BAB V

KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA/KERUKUNAN

HIDUP BERAGAMA




Standar Kompetensi


Setelah membaca bab ini mahasiswa diharap :

1. Mengerti pengertian kerukunan antar umat beragama dan kerukusan hidup beragama

2. Mengerti tentang kerukunan intern umat beragama

3. Mengerti tentang kerukunan antar umat beragama

4. Mengerti tentang kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah


A. Pengertian Kerukunan

1. Yang dimaksud kerukunan disini atau yang dirukunkan disini adalah umatnya/manusianya bukan agamanya. Karena agama tidak mungkin bisa dirukunkan, sebab setiap agama mempunyai kitab suci sendiri-sendiri, sebagai contoh :

a. Agama Islam pegangannya Al Qur’an dan Al Hadist

b. Agama Katholik dan Protestan Kitab Injil

c. Hindu dan Budha pegangannya Kitab Wedha


Dengan demikian jelasnya dalam hal berbangsa dan bernegara rujukan kita adalah dasar negara yaitu Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Kemudian dalam hal beragama rujuk kita adalah kitab suci masing-masing yaitu bagi yang beragama Islam rujuknya kepada kitab suci Al Qur’an dan Al Hadist, bagi yang beragama Katholik dan Protestan rujuknya kepada kitab Injil, bagi yang beragama Hindu dan Budha rujuknya kepada kitab Wedha dan seterusnya. Oleh karena itu Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 tidak pernah berbicara tentang bagaimana caranya wudhu, sholat, zakat, hajji dan seterusnya. Demikian juga Pancasila tidak pernah berbicara tentang bagaimana caranya baptis, sakramen dan bersyahadat.

Begitu pula Pancasila tidak pernah berbicara tentang bagaimana cara pemujaan yang dilaksanakan oleh orang yang bergama Hindu, Budha, Nasrani, dan Islam. Jadi kesimpulannya adalah dikembalikan kepada kitab suci masing-masing agama yang mengaturnya.

Sebagai catatan :

Jangan sekali-kali “Kerukunan”/rukun diartikan sempit yaitu rukun segala-galanya, misalnya pada hari Ahad, masing-masing agama baik Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Budha dan Kong Hu Chu datang dan beribadah di gereja. Kemudian pada hari Jum’at baik Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Budha dan Kong Hu Chu datang dan beribadah di Masjid. Kemudian pada hari Sabtu baik Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Budha dan Kong Hu Chu datang dan beribadah di Pura dan seterusnya. Cara seperti ini sama sekali tidak dibenarkan oleh semua agama yang resmi di Indonesia.

Kemudian untuk menjaga stabilitas nasional dan demi tegaknya kerukunan antar umat beragama, pengembangan dan penyiaran agama supaya dilaksanakan dengan semangat kerukunan, tenggang rasa, teposeliro, saling menghargai, hormat menghormati antara umat beragama sesuai jiwa Pancasila (Peraturan Perundangan Tentang Pembinaan dan Pengembangan Kehidupan Beragama, 1983 : 116,117)

2. Penyiaran agama tidak dibenarkan untuk

a. Ditujukan terhadap orang dan atau orang-orang yang telah memeluk sesuatu agama lain.

b. Dilakukan dengan menggunakan bujukan/pemberiaan materiil, uang, pakaian, makanan/minuman, obat-obatan dan lain-lain agar supaya orang tertarik untuk memeluk sesuatu agama.

c. Dilakukan dengan cara-cara penyebaran pamflet, buletin, majalah, dan buku-buku di daerah-daerah/di rumah-rumah kediaman umat/orang yang beragama lain.

d. Dilakukan dengan cara-cara masuk keluar dari rumah ke rumah orang yang telah memeluk agama lain dengan dalih apapun.

Bilamana ternyata pelaksanaan pengembangan dan penyiaran agama sebagaimana yang dimaksud di atas, menimbulkan terganggunya kerukunan hidup antar umat beragama akan diambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Seluruh aparat Departemen Agama sampai ke daerah-daerah diperintahkan untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan ini dan selalu mengadakan konsultasi/koordinasi dengan unsur pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat setempat. (Keputusan Menteri Agama No. 70 Tahun 1978 Tentang Pedoman Penyiaran Agama Peraturan Penundang-undangan Tentang Pembinaan dan Pengembangan Kehidupan Beragama 1983 : 116,117,118).

Di dalam Al Qur’an Allah berfirman :



Artinya :

“ Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui “. ( QS. Al Baqarah : 256 ).



Artinya :

“ untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." ( QS. Al Kafirun : 6 ).


B. Kerukunan Intern Umat Beragama

Di dalam pembahasan kerukunan intern umat beragama ini kami kutipkan Keputusan Menteri Agama Nomor 77 Tahun 1978 tentang bantuan luar negeri kepada lembaga keagamaan, di Indonesia sebagai berikut :


MENTERI AGAMA


Menimbang : a. Bahwa dalam rangka memantapkan pesatuan dan kesatuan bangsa serta stabilitas dan ketahanan nasional, maka kehidupan beragama perlu dibina dan diarahkan guna memantapkan kerukunan hidup intern umat beragama, kerukunan hidup antar umat beragama serta kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah.

b. Bahwa bantuan luar negeri kepada lembaga-lembaga keagamaan di Indonesia dalam rangka mengembangkan kehidupan beragama perlu diatur dan diarahkan agar supaya terhindar pengaruh negatif yang dapat menganggu persatuan dan/kesatuan bangsa, kerukunan hidup intern dan antar umat beragama, serta stabilitas dan ketahanan nasional yang semakin mantap.


Mengingat : 1. Undang-undang Dasar 1945, pasal 29 dan pasal 17 (3).

2. Ketetapan Majlis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara

3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 dan 45 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Organisasi Departemen dan Susunan Organisasi Departemen

4. Keputusan Menteri Agama Nomor 18 Tahun 1975 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama (disempurnakan).

5. Keputusan Menteri Agama Nomor 22 Tahun 1978 tentang pertimbangan/rekomendasi atas rohaniawan/rohaniwati asing yang melakukan kegiatan di bidang agama di Indonesia.


Memperhatikan : 1. Sapta Krida Kabinet Pembangunan III

2. Petunjuk Bapak Presiden Republik Indonesia Tanggal 14 Mei 1978

3. Hasil Pembicaraan Menteri Agama dan Pangkokaptib Tanggal 20 Mei 1978



MEMUTUSKAN

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI AGAMA TENTANG BANTUAN LUAR NEGERI KEPADA LEMBAGA KEAGAMAAN DI INDONESIA

Pasal 1

Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan :

a. Bantuan luar negeri ialah segala bentuk bantuan berasal dari luar negeri yang berwujud bantuan tenaga, materiil, dan atau finansial yang diberikan oleh pemerintah negara asing, organisasi dan atau perseorangan kepada lembaga keagamaan dan atau perorangan di Indonesia dengan cara apapun yang bertujuan atau dapat diduga bertujuan untuk membantu pembinaan, pengembangan dan penyiaran agama di Indonesia.

b. Lembaga keagamaan ialah organisasi perkumpulan badan yayasan dan lain-lain bentuk lembaga keagamaan yang usahanya bertujuan membi9na mengembangkan, dan menyiarkan olah agama yang secara kelembagaan/institusional dikelola oleh pemerintah dalam hal ini Departemen Agama

Pasal 2

Bantuan luar negeri seperti dimaksud pasal 1 huruf a keputusan ini hanya dapat dilaksanakan setelah mendapat persetujuan/rekomendasi dan melalui Menteri Agama.

Pasal 3

(1) Dalam rangka pembinaan, pengembangan, penyiaran dan bimbingan terhadap umat beragama di Indonesia, maka penggunaan tenaga asing untuk pengembangan dan penyiaran agama dibatasi.

(2) Warga negara asing yang ada di Indonesia yang tugas pokoknya diluar bidang agama, hanya dibenarkan melakukan kegiatan di bidang agam secara insidental, setelah mendapat ijin dan Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuknya.

(3) Lembaga keagamaan seperti dimaksud padal 1 huruf b keputusan ini dapat menggunakan warga negara asing untuk melakukan kegiatan di bidang agama, setelah mendapat ijin dari Menteri Agama.

(4) Lembaga keagamaan seperti yang dimaksud pasal 1 huruf b keputusan ini wajib mengadakan program pendidikan dan latihan dengan tujuan agar dalam waktu yang ditentukan tenaga-tenaga warga negara Indonesia dapat mengantikan tenaga asing yang melakukan kegiatan di bidang agama tersebut.

(5) Program pendidikan dan latihan seperti di maksud ayat (4) pasal ini harus dilakukan selambat-lambatnya enam bulan setelah ditetapkannya keputusan ini dan selesai dilaksanakan selambat-lambatnya dua tahun setelah pelaksanaan program pendidikan dan latihan tersebut.

Pasal 4

Lembaga keagamaan yang menerima bantuan luar negeri yang ternyata tidak memenuhi ketentuan pasal 2, pasal 3 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) keputusan ini dan warga negara asing yang melanggar ketentuan pasal 3 ayat (2) keputusan ini dapat diambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.



Pasal 5

Direktur Jenderal Bimas Islam dan Urusan Haji, Direktur Bimas Kristen Protestan, Direktur Jenderal Bimas Katolik dan Direktur Jenderal Bima Hindu dan Budha Departemen Agama serta Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama melaksanakan keputusan ini dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan serta memberikan laporan pelaksanaan keputusan ini.

Pasal 6

(1) Segala sesuatu yang bertentang dengan keputusan ini dinyatakan tidak berlaku lagi.

(2) Hal-hal yang belum diatur dalam keputusan ini akan diatur lebih lanjut oleh Menteri Agama.

Ditetapkan di : Jakarta

Pada tanggal : 15 Agustus 1978

Menteri Agama

Cap. Ttd

H. Alamsyah Ratu Perwiranegara



(Peraturan Perundangan Tentang Pembinaan dan Pengembangan Kehidupan Beragama : 124 – 127).



C. Rukun Antar Umat Beragama

Yang dimaksud rukun antar agama adalah agama satu dengan agama yang lain harus rukun, saling menghormati saling menghargai keberadaannya/tepo seliro dan toleransi.

Di Indonesia agama yang resmi atau yang sah diakui oleh pemerintah adalah sebagai berikut: (1) Islam, (2) Katholik, (3) Protestan, (4) Hindu, (5) Budha, (6) Kong Hu Chu .

Kemudian yang dimaksud rukun dengan agama lain adalah yang dirukunkan adalah umatnya/manusianya bukan agamanya. Hal tersebut sudah dijelaskan di atas Bab V, yaitu kerukunan antar umat beragama. (Hal: 1-3)


D. Kerukuan Antar Umat Beragama dan Pemerintah

Untuk lebih jelasnya dalam pembahasan ini kami kutipkan beberapa keputusan Menteri Agama sebagai berikut :

1. Tentang : Wadah musyawarah antar umat beragama

2. Tentang : Pedoman dasar wadah masyarakat antar umat beragama

3. Tentang : Pelaksanaan pembinaan kerukunan hidup beragama di daerah

4. Daftar hari-hari besar keagamaan dan penyelengaraan peringatannya

5. Tentang : Peningkatan penerangan dan bimbingan mengenai penyelenggaraan peringatan hari-hari besar keagamaan.

6. Dan Instruksi Presiden Tentang Pengawasan Terhadap Kegiatan Warga Negara Asing Yang Melakukan Pekerjaan Bebas di Indonesia.



MENTERI AGAMA

REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI AGAMA

NOMOR 35 TAHUN 1980

TENTANG

WADAH MUSYAWARAH ANTAR UMAT BERAGAMA

MENTERI AGAMA



Menimbang : bahwa untuk meningkatkan pembinaan kerukunan hidup diantara yumat bergamaa, demi terciptanya kesatuan dan persatuan bangsa, dengan berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945



serta tanggung jawab bersama atas pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), diperlukan suatu wadah Musyawarah, yaitu suatu Forum Konsultasi dan Komunikasi, antara Pemimpin-pemimpin/Pemuka-pemuka Agama dan antara Pemimpin/Pemuka-pemuka Agama dengan Pemerintah.



Mengingat : 1. Pasal 17 ayat (3) dan pasal 29 Undang-undang Dasar 1945

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara

3. Keputusan Presiden RI Nomor 44 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Organisasi Departemen

4. Keputusan Presiden RI Nomor 45 Tahun 1974 tentang Susunan Organisasi Departemen pada Lampiran 14 jis. Keputusan Presiden RI Nomor 17 Tahun 1979 dan Keputusan Presiden RI Nomor 22 Tahun 1980 tentang Perubahan-perubahan dalam Lampiran 14 Keputusan Presiden RI Nomor 45 Tahun 1974.

5. Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia, yang dalam konsiderasinya telah menampung Keputusan Menteri Agama Nomor 70 Tahun 1978 tentang Pedoman Penyiaran Agama dan Keputusan Menteri Agama Nomor 77 Tahun 1978 tentang Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia.



Memperhatikan : Kesimpulan Pertemuan Penjajagan dan Pembahasan Teknis antara Pejabat-pejabat Departemen Agama dengan Wakil-wakil Majelis Agama dalam rangka pembentukan Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama pada tanggal 17-18 Oktober 1979 Pertemuan Kerja tanggal 13-14 Pebruari 1980 Pertemuan Kerja tanggal 17 Maret 1980 Pertemuan Kerja tanggal 17-18 Juni 1980, dan Pertemuan Tingkat Puncak pada tanggal 30 Juni 1980 di Jakarta.



MEMUTUSKAN



Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI AGAMA TENTANG WADAH MUSYAWARAH ANTAR UMAT BERGAMA

Pertama : Menyatakan terbentuknya “WADAH MUSYAWARAH ANTAR UMAT BERAGAMA” yang telah disepakati oleh Wakil-wakil Majelis Agama dalam Pertemuan Tingkat Puncak pada tanggal 30 Juni 1980 di Jakarta, dengan PEDOMAN DASAR yang menjadi lampiran Keputusan ini.

Kedua : Pengeluaran biaya untuk pelaksanaan Keputusan ini dibebankan kepada mata anggaran Departemen Agama.

Ketiga : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta

Pada tanggal : 15 Agustus 1978

Menteri Agama

Cap/Ttd

H. Alamsyah Ratu Perwiranegara



PEDOMAN DASAR

TENTANG

WADAH MUSYAWARAH ANTAR UMAT BERAGAMA

Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa :



Majelis-majelis Agama di Indonesia, yaitu :

  1. Majelis Ulama Indonesia (MUI);
  2. Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI);
  3. Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI);
  4. Parisada Hindu Dharma Pusat (PHDP);
  5. Perwalian Umat Budha Indonesia (WALUBI)


sependapat :

Bahwa untuk meningkatykan pembinaan kerukunan hidup antar sesama umat beragama demi tercapainya kesatuan dan persatuan bangsa, dengan berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, serta tanggung jawab bersama atas pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), diperlukan adanya suatu Wadah Musyawarah, yaitu suatu Forum Konsultasi dan Komunikasi, antara Pemimpin-pemimpin/Pemuka-pemuka Agama di Indonesia, dengan ketentuan-ketentuan sebagai beriktu :

Pasal 1

Status

Wadah Musyawarah, Forum Konsultasi dan Komunikasi, antara Pemimpin-pemimpin/Pemuka-pemuka Agama adalah :

a. Wadah atau Forum bagi pemimpin-pemimpin/Pemuka-pemuka Agama untuk membicarakan tanggung jawab bersama dan kerja sama di antara para warga negara yang menganut berbagai Agama, dengan berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dalam rangka meningkatkan persatuan dan kesatuan serta keuntuhan kita sebagai bangsa dan garis-garis Besar Haluan negara (GBHN).

b. Wadah atau Forum bagi Pemimpin-pemimpin/Pemuka-pemuka Agama untuk membicarakan kerja-sama dengan Pemerintah dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan ketentuan lainnya dari Pemerintah khususnya yang menyangkut bidang keagamaan.


Pasal 2

Nama

Wadah Musyawarah, Forum Konsultasi dan Komunikasi ini, bernama “WADAH MUSYAWARAH ANTAR UMAT BERGAMA” atau disingkat “WADAH MUSYAWARAH”.


Pasal 3

Bentuk

(1) Wadah Musyawarah berbentuk pertemuan-pertemuan yang diadakan sewaktu-sewaktu sesuai dengan keperluan, baik atas undangan Menteri Agama maupun atas permintaan salah satu atau lebih Majlis Agama.

(2) Pertemuan-pertemuan terdiri atas :

a. Pertemuan antara sesama wakil-wakil Majelis Agama;

b. Pertemuan antara wakil-wakil Majelis Agama dengan pihak Pemerintah


Pasal 4

Susunan

(1) Wadah Musyawarah terdiri atas :

a. Pertemuan-pertemuan;

b. Sekretariat

(2) Pertemuan-pertemuan dalam Wadah Musyawarah berupa :

a. Pertemuan Lengkap, yang dihadiri oleh wakil-wakil Majelis-majelis Agama dan Menteri Agama/wakil Departemen Agama;

b. Pertemuan Kerja, yang dihadiri oleh Sekretariat dan penghubung (liasion) dari Majelis-majelis Agama atau oleh orang-orang yang ditugaskan oleh Pertemuan lengkap.

(3) Atas permintaan Wadah Musyawarah, dalam Pertemuan Lengkap atau Pertemuan Kerja dapat diikutsertakan penasehat-penasehat dari kalangan Pemerintah, Lembaga Negara, Lembaga Kemasyarakatan dan perorangan sesuai dengan keperluan.

(4) Departemen Agama menyediakan Sekretariat dan fasilitas bagi Wadah Musyawarah.

(5) Masing-masing Majelis Agama menunjuk seorang wakilnya untuk menjadi Penghubung (Liaison) antara Majelis Agama dengan Departemen Agama dan untuk mendampingi Sekretariat Wadah Musyawarah.


Pasal 5

Tata Kerja

(1) Keputusan-keputusan dalam Wadah Musyawarah diambil atas dasar musyawarah untuk mufakat, dan apabila tidak tercapai mufakat, maka permasalahan ditangguhkan untuk dibicarakan kembali setelah dimatangkan lebih lanjut.

(2) Pertemuan Lengkap mambahas masalah-masalah utama, setelah terlebih dahulu dipersiapkan oleh Pertemuan Kerja.

(3) Pertemuan Kerja bertugas untuk :

a. Mempersiapkan pembahasan masalah bagi Pertemuan Lengkap;

b. Membahas masalah perincian atas Keputusan Pertemuan Lengkap.

(4) Sekretariat Wadah Musyawarah melaksanakan segala sesuatu untuk Pertemuan Lengkap dan Pertemuan Kerja


Pasal 6

Wewenang

(1) Wadah Musyawarah membicarakan segala sesuatu tentang tanggung jawab bersama dan kerja sama di antara para warga negara yang menganut berbagai agama, dan dengan pemerintah, berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dalam rangka meningkatkan persatuan dan kesatuan serta keutuhan kita sebagai bangsa dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), dan ketentuan lainnya dari Pemerintah, khususnya yang menyangkut bidang keagamaan.

(2) Keputusan-keputusan yang diambil oleh Wadah Musyawarah merupakan kesepakatan yang mempunyai nilai ikatan moral dan bersifat saran/rekomendasi bagi Pemerintah, Majelis-majelis Agama dan masyarakat.


Pasal 7

Lain-lain


Hal-hal yang masih dianggap perlu dimufakati bersama kemudian.


Jakarta, 30 Juni 1980



MENTERI AGAMA

REPUBLIK INDONESIA

INSTRUKSI MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 3 TAHUN 1981

TENTANG

PELAKSANAAN PEMBINAAN KERUKUNAN HIDUP BERAGAMA DI DAERAH SEHUBUNGAN DENGAN TELAH TERBENTUKNYA WADAH MUSYAWARAH ANTAR UMAT BERAGAMA

MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA



Menimbang : bahwa berhubung dengan terbentuknya Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 35 Tahun 1980 tertanggal 30 Juni 1980, maka dipandang perlu mengeluarkan Instruksi bagi pelaksanaan pembinaan kerukunan hidup beragama di daerah dalam rangka pelaksanaan Keputusan Menteri Agama Nomor 39 Tahun 1980 tentang Pengesahan Keputusan Rapat Daerah tanggal 5 Juli 1980 dan Penetapannya sebagai Pedoman Kerja Pelaksanaan Tugas Tahun 1980/1981, terutama yang menyangkut Kerukunan Hidup Beragama.


Mengingat : 1. Keputusan Menteri Agama Nomor 18 Tahun 1975 (disempurnakan) tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama, dihubungkan dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 6 Tahun 1979 tentang Penyempurnaan Keputusan Menteri Agama Nomor 18 Tahun 1975 sebagai Pelaksanaan Keputusan Presiden RI Nomor 30 Tahun 1978.

2. Keputusan Menteri Agama Nomor 35 Tahun 1980 tentang Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama

3. Keputusan Menteri Agama Nomor 39 Tahun 1980 tentang Pengesahan Keputusan Rapat Kerja Pejabat Departemen Agama Pusat dan Daerah tanggal 5 Juli 1980 dan Penetapannya sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Tahun 1980/1981, berikut Instruksi Menteri Agama Nomor 8 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Keputusan Menteri Agama Nomor 39 Tahun 1980.


MENGINSTRUKSIKAN


Kepada : 1. Sdr. Sekretaris Jenderal;

2. Sdr. Inspektur Jenderal;

3. Sdr. Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji;

4. Sdr. Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Islam;

5. Sdr. Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat (Kristen) Protestan;

6. Sdr. Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik;

7. Sdr. Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha;

8. Sdr. Kepala Badan penelitian dan Pengembangan Agama;

9. Sdr. Rektor Institut Agama Ismal Negeri di seluruh Indonesia;

10. Sdr. Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi/Setingkat di seluruh Indonesia

11. Sdr. Ketua Pengadilan Tinggi Agama di seluruh Indonesia;

12. Sdr. Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kotamadya di seluruh Indonesia;

13. Sdr. Ketua Pengadilan Agama di seluruh Indonesia.


Untuk :

Pertama : Mengindahkan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

A. Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama

1. Pembinaan kerukunan hidup beragama merupakan bagian dari “Tiga Prioritas Nasional dalam Pembinaan Tata Kehidupan Bergama”, yaitu :

a. Memantapkan Ideologi dan Falsafah Pancasila dalam kehidupan umat beragama dan di lingkungan Aparatur Departemen Agama.

b. Membantu usaha memantapkan Stabilitas dan Ketahanan Nasional dengan membina tiga kerukunan hidup beragama, yaitu :

(1) Kerukunan Intern Umat Beragama;

(2) Kerukunan Antar Umat Beragama;

(3) Kerukunan Antar Umat Beragama dengan pemerintah.

c. Meningkatkan partisipasi Umat Beragama dalam mensukseskan dan mengamalkan pelaksanaan Pembangunan Nasional di segala bidang, yang berkesinambungan.

2. Pelaksanaan tugas pembinaan kerukunan hidup beragama pada hakekatnya dibebankan kepada keseluruhan Aparatur Departemen Agama, baik ditingkat pusat maupun di tingkat daerah, sesuai dengan bidang masing-masing.

B. Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama

1. Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama adalah forum konsultasi dan komunikasi antar para pemimpin/pemuka Agama dan antar para pemimpin/pemuka agama dengan pemerintah. Wadah Musyawarah berbentuk pertemuan-pertemuan yang diadakan sewaktu-waktu sesuai dengan keperluan, baik atas undangan Menteri Agama maupun atas permintaan salah satu atau lebih Majelis Agama.

2. Pertemuan-pertemuan dalam Wadah Musyawarah berupa :

a. Pertemuan Lengkap yang dihadiri oleh wakil-wakil Majelis Agama dan Menteri Agama/Wakil Departemen Agama.

b. Pertemuan Kerja yang dihadiri oleh Sekretaris dan penghubung (Liaison) dari Majelis-majelis Agama atau oleh orang-orang yang ditugaskan oleh Pertemuan Lengkap.

3. Untuk keperluan Wadah Musyawarah oleh Departemen Agama disediakan Sekretariat dan Fasilitas.

4. Ketentuan-ketentuan di atas menunjukkan bahwa pada dasarnya Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama hanya berada di tingkat pusat dan tidak diperlukan pembentukannya di daerah. Hal ini dimaksudkan agar tidak mengurangi eksistensi dan integritas Majelis-majelis Agama yang ada di Indonesia, yaitu : Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI), Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI), Parisada Hindu Dharma Pusat (PHDP) dan Perwalian Umat Budha Indonesia (WALUBI). Selain itu agar tidak menimbulkan simpang siur dalam jalur pembinaan kehidupan beragama baik dari segi kepentingan umat beragama sendiri maupun dari segi pelaksanaan tugas Pemerintahan d.h.i Departemen Agama.

5. Apabila dalam pembinaan kerukunan hidup beragama di daerah dianggap perlu adanya pemecahan masalah bersama, baik antar Instansi Pemerintah maupun dengan kalangan Pemimpin/Pemuka Agama di daerah setempat, maka Kepala kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi/Setingkat dan Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kotamadya secara “ex officio” berkewajiban menampung permasalahannya dan menyelesaikannya, dengan langkah-langkah :

a. Melakukan konsultasi dan koordinasi antar aparatur Departemen Agama sesuai dengan bidang tugas dan wewenang masing-masing.

b. Melakukan konsultasi dan koordinasi dengan instansi-instansi Pemerintah lainnya, baik sipil maupun militer, atas pengarahan dan petunjuk Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I atau Bupati/Walikota/ Kepala Daerah Tingkat II, sesuai dengan situasi dan kondisi setempat.

6. Dalam pelaksanaan hal-hal tersebut di atas hendaknya berpedoman kepada Keputusan Menteri Agama Nomor 39 Tahun 1980 jo. Instruksi Menteri Agama Nomor 8 Tahun 1980, terutama pada materi Keputusan Rapat Kerja tanggal 1-6 Juli 1980 Bagian Kedua huruf I dan Lampiran I tentang program Kerja Pembidayaan Pancasila, Kerukunan Hidup Beragama, Stabilitas dan Ketahanan Nasional serta Pembangunan Nasional.


Kedua : Semua ketentuan tentang pembinaan kerukunan hidup beragam di daerah yang bertentangan dengan Instruksi ini dinyatakan tidak berlaku lagi.


Ketiga : Instruksi ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta

Pada tanggal : 23 Februari 1981

Menteri Agama Republik Indonesia

Cap/Ttd

H. Alamsyah Ratu Perwiranegara




MENTERI AGAMA

REPUBLIK INDONESIA

Nomor : MA/432/1981

Lamp. : 1 (satu) berkas

Hal : Penyelenggaraan peringatan


hari-hari besar keagamaan

Jakarta,

Kepada Yth.

1. Saudara Pimpinan Lembaga Tertinggi Negara dan Lembaga Tinggi Negara di Jakarta;

2. Saudara-saudara Menteri Koordinator, Menteri Muda Kabinet Pembangunan III dan Pimpinan Lembaga Non Departemen di Jakarta;

3. Saudara-saudara PANGKOPKAMTIB, Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian RI di Jakarta;

4. Saudara Gubernus/Kepala Daerah di Seluruh Indonesia.



SURAT EDARAN

1. Sesuai dengan petunjuk Bapak Presiden RI, pembinaan dan pengembangan kebidupan beragama dan kerukunan hidup antar sesama umat beragama diarahkan agar kemurnian aqidah terpelihara, tumbuhnya suasana kerukunan yang harmonis dan terpeliharanya persatuan bangsa, sehingga kehidupan beragama dapat berkembangan dengan wajar dan harmonis serta bergotong royong dalam membangun mengamankan dan melestarikan Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

2. Pada akhir-akhir ini di kalangan instansi Pemerintah, Sipil dan ABRI, badan swasta, sekolah-sekolah dan masyarakat umum, dirasakan meningkatnya penyelenggaraan peringatan hari-hari besar keagamaan. Namun di beberapa tempat timbul pelbagai kesalah-pahaman dan masalah antara lain : pencampuradukan hal-hal yang bersifat aqidah/ajaran agama, disebabkan kurangnya pemahaman secara mendasar mengenai segi-segi aqidah/ajaran agama masing-masing.

Hal serupa itu menghambat pembinaan kerukunan hidup beragama dan menganggu usaha pemantapan Stabilitas dan Ketahanan Nasional serta Persatuan dan Kesatuan Bangsa. Oleh karenanya hambatan tersebut perlu dihindarkan sedini mungkin.

3. Sejalan dengan pokok-pokok pikiran yang disampaikan oleh Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama tertanggal 25 Agustus 1981 dan petunjuk Bapak Presiden pada tanggal 1 September 1981, bahwa peringatan hari-hari besar keagamaan pada dasarnya hanya diselenggarakan dan dihadiri oleh para pemeluk agama yang bersangkutan, namun sepanjang tidak bertentangan dengan aqidah/ajaran agamanya, pemeluk agama lain dapat turut menghormati sesuai dengan asas kekeluargaan, bertetangga baik dan kegotong-royongan.

4. Dalam penyelenggaraan peringatan hari-hari besar keagamaan perlu dipedomani hal-hal sebagai berikut :

a. Unsur peribadatan

Unsur peribadatan ialah “ibadah” bagi Islam, “kebaktian/liturgi” bagi Kristen Protestan dan Katolik, “yadnya” bagi Hindu dan “kebaktian” bagi Budha, yang terkandung dalam penyelenggaraan peringatan hari-hari besar keagamaan merupakan bentuk ajaran agama yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemimpin/Pemuka Agama yang bersangkutan untuk mengaturnya sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing. Dalam hal peribadatan atau adanya unsur peribadatan semacam ini, maka hanya pemeluk agama yang bersangkutan yang menghadirinya.

b. Unsur perayaan dan kegiatan lain ialah penyelenggaraan peringatan hari-hari besar keagamaan yang di dalamnya tidak ada unsur ibadat.

Dalam perayaan dan kegiatan semacam ini dapat dihadiri dan diikuti oleh pemeluk agama lain.

c. Petunjuk tentang macam-macam hari-hari besar keagamaan dan penyelenggaraan peringatannya bagi agama masing-masing tersebut dalam lampiran surat edaran ini.

5. Bila seseorang atau pejabat karena jabatannya akan hadir dalam peringatan dan upacara keagamaan dari suatu agama yang tidak dipeluknya hendaklah dapat menyesuaikan diri, dengan bersikap pasif namun khidmat, sehingga kelancaran jalannyua upacara maupun pemantapan kerukunan hidup beragama terjamin.

6. Penanggung jawab sekolah dan para guru selaku pembina anak didik tunas harapan bangsa, agar menjaga dan memelihara keyakinan dan keimanan agama yang dipeluk oleh anak didik masing-masing, sehingga penyelenggaraan peringatan hari-hari besar keagamaan di sekolah-sekolah diadakan sesuai dengan ketentuan dalam surat edaran ini.

7. Kepada pimpinan lembaga kemasyarakatan dan badan swasta dianjurkan untuk memperhatikan hajat keagamaan dengan memberikan kesempatan pelaksanaan ibadah dan penyelenggaraan peringatan hari-hari besar keagamaan di dalam lingkungan masing-masing seperti : Rukun Kampung, Rukun Warga dan Rukun Tetangga maupun perusahaan. Untuk itu hendaknya meminta petunjuk kepada pejabat Pemerintah/Agama dan/atau pemimpin/pemuka agama setempat, agar peringatan termaksud dapat benar-benar mengembangkan kehidupan beragama serta kerukunan antara umat beragama dalam masyarakat sesuai dengan maksud dalam surat edaran ini.

8. Biaya penyelengaraan peringatan hari besar keagamaan pada dasarnya menjadi tanggungan pemeluk agama yang bersangkutan dan tidak selayaknya mengusahakan sumbangan kepada bukan pemeluknya.

Namun ini tidak berarti bahwa seseorang dilarang memberikan sumbangan atau hadian kepada pemeluk agama lain atas dasar suka rela dan persahabatan.

9. Bilamana dalam peringatan hari-hari besar keagamaan diundang pula pemeluk agama lain, hendaknya surat undangan dilampiri dengan susunan acara yang telah mengindahkan ketentuan tersebut nomor 4 di atas demi tertib dan lancarnya penyelenggaraan peringatan.

10. Demikianlah kami mengharapkan bantuan dan kesediaan Saudara untuk menyebarluaskan pedoman di atas kepada para pejabat dan instansi dalam lingkungan kewenangan masing-masing serta masyarakat luas, dalam memberikan perhatian dan pelayanan hajat keagamaan, bagi semua pemeluk agama, sehingga arah pembinaan dan pengembangan kehidupan beragama dapat benar-benar memperkokoh landasan tegaknya kehidupan beragama dalam masyarakat Pancasila yang kita idam-idamkan.

Semoga Allah, Tuhan Yang Maha Esa memberkati kita semua.


Wassalam,

Menteri Agama Republik Indonesia

Cap/Ttd



H. Alamsyah Ratu Perwiranegara

DAFTAR HARI – HARI BESAR KEAGAMAAN

DAN PENYELENGGARAAN KEGIATAN



Agama

Hari-hari Besar

PENYELENGGARAAN PERINGATAN

Keterangan

Ibadah/Kebaktian/Liturgi/Yadnya/Kebaktian

Kegiatan Lain

Pokok

Tambahan/Fadillah

1

2

3

4

5

6

1. ISLAM

1. Idul Adha

2. Idul Fitri

3. Maulid Nabi SAW

4. 1 Muharam

5. Isra Mi’raj

6. Nuzulul Quran

Shalat di Mesjid/ lapangan

Shalat di Mesjid/ lapangan

-

-

­-

-

Upacara peringatan :

- Salam

- Pembacaan Al Qur’an

- Shalawat Nabi SAW

- Doa

Bagi pemeluk agama lain bila mau hadir bersikap pasif, tidak mengikuti kegiatan dan khidmat menghormati dan tidak menganggu

Upacara peringatan :

(Idem No. 2)

Upacara peringatan :

(Idem No. 2)

Upacara peringatan :

(Idem No. 2)

Upacara peringatan :

(Idem No. 2

- Kata pengantar/penutupan

- Ceramah

- Sambutan/Amanat

- Hiburan/ramah tamah

Diselenggarakan di Mesjid atau tempat lain

(idem No. 2)

(idem No. 2)

(idem No. 2)

(idem No. 2)

(idem No. 2)

Ada juga peringatan tanggal 10 Muharam, disebut ASYURA

(idem No. 2)

(idem No. 2)

1

2

3

4

5

6

2. KRISTEN PROTESTAN

3. KATOLIK

7. Natal

8. Paskah

9. Natal

10. Paskah

Kebaktian di gereja

Kebaktian di gereja

Kebaktian di gereja

Kebaktian di gereja

Upacara peringatan :

- Tahbisan dan salam pujian/ nyanyian/ paduan suara

- Doa

- Pembacaan Al kitab

- Khotbah/renungan

Bagi pemeluk agama lain bila mau hadir bersikap pasif dan khidmat.

Upacara peringatan :

(idem No. 7)

-

-

- Kata pengantar/penutupan

- Hiburan/ramah tamah

Idem No. 7

Perayaan

- Kata pengantar/penutupan

- Sambutan

- Hiburan/ramah tamah

(idem No. 9)

Diselenggarakan ditempat lain

(idem No. 7)

Diselenggarakan di rumah atau tempat lain



INSTRUKSI MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 15 TAHUN 1981

TENTANG

PENINGKATAN PENERANGAN DAN BIMBINGAN

MENGENAI PENYELENGGARAAN PERINGATAN

HARI-HARI BESAR KEAGAMAAN

MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA



Menimbang : Sehubungan dengan Surat Edaran Menteri Agaman Nomor MA/432/1981 tertanggal 2 September 1981, perlu dikeluarkan Instruksi Peningkatan Penerangan dan Bimbingan Penyelenggaraan peringatan Hari-hari Besar Keagamaan

Mengingat : 1. Keputusan Presiden RI Nomor 44 dan 45 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Organisasi Departemen dan tentang Susunan Organisasi Departemen jis Keputusan Presiden RI Nomor 22 Tahun 1980 tentang Perubahan Lampiran 14 Keputusan Presiden RI Nomor 45 Tahun 1974

2. Keputusan Menteri Agama Nomor 18 Tahun 1975 (disempurnakan) tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama jis Nomor 6 Tahun 1979, Nomor 51 Tahun 1980, Nomor 68 Tahun 1980 dan Nomor 45 Tahun 1981 tentang Penyempurnaan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama.

3. Keputusan Menteri Agama Nomor 35 Tahun 1980 tentang Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama.

Memperhatikan : 1. Surat Edaran Menteri Agama RI Nomor MA/432/1981 tanggal 2 September 1981 tentang Penyelenggaraan Peringatan Hari-hari Besar Keagamaan

2. Petunjuk Bapak Presiden RI kepada Menteri Agama tanggal 22 September 1981



MENGINSTRUKSIKAN


Kepada : 1. Sdr. Sekretaris Jenderal;

2. Sdr. Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji;

3. Sdr. Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat (Kristen) Protestan;

4. Sdr. Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik;

5. Sdr. Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha;

6. Sdr. Kepala Badan Litbang Agama;

7. Sdr. Rektor IAIN;

8. Sdr. Kepala Kanwil Departemen Agama;

Di Jakarta dan seluruh Indonesia.

Untuk :

Pertama : Sesuai dengan bidang tugas dan wewenang masing-masing meningkatkan penerangan dan bimbingan Penyelenggaraan Peringatan Hari-hari Besar keagamaan sebagaimana tersebut dalam Surat Edaran Menteri Agama Nomor MA/432/1981 tanggal 2 September 1981

Kedua : Menyebarluaskan Surat Edaran Menteri Agama tersebut dan petunjuk Bapak Presiden Republik Indonesia kepada Menteri Agama tanggal 22 September 1981 (terlampir) kepada para pejabat/pegawai di lingkungan masing-masing, para pejabat Pemerintah Daerah dan para Alim Ulama/Pemuka Agama serta umat beragama di daerah masing-masing.

Ketiga : Melaksanakan Instruksi ini sebaik-baiknya dan melaporkan hasil-hasil pelaksanaannya kepada Menteri Agama.

Ditetapkan di : Jakarta

Pada tanggal : 24 September 1981

Menteri Agama Republik Indonesia

Cap/Ttd


H. Alamsyah Ratu Perwiranegara


PETUNJUK BAPAK PRESIDEN SEHUBUNGAN DENGAN

SURAT EDARAN MENTERI AGAMA NOMOR MA/432/1981


Bapak Presiden pada tanggal 22 September 1981 telah memberikan petunjuk kepada Menteri Agama sehubungan dengan Surat Edaran Menteri Agama Nomor MA/432/1981.

Pokok-pokok petunjuk Bapak Presiden tersebut ialah :

1. Surat Edaran Menteri Agama tersebut jangan hendaknya dikaitkan dengan masalah yang bukan-bukan. Akan tetapi supaya dikaitkan dengan tujuan kemerdekaan kita yaitu merdeka, bersatu, mencapai masyarakat adil dan makmur.

2. Sebagi jaminan kelanujutan mencapai tujuan kemerdekaan tersebut, hendaknya dalam menghadapi persoalan agama kita harus berhati-hati. Karena soal agama merupakan salah satu soal yang dapat membahayakan, apabila kita sama-sama kurang berhati-hati.

3. Tujuan Pemerintah dengan Surat Edaran Menteri Agama itu, bukan mencampuri soal-soal agama, tetapi yang diatur ialah penyelenggaraan peringatan hari-hari besar keagamaan demi persatuan dan kesatuan bangsa, untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak kita inginkan bersama.

Jakarta, 23 Septmber 1981,

Menteri Agama Republik Indonesia

Cap/ Ttd

H. Alamsyah Ratu Perwiranegara



INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 10 TAHUN 1968

TENTANG

PENGAWASAN TERHADAP KEGIATAN WARGA

NEGARA ASING YANG MELAKUKAN PEKERJAAN

BEBAS DI Indonesia

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



Menimbang : 1. Bahwa dalam tangka mengatur kegiatan warga negara asing yang bekerja di Indonesia, sesuai dengan kebijaksanaan Pemerintah sebagaimana tercantum dalam pasal 3 Instruksi Presidium Kabinet tertanggal 7 Juni 1967 No. 37/U/IN/6/1967, dipandang perlu untuk mengadakan pengaturan terhadap warga negara asing yang melakukan pekerjaan besar (vrije beropen) di Indonesia.

2. Bahwa untuk itu, dipandang perlu menunjuk Menteri Tenaga Kerja guna melaksanakan pasal 3 Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967


Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945

2. Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967

3. Instruksi Presidium Kabinet Nomor 37/U/IN/6/1967

4. Keputusan Presiden Nomor 171 Tahun 1967


MENGINSTRUKSIKAN


Kepada : MENTERI TENAGA KERJA

Untuk : Melaksanakan pasal 3 Instruksi Presidium Kabinet Nomor 37/U/IN/6/1967, tentang keharusan bagi setiap warga negara asing untuk memiliki izin kerja di samping izin usaha yang sudah dengan ketentuan sebagai berikut :

Pertama : Setiap warga negara asing yang bekerja di Indonesia termasuk mereka yang melakukan pekerjaan bebas (vrije beroepen) dan majikan-majikan berkewarganegaraan asing yang berusaha sendiri, harus memiliki izin bekerja tertulis dan Menteri Tenaga Kerja.

Kedua : Pemberian izin kerja dimaksud pada ketentuan PERTAMA Instruksi ini, diatur sesuai dengan kebutuhan menurut perencanaan dalam bidang pembangunan perekonomian nasional serta dengan tetap mengutamakan pemberian kesempatan bekerja dan berusaha bagi warga negara Indonesia.

Ketiga : Instruksi ini mulai berlaku pada hari dikeluarkan.

Ditetapkan di : Jakarta

Pada tanggal : 27 Maret 1968

PJ. Presiden Republik Indonesia,

Cap. Ttd


SOEHARTO

Jenderal – TNI

(Peraturan Perundangan Tentang Pembinaan dan Pengembangan Kehidupan Beragama : 132 – 162).

E. Agama Islam Adalah Rahmat Bagi Manusia

Andaikata di bumi yang kita tempati tidak ada agama niscaya bumi ini hancur lebur dirusak oleh manusia. Untuk itu kalau boleh dijelaskan bahwa Allah sebelum menciptakan umat manusia, Allah terlebih dahulu menciptakan bumi langit seisinya, baru Allah menciptakan manusia. Sebelum bumi ini diserahkan/diamanahkan kepada manusia Allah juga membuat aturan pegangan yaitu agama untuk mengatur hidup dan kehidupan di bumi ini. Adapun aturan/agama yang diturunkan Allah melalui malaikat kepada para Nabi dan Rasul adalah merupakan rahmat bagi umat manusia. Allah berfirman sebagai berikut :



Artinya :

“ dan Tiadalah Kami mengutus kamu ( Muhammad ), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam “. ( QS. Al Anbiya’ : 107 ).


Mengapa agama menjadi rahmat bagi manusia. Karena andaikata di dunia tidak ada agama/aturan dari Allah niscaya bumi ini rusak binasa karena manusia. Untuk itu sebagai rahmat Allah, Allah menurunkan agama sebagai rahmat/pegangan hidup dan kehidupan.

F. Kebersamaan Dalam Pluralitas Beragama

Di Indonesia ini kita sama-sama mengetahui bahwa Indonesia ini masyarakatnya majemuk/heterogen/bhineka, berbagai agama, berbagai suku, berbagai bahasa tetapi ika (satu).

Untuk itu bangsa Indonesia mempunyai falsafah yang unik yaitu “Kebersamaan Dalam Ketidaksamaan”. Tidak sama, maksudnya tidak sama agama/tidak sama suku/tidak sama bahasa tetapi bisa bersama, itulah yang akhirnya istilah ini dipopulerkan oleh seorang ulama besar yaitu Ketua MUI (KH Sahal mahfud). Itulah sebabnya dengan falsafah Pancasila semua agama/pluralitas agama terlindungi oleh Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

Dengan kata lain dalam hal berbangsa dan bernegara rujukan kita kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Namun dalam hal beragama tentunya rujukan kita kepada kitab suci masing-masing agama. Oarng yang beragama Islam merujuk kepada kitab suci Al Qur’an dan Al Hadis, Katholik dan Protestan merujuk kepada kitab injil, orang yang beragama Hindu merujuk kepada kitab Weda, dan orang yang beragama Budha merujuk kepada Bhagawat Gita, dan seterusnya.


Latihan

1. Di Indonesia ini ada istilah toleransi agama atau lebih terkenal kerukunan antar umat beragama.

a. Apa yang saudara ketahui tentang toleransi beragama !

b. Apa yang saudara ketahui tentang kerukunan umat beragama !

c. Bagaimana sikap kita terhadap agama lain !

2. Keputusan Menteri Agama terhadap agama lain bantuan luar negeri kepada lembaga keagamaan di Indonesia.

a. Apa yang saudara ketahui tentang bantuan luar negeri

b. Apa yang dimaksud dengan lembaga keagamaan di Indonesia !

c. Bagaimana warga negara asing yang ada di Indonesia yang tugas pokoknya di luar bisang agama

3. Di Indonesia ada beberapa agama yang sah dan diakui

a. Sebutkan agama tersebut !

b. Penjelasan singkat tentang tidak bolehnya berdakwah kepada seseorang yang jelas berbeda agamanya !

c. Apa yang saudara ketahui tentang firman Allah yang artinya “Tidak ada paksanaan dalam beragama”

4. KH. Sahal mahfud (Ketua MUI) pernah mempopulerkan istilah “Kebersamaan dalam Ketidaksamaan”

a. Apa yang saudara ketahui tentang hal tersebut !

b. Apa kaitannya dengan falsafah Pancasila !

c. Apa yang saudara ketahui bhineka tetapi ika !




DAFTAR PUSTAKA



Wakaf dari Pelayan Dua Tanah Suci Raja Fadh bin Abdul Aziz Al Su’ud, Al Qur’an dan Terjemahannya.

Proyek Perencanaan Peraturan perundangan Keagamaan Departemen Agama Tahun Anggaran 1982/1983, Peraturan Perundangan Tentang Pembinaan dan Pengembangan Kehidupan Beragama.

Endang Saifudin Anshori, MA, Ilmu Filsafat dan Agama, PT. Bina Ilmu Offse, Surabaya.

Hasbi Ash Shiddiqy, Kuliah Ibadah, Bulan Bintang, Jakarta, 1954.

Sulaiman Rosyid, Fiqih Islam, Sinar Baru, Bandung, 1992.