 tahun supaya dilatih untuk melakukan shalat lima waktu sampai sekarang antara lain karena usia sejak kecil atau pada waktu remaja belum membiasakan shalat, akibatnya untuk merubah tua juga tidak mau menerima buah pikiran dan pendapat-pendapat baru disebabkan juga karena telah membiasakan pikiran-pikiran dan pendapat lama. Menurut Prof. Dr. Ahmad Amin 90% apa yang dilakukan manusia itu dikuasai oleh kebiasaan.

Dimuka telah dikemukakan dua buah hadist yang menyatakan bahwa antara lain nanti di hari kiamat yang mendapat perlindungan dari Allah adalah “remaja yang rajinberibadah”. Mengapa, sebab kita ketahui jiw amasa remaja itu masih labil, masih mencari-cari nilai-nilai yang meskipun dalam masa kegoyahan ada yang rajin beribadah, maka karena langkahnya remaja yang demikian nanti di hari kiamat memperoleh pengayoman dari Allah SWT. Hadist satunya menyatakan bahwa di hari kiamat nanti ada empat macam yang ditanyakan, empat itu satunya akan ditanyakan “pada waktu remaja waktunya digunakan untuk apa”. Mengapa, sebab waktu remaja akan tercetak apa saja dilakukan, kalau memang tercetak baik,maka pada waktu tua pun akan menjadi generasi yang baik.

Meskipun merubah kebiasaan yang tidak terpuji untuk menjadi lebih baik itu berat sekali karena sudah menjadi akhlaqnya sebetulnya akhlaq yang tercela dapat dirubah agar menjadi baik. Ketentuannya antara lain sebagai berikut :

1. Kuatkan maksud untuk merubah dan jangan ragu sedikitpun, kalau perlua dipaksakan.

2. Hindari hal-hal yang memberi peluang untuk mengulang perbuatan yang tidak terpuji itu.

3. Dimulai dari bertahap kalau memang tidak bisa sekaligus.

4. Yakinilah bahwa akhlaq yangtidak terpuji akan merugikan Anda baik di dunia maupun di akherat.

5. Jangan malu kepada manusia tapi hendaknya malu kepada Tuhan.

Perlu diingat bahwa binatang buas saja yang menurut fitrahnya buas dia dapat dirubah untuk menjadi tidak buas dengan latihan terus-menerus apalagi manusia yang menurut fitrahnya tidak seperti hewan. Jadi salahlah orangyang berpendapat bahwa sifat atau akhlaq saya ini memang sudah begini, tidak dapat saya rubah.

Pembagian Akhlaq

Pada garis besarnya akhlak Islam dapat dibagi menjadi akhlak yang terhadap Al Kholik (Allah SWT) dan akhlak terhadap makhluk yang termasuk akhlaq terhadap Allah :

a. Mentauhidkan (mengesakan) Allah baik dalam zat-Nya, sifat-sifat dan perbuatan-Nya.

b. Bertaqwa kepada Allah, yaitu melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya.

c. Berdo’a kepada Allah, yaitu permohonan kepada Allah, yaitu permohonan seoranghamba kepada Tuhannya. Permohonan apa saja yang dibutuhkan, termasuk mohon ampun dan bertobat.

d. Dzikrullah, yaitu selalu ingat kepada Allah baik dikala sendiri, duduk maupun dalam keadaan berbaring. Baik secara jahr (keras) maupun secara sir (samar-samar).

e. Tawakkal, yaitu menyerahkan diri sepenuhnya atas segala urusannya kepada Allah setelah berusaha maksimal.

Akhlak manusia terhadap makhluk ini pun dapt dibagi menjadi akhlak manusia terhadap sesamanya juga dapat dibagi menjadi akhlak manusia diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Yang termasuk akhlak terhadap diri sendiri adalah :

a. Bersyukur, yaitu ungkapan terima kasih kepada Allah atas segala nikmat dan anugerah-Nya, dengan memanfaatkan nikamat tersebut untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

b. Sabar, yaitu mengusai diri tatkala mendapat ujian dari Allah; baik berupa kesenangan hidup maupn malapetaka menipa dirinya. Tidak lupa kepada Allah tatkala diuji dengan berbagai kesenangan hidup dan tidak mudah putus asa tatkala diuji dengan malapetaka.

c. Tawadhu’, yaitu merendahkan diri dihadapan orang lain. Tidak sombong dengan kekayaannya, kepangkatannya, keilmuannya. Berlaku wajar terhadap orang lain.

d. Benar, yaitu sikap konsisten terhadap ajaran Allah, walau pahit sekali pun akibatnya.

e. Iffah, yaitu sikap menahan diri dari amarah, walaupun segalanya memungkinan untuk menumpahkan kemarahannya.

f. Amanah, yaitu sikap jujur dalam segala hal sehingga menumbuhkan kepercayaan orang lain kepadanya.

g. Syaja’ah, yakni berani karena benar, baik dalam ucapan maupun tindakan. Namun keberanian tersebut harus didasari dengan perhitungan yang matang dan strategi yang tepat.

h. Qona’ah, yaitu merasa cukup dengan apa yang ada padanya setelah berusaha untuk merubah nasibnya.

Yang termasuk akhlak terhadap keluarga adalah :

a. Birrul walidain, yaitu berbakti kepada kedua orang tua.

b. Adil terhadap saudara, yaitu tidak membedakan antara saudara-saudaranya dengan ucapan maupun perlakuannya.

c. Membina dan mendidik keluarga agar terhindar dari siksa api neraka.

Sedangkan yang termasuk akhlak terhadap masyarakat adalah :

a. Menjalin ukhuwah, yaitu persaudaraan atas dasar kasih sayang terhadap sesama.

b. Ta’awun, yaitu tolong-menolong dalam hal kebajikan dan tidak tolong-menolong dalam hal dosa dan permusuhan.

c. Adil, yaitu sikap tidak membeda-bedakan sesama manusia, karena sesungguhnya manusia itu mempunyai kedudukan yang sama di hadapan Allah, dan yang membedakannya adalah taqwanya kepada Allah.

d. Pemurah, yaitu suka memberi kepada orang yang memerlukan bantuan dengan pemberian yang baik yang masih kita cintai.

e. Pemaaf, yaitu sikap suka memberi maaf kepada orang lain yang berbuat salah kepada kita tanpa diminta maafnya, walaupun mampu untuk membalasnya.

f. Senantiasa berwasiat dengan kebenaran, yaitu selalu mengajak orang lain untuk berbuat kebajikan dan kebenaran. Karena tiap orang punya tanggung jawab moral untuk menyebarluaskan atau mendakwahkan kebenaran.

Sedangkan akhlak manusia terhadap selain manusia dapat dibagi menjadi akhlak terhadap flora, fauna dan alam lainnya adalah :

a. Memperlihatkan dan merenungkan penciptaan alam, yaitu memikirkan kejadian alam melalui pikir dan dzikirnya baik berdiri, duduk maupun sambil berbaring.

Memanfaatkan alam, yaitu mengambil manfaat dari alam yang diciptakan oleh Allah dengan sebanyak-banyaknya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sebaliknya kita dilarang membuat kerusakan-kerusakan baik di daratan maupun di lautan. Oleh karena itu, dalam memanfaatkan alam hendaknya disertai tanggung jawab berdasarkan asas maksimal, lestari dan berdaya saing untuk mengurangi ketergantungan kepada orang lain.