IPTEK DAN SENI DALAM
PERSPEKTIF ISLAM
Standar Kompetensi :
Setelah membaca bab ini, mahasiswa diharapkan:
1. Mengerti tentang konsep ilmu pengetahuan, teknologi dan seni menurut pandangan Islam
2. Memahami peranan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dalam mengenal Islam
3. Memahami integrasi antara iman, ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
4. Memahami keutamaan orang yang berilmu dan mengusahakan dirinya untuk menjadi ilmuwan yang tawadu’
5. Memahami tanggung jawab ilmuwan dalam mensejahterakan manusia
A. Konsep Iptek dan Seni
1. Ilmu Pengetahuan
Kata ‘ilmu’ yang dalam bahasa Arab ‘ilm berarti pengetahuan. Kata ini kadang disinonimkan dengan kata ma’rifah yang berarti pengetahuan juga (Musthofa, 2006: 216), tetapi kata ini lebih spesifik pada term dunia tasawuf yang bermakna pengetahuan tentang Allah (mengenal Allah).
Dalam berbagai bentuk dan artinya Al Qur’an menggunakan kata ‘ilm sebanyak 854 kali, yang digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan (M. Quraish Shihab : 62).
Secara istilah Malik bin Nabi sebagaimana yang dikutip Qurais Shihab (1996; 42) menjelaskan, bahwa ilmu pengetahuan adalah sekumpulan masalah serta sekumpulan metode yang dipergunakan menuju tercapainya masalah tersebut”.
Ilmu pengetahuan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dijelaskan sebagai gabungan berbagai pengetahuan yang disusun secara logis dan bersistem dengan memperhitungkan sebab akibat.
Sementara itu, para ahli keislaman berpendapat bahwa ilmu menurut Al Qur’an mencakup segala macam pengetahuan yang berguna bagi manusia dalam kehidupannya, baik masa kini maupun masa depan, fisika atau metafisika (M. Quraish Shihab,1996: 62).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ilmu pengetahuan (sains) adalah suatu sistem yang berasal dari pengamatan, studi dan percobaan secara logis terhadap berbagai masalah untuk menentukan hakikat dan prinsip tentang hal yang sedang dipelajari baik fisika atau metafisika dengan metode-metode tertentu yang berguna bagi kehidupan manusia.
Dalam konsep Islam ilmu itu bersumber pada wahyu dan akal. Sebagaimana hasil seminar internasional Pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977, ilmu diklasifikasikan menjadi dua kategori (Quraish Shihab, 1996: 62-63) :
a. Ilmu bersifat abadi (perennial knowledge) yang berdasarkan wahyu ilahi yang termaktub dalam Al Qur’an dan Al Hadits, sehingga tingkat kebenarannya bersifat absolute.
b. Ilmu bersifat perolehan (acquired knowledge) berdasarkan pada akal pikiran manusia, sehingga tingkat kebenarannya bersifat nisbi (relative).
Dengan kata lain, sesungguhnya sepanjang ajaran otentik Islam, ilmu pengetahuan bersumber dari dua bentuk wahyu yang satu berupa Al Qur’an dan lainnya berupa sunatullah (hukum alam). Jika wahyu pertama itu dibacakan Jibril, wahyu yang kedua adalah segala wujud ciptaan Allah berupa benda mati, tumbuhan, hewan, manusia, dan makhluk gaib.
Menurut Mulkan (2002: 239), wahyu pada ranah pertama dipahami dengan menafsirkan teks secara eksplanatif, dan wahyu ranah kedua dipahami dengan melakukan deskripsi, eksplorasi, dan eksperimentasi secara sistematis. Maka, lahirlah dua bagian ilmu paling dasar, ilmu tekstual tentang segala ciptaan dalam bentuk teks, dan ilmu kontekstual tentang segala ciptaan yang empiris.
Karena itu pada gilirannya, setiap ilmu membatasi diri pada salah satu bidang kajian. Itulah mengapa setiap orang yang memperdalam ilmu-ilmu tertentu disebut sebagai spesialis (pakar). Dengan begitu tidak salah kalau Qurais Shihab (1996 : 44) mengatakan, bahwa ciri khas dari ilmu pengetahuan (science) yang tidak dapat diingkari adalah bahwa ia tidak mengenal kata “kekal”. Apa yang dianggap salah masa silam misalnya, dapat diakui kebenarannya diabad modern.
Oleh sebab itu pula ilmu adalah ilmu yang bukan wahyu, sehingga tidak lagi bisa dikenai hukum mutlak dan keabadiaan. Dalam bahasa lebih popular, kebenaran ilmu sebagai hasil kerja pikiran bersifat relatif, dalam arti dipengaruhi atau tergantung pada bahan atau data yang dikaji, metode yang dipakai, dan pengalaman ilmuwan (ulama) itu sendiri (Abdul Munir, 2002: 234).
Jadi, menurut Al Qur’an ilmu itu adalah suatu keistimewaan pada manusia yang tidak mungkin dimiliki oleh makhluk lain. Inilah yang menyebabkan manusia itu unggul terhadap makhluk-makhluk lain dan mendapat predikat kholifatu fil ard (pemimpin di bumi). Begitu istimewanya ilmu bagi manusia, sehingga umat Islam tidak dapat dipisahkan dengan ilmu.
2. Teknologi
Bicara teknologi akan pararel dengan ilmu pengetahuan atau sains yang lazim dikenal dengan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek). Teknologi pada dasarnya adalah know – how, yaitu budaya yang berhubungan bagaimana cara membuat sesuatu (Mustofa Ansori, 2006: 216). Dalam Encyclopedia Britanika diartikan : “Technology may be defined as the systematic study of techniques for making and doing things”. (Teknologi adalah digambarkan sebagai studi teknik yang sistematis untuk membuat dan melakukan berbagai hal). Pengertian teknologi hampir senada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, teknologi diartikan sebagai “kemampuan teknik yang berdasarkan ilmu pengetahuan, ilmu eksakta, dan proses teknis. Singkatnya teknologi adalah ilmu tentang cara menerapkan sains untuk memanfaatkan alam bagi kesejahteraan dan kenyamanan manusia”.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa teknologi merupakan salah satu budaya sebagai hasil penerapan praktis dan sistematis dari ilmu pengetahuan untuk pemenuhan kebutuhan (produktifitas) masyarakat. Tentu konsekuensinya adalah teknologi kadang menghantarkan pada gerbang kemajuan dan kesejahteraan sebagai dampak positifnya, tetapi juga sebaliknya persis dapat membawa pada kehancuran alam semesta sebagai dampak negatifnya.
Itulah mengapa teknologi besifat netral, artinya bahwa teknologi dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat atau bisa juga digunakan untuk kehancuran semesta. Tentu saja itu semua berpulang pada etikad manusia itu sendiri yang sangat dipengaruhi oleh kualitas imannya.
Sepintas pembahasan ilmu pengetahuan dan teknologi masing-masing tampak berdiri sendiri, namun sesungguhnya dapat menjadi satu kesatuan yang utuh. Betapa tidak, sekarang ini sulit memisahkannya. Disatu sisi teknologi bergantung pada sains, dan disisi lain sains mengalami kemajuan yang signifikan berkat kemajuan teknologi. Oleh sebab itu keduanya disebut dalam satu akronim yaitu IPTEK.
Bagaimana dengan perspektif Al Qur’an mengenai Iptek ? Memang Al Qur’an tidak menulis langsung redaksi istilah tersebut, tetapi banyak ayat Al Qur’an yang bertebaran mengenai isyarat-isyarat atau i’tibar tentang Iptek yang bisa diuji kebenarannya, antara lain :
a. Kemahiran Nabi Nuh As. (nahkoda) dalam berlayar yang selamat dari amukan banjir ( QS. Hud : 36 – 44 ).
Artinya :
“ Dan Nuh berkata: "Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah diwaktu berlayar dan berlabuhnya." Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung “ ( QS. Hud : 36 – 44 ).
b. Kehebatan Nabi Sulaiman As. dalam berkomunikasi dengan binatang
Artinya :
“ dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan Dia berkata: "Hai manusia, Kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan Kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia yang nyata " . ( QS. An Naml : 16 ).
Artinya :
“ Maka Dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) Perkataan semut itu. dan Dia berdoa: "Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh". dan Dia memeriksa burung-burung lalu berkata: "Mengapa aku tidak melihat hud-hud, Apakah Dia Termasuk yang tidak hadir “. ( QS. An Naml : 19 – 20 ).
c. Nabi Sulaiman menjadikan angin sebagai alat transportasi, jin sebagai tentaranya dan pencarian barang tambang ( QS. Al Anbiya’ : 81-82 )
Artinya :
“Dan (telah Kami tundukkan) untuk Sulaiman angin yang sangat kencang tiupannya yang berhembus dengan perintahnya ke negeri yang kami telah memberkatinya. Dan adalah Kami Maha Mengetahui segala sesuatu. Dan Kami telah tundukkan (pula kepada Sulaiman) segolongan syaitan-syaitan yang menyelam (ke dalam laut) untuknya dan mengerjakan pekerjaan selain daripada itu, dan adalah Kami memelihara mereka itu “ ( QS. Al Anbiya’ : 81 – 82 ).
d. Ibrahim As. dan Ismail As. (arsitek) membangun Baitullah. ( QS. Al Baqarah : 127 )
Artinya :
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" ( QS. Al Baqarah : 127 ).
e. Kehebatan nabi Daud As. sebagai designer baju besi. (QS. Al Anbiya’ : 80)
Artinya :
“ Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam peperanganmu; Maka hendaklah kamu bersyukur (kepada Allah) “ ( QS. Al Anbiya’ : 80 ).
f. Nabi Yusuf As. (pengusaha) mengelola sumber daya alam dan hasil bumi. (QS. Yusuf : 55 – 56 )
Artinya :
“Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan. Dan demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju kemana saja ia kehendaki di bumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik" (QS. Yusuf : 55–56 ).
Sesungguhnya masih banyak ayat yang mengandung isyarat (‘ibrah) ilmiah tentang iptek. Oleh karena itu menjadi sebuah keharusan bagi setiap umat Islam untuk menggali dan mempelajarinya dalam menyongsong peradaban dunia yang semakin canggih dan modern.
3. Seni
Seni (art) berasal dari bahasa Latin, ars yang berarti kemahiran. Istilah ini kemudian diformulasikan dalam definisi seni secara etimologis, sebagai suatu kemahiran dalam membuat barang-barang atau mengerjakan sesuatu (Mustofa Ansori, 2006 : 219). Dengan kalimat lain seni merupakan bagian dari budaya manusia, sebagai hasil ungkapan akal dan budi manusia dengan segala prosesnya yang mengekspresikan sebuah keindahan.
Apakah keindahan itu merupakan sesuatu yang lahir dari benda itu sendiri (obyek), ataukah hanya lahir dalam alam pikiran atau perasaan orang yang mengamati benda tersebut (subyek). Muncullah dua teori :
a. Teori Obyektif dimana keindahan itu adalah sifat (kualitas) yang memang telah melekat pada suatu benda indah, yang sama sekali lepas dari siapa yang mengamatinya. Penganut teori ini antara lain, Plato, Hegel, dan Bernard Bosanquet.
b. Teori Subyektif yaitu sifat-sifat indah pada suatu benda sesungguhnya tidak ada. Yang ada hanyalah tanggapan perasaan dari dalam diri si pengamat. Penganut teori ini diantaranya ;
Kebenaran kedua teori tersebut sesungguhnya dapat dikompromikan (teori campuran). Sehingga benang merahnya, bahwa keindahan itu terletak dalam suatu hubungan diantara sesuatu benda dengan alam pikiraan seseorang yang sedang mengamatinya. Dengan kata lain sesuatu itu bisa disebut indah, jika benda itu punya sifat indah dan dikuatkan dengan perasaan seseorang.
Adakah relevansi teori di atas dengan Islam ? Secara redaksional, memang tidak akan ditemukan ayat dan sabda nabi yang membicarakan tentang hakekat seni. Namun secara kontekstual terdapat sejumlah ayat yang dapat menjadi petunjuk tentang bagaimana seni itu dipandang dari perspektif Islam.
Dalam
Artinya :
“ Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun “ ( QS. Al Fathir : 27 – 28 ).
Ayat ini betapa jelas memaparkan suatu keindahan pada benda bernilai obyektif, misalnya keanekaragaman tumbuhan dan hewan yang lengkap dengan segala bentuk dan warnanya. Gunung-gunung yang menjulang tinggi dengan warna putih dan merah serta hitam di atasnya dan juga pada diri manusia yang dapat membangkitkan rasa indah bagi yang mengamatinya.
Berikut ini ayat yang relevan dengan teori subyektif atau teori ekspresi, bahwa keindahan itu berangkat dari perasaan manusia. Allah berfirman dalam
Artinya :
“ Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfaat, dan sebahagiannya kamu makan. Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan “ ( QS. An Nahl : 5 – 6 )
Istilah jamaalun pada ayat tersebut memberikan stressing tentang keindahan yang timbul dari dalam diri orang yang menikmatinya. Dalam konteks ayat di atas membuktikan, ketika melihat binatang ternak rasa indah itu ada. Maka, disinilah tampak betapa keindahan itu ada karena subyektif.
Meskipun demikian, keindahan itu apapun yang jelas manusia punya naluri (fitrah) yang telah dianugrahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya. Dengan fitrahnya itulah manusia terdorong untuk suka pada seni (keindahan) dalam perjalanan hidupnya.
B. Peranan Iptek dan Seni dalam Mengenal Allah
Pada hakekatnya dari segala ilmu (sains) dan seni itu berfungsi menjadi guidance (petunjuk) bagaimana manusia harus hidup taqarab (dekat) dan ma’rifat (mengenal) betul siapa Allah itu ? Tetapi kadang dalam proses mengenal Allah, manusia hanya menerima tanda – tanda yang diberikan-Nya.
Karena itu Abdul Hakim, (1999 : 19) menjelaskan, bahwa yang harus dipahami adalah kata ‘ilmu, ‘alam dan ‘alamah. Dalam Bahasa Arab, kata ‘ilmu satu akar dengan kata ‘alam (bendera atau lambing), ‘alamah (alamat atau pertanda), dan ‘alam (jagad raya, univers). Ketiga perkataan ini –‘ilmu, ’alam, dan ‘alamah – mewakili gejala yang harus di-ma’lum-i, yakni menjadi objek pengetahuan.
Jagad raya mempunyai makna penting bagi manusia karena nilainya sebagai sesuatu yang diciptakan untuk menopang kebahagiaan hidup manusia.
Jagad raya disebut ‘alam karena fungsinya sebagai pertanda kebesaran Allah yang merupakan penyingkap sebagian dari rahasia-Nya. Jadi, jagad raya disebut ‘alam karena ia adalah manifestasi Allah. Maka Allah adalah sumber pengetahuan manusia melalui wahyu lewat para rasul dan nabi yang harus diterima (dengan iman) dan dipelajari.
Hanya saja, tidak semua manusia dapat membaca tanda-tanda yang sudah diberikan Allah. Menurut Atang (dalam Madjid, 1998: 24) menjelaskan bahwa manusia yang akan mampu menangkap berbagai pertanda Tuhan dalam alam raya ialah :
1) ulu al-albab mereka yang berpikir mendalam
2) mereka yang memiliki kesadaran tujuan dan makna hidup abadi
3) mereka yang menyadari penciptaan alam raya sebagai manifestasi wujud transcendental
4) mereka yang berpandangan positif dan optimis terhadap alam raya, menyadari bahwa kebahagiaan dapat hilang karena pandangan negatif-pesimis terhadap alam.
Dengan tanda-tanda yang diberikan Allah kepada manusia, kita secara langsung merujuk kepada Al Qur’an. Dalam
Artinya :
”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan “ ( QS. Al Baqarah : 164 )
Ayat di atas mengilustrasikan, bahwa seluruh kejadian alam ini merupakan ayat-ayat (tanda-tanda) kekuasaan Allah. Dengan demikian, mengenal dan beriman kepada Allah dapat dilakukan melalui tanda-tanda yang diberikan-Nya, melalui diri manusia sendiri, jagad raya, wahyu, ataupun benda-benda lainnya. Semua dapat dijadikan media untuk beriman kepada-Nya.
Simpulnya, bahwa tanda-tanda kekuasaan Allah dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu jagad raya, manusia, dan wahyu (Al Qur’an dan Sunah Nabi). Dari ketiga objek ini, akan tampak ilmu-ilmu yang berbeda-beda tetapi tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Seperti dalam visualisasi berikut:
|
Manusia yang hendak menyingkap rahasia Allah melalui tanda-Nya berupa jagad raya, menggunakan perangkat berupa ilmu-ilmu fisik, seperti ilmu fisika, kimia, geografi, geologi, astronomi, dan falak. Maka manusia akan menyingkap tabir rahasia Allah.
Manusia yang hendak menyingkap rahasia Allah melalui tanda-Nya berupa manusia, akan memunculkan berbagai ilmu. Dari segi fisik, pendalaman terhadap struktur tubuh manusia melahirkan ilmu biologi dan kedokteran. Sedangkan aspek psikis manusia memunculkan ilmu psikologi. Apabila dikaji secara kolektif , kajian terhadap manusia melahirkan sosiologi, ilmu lingkungan, komunikasi, hukum, ekonomi, dan sejarah.
Ketika manusia berusaha menyingkap rahasia Allah melalui tanda-Nya berupa wahyu, muncul ilmu-ilmu keagamaan, seperti ‘ulum al Qur’an, ‘ulum al Hadits, tafsir, fiqih, ilmu kalam, dan tasawuf. Dengan demikian, jalur manapun yang digunakan manusia dalam rangka menyingkap tabir kekuasaan-Nya, akan melahirkan manusia yang semakin dekat kepada Allah.
Paradigma ini sekaligus merupakan jawaban terhadap dikotomi ilmu agama dan ilmu non agama. Pada dasarnya, ilmu agama dan ilmu non agama hanya dapat dibedakan untuk kepentingan analisis, bukan untuk dipisahkan apa lagi dipertentangkan. Pertanyaan besar kemudian adalah bagaimana sebenarnya Iptek dan seni (ipteks) menghantarkan manusia pada pintu gerbang mengenal Allah ? Berikut akan dipaparkan salah satu contoh produk iptek yaitu computer yang dimanfaatkan untuk meneliti kemukjizatan Al Qur’an, dan peranan seni (art) yang Islami dalam kehidupan manusia :
a. Komputerisasi Al Qur’an
Seorang sarjana kimia Mesir, DR. Rasyad Khalifah yang dibantu istrinya Stephanie melakukan research terhadap Al Qur’an dengan menggunakan computer (Hasanuddin Amin, 1982: 27-32). Hasilnya, bahwa huruf – huruf hijaiyah yang terdapat pada awal beberapa surah dalam Al Qur’an adalah jaminan keutuhan Al Qur’an sebagaimana yang diterima oleh Rasulullah SAW. Tidak berlebih dan tidak berkurang satu huruf pun. Kesemuanya habis terbagi 19, sesuai dengan jumlah huruf-huruf Bismillahirrahmanirrahim.
Kalimat ini terdiri dari 4 buah kata (Bi-ism, Allah, Arrahman, dan Arrahim). Kata Ism diulang dalam Al Qur’an sebanyak 19 kali, sedangkan kata Bism diulang sebanyak 3 kali. Di lain pihak kata Arrahman tercatat sebanyak 57 kali atau sama dengan hasil perkalian Ism dan Bism (3 x 19 = 57). Sedangkan kata Arrahim sebagai salah satu asma Allah terdapat sebanyak 114 kali, yaitu sama dengan jumlah seluruh
Secara keseluruhan Bismillahirrahmanirrahim lengkap diulang dalam Al Qur’an sebanyak 114 kali pula, yaitu sama dengan jumlah surat, walaupun ada satu surat dalam Al Qur’an yang tidak dimulai dengan kalimat basmalah, seperti surat At Taubah (surat ke 9). Namun hal itu telah diimbangi dengan dua kalimat basmalah disebutkan dalam
Huruf Qof yang merupakan awal dari surah ke-50, ditemukan terulang sebanyak 57 kali atau 3 x 19. Huruf kaf, ha, ya, ‘ain, shad, dalam
Huruf – huruf tersebut di atas dipakai sebagai fawatihus shuwar (pembuka
Lebih lanjut menurut DR. Khalifah sebenarnya kemu’jizatan Al Qur’an bukanlah terletak pada angka 19 itu, malainkan pada ayat suci Bismillahirrahmanirrahim yang terdiri dari rangkaian 19 huruf abjad, yang kemudian setiap kata dalam ayat tersebut diulang dalam Al Qur’an yang jumlahnya adalah kelipatan dari angka 19.
Apakah itu suatu kebetulan ? Jelas tidak, karena kebetulan itu hanya mungkin terjadi sekali atau dua kali saja. Dan apabila kebetulan itu terjadi sampai tiga kali berturut – turut, maka itu adalah mustahil. Oleh karenanya menjadi jelas pula bahwa secara factual Al Qur’an itu sungguh orisinil firman Allah bukan made in manusia.
Inilah sebuah bukti nyata betapa iptek computer sangat bermanfaat bagi manusia dalam rangka mengenal Allah. Terlebih dewasa ini oleh sarjana – sarjana (ulama) muslim telah mampu membuat program Holy Qur’an dan Al Qur’an Digital dan sejenisnya dengan memanfaatkan teknologi computer. Tentu saja harus disadari betul, bagaimanapun canggihnya teknologi computer tetap hasil karya manusia yang syarat dengan keterbatasan. Maka tidak boleh terlalu kagum dengannya hingga melupakan ciptaan Allah yang Maha Hebat.
b. Seni (keindahan)
Barangkali persoalan yang paling rancu dan rumit yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat Islam, adalah persoalan seni (keindahan). Sehingga banyak orang yang jatuh ke dalam dua sikap berlawanan dalam menyikapi masalah ini ; sikap ekstrem dan ceroboh.
Padahal menurut Yusuf Qordhowi (1998; 13), jika spirit seni adalah rasa keindahan dan ekspresinya, maka ketahuilah bahwa Islam telah menanamkan kecintaan dan cita rasa keindahan itu dalam lubuk hati yang paling dalam pada diri setiap muslim.
Al Qur’an menginginkan setiap mukmin agar menyaksikan keindahan yang terbentang di alam ini. Keindahan yang terhampar di cakrawala ilahi nan menawan , yang diciptakan oleh tangan Sang Pencipta yang membaguskan serta mendesain secara detail segala sesuatu yang ada.
Sebaliknya, ada sebagian orang yang bersikap membuka pintu lebar-lebar untuk kepuasan nafsunya (ceroboh), sehingga ia mengisi seluruh kehidupannya dengan hiburan dan main-main belaka. Mereka meleburkan dinding pemisah antara yang disyariatkan dan yang dilarang, yang diwajibkan dan yang ditolak, antara yang halal dan yang haram.
Ketahuilah, sesungguhnya Islam menghidupkan rasa keindahan dan mendukung kreasi seni, namun dengan syarat-syarat tertentu; syarat yang menjadikan karya seni itu memberi manfaat, bukannya mendatangkan madharat, membangun, bukan malah merusak.
Karena seni merupakan media untuk mencapai suatu maksud (mengenal Allah), maka hukumnya mengikuti maksud tersebut. Jika ia dipergunakan untuk sesuatu yang halal, maka halal pula hukumnya. Sebaliknya, jika ia dipergunakan dalam hal yang haram, maka haram pula hukumnya (Yusuf Qordhowi, 1998: 16). Sebagai contoh dalam fenomena keseharian yaitu seni musik dan seni lukis (fotografi) :
Pertama, nyanyian dan musik. Semua ulama sepakat bahwa hukumnya mubah (boleh), tergantung pada niat pelakunya. Sabda Nabi ; “Innamal ‘amalu bin niyat” (Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya).
Karenanya, kata Yusuf Qordhowi dalam karyanya Al Islamu Wal Fannu (1998 : 43), bahwa “Barangsiapa mendengarkan nyanyian dengan nyanyian untuk membantu dirinya melakukan maksiat kepada Allah, maka ia fasik. Dan barangsiapa mendengarkan nyanyian dengan niat menghibur diri, agar dengan hal itu bertambahlah semangatnya untuk melakukan ketaatan kepada Allah, dan meningkatkan kebajikan, maka dia termasuk orang yang taat dan baik”.
Oleh karena itu pula agar nyanyian dan musik itu tidak menjadi haram (jauh dari mengenal Allah), lebih lanjut Yusuf Qordhowi menegaskan beberapa hal, diantaranya: isi syair tidak boleh jorok dan kotor, penampilan dan
Kedua, gambar fotografi. Adalah maklum bahwa gambar-gambar merupakan sesuatu paling populer saat ini. Sebagaimana makin berkembangnya teknologi digital fotografi. Lalu apa hukumnya ?
Mengutip fatwa Syaikh Muhammad Bakhit, seorang mufti Mesir, Yusuf Qordhowi (1998; 105) menjelaskan, mengambil gambar dengan alat fotografi, dimana ia merupakan proses menangkap bayangan dengan perangkat modern sedikit pun tidak termasuk dalam kategori gambar yang dilarang. Karena pembuatan gambar yang dilarang adalah mencipta gambar, yakni bahwa sebelumnya tidak ada dan tidak tercipta. Sedangkan gambar itu meniru makhluk bernyawa yang Allah ciptakan. Konteks makna ini tidak terdapat pada pengambilan gambar dengan alat fotografi.
Sebuah keniscayaan bahwa tema gambar memiliki pengaruh hukum haram dan halalnya gambar. Tidak seorang muslim pun berbeda pendapat mengenai haramnya gambar apabila temanya bertentangan dengan aqidah, syariat, dan etika Islam. Kerenanya foto wanita telanjang menampakkan aurat wanita, foto yang berpose membangkitkan nafsu birahi sangat jelas keharamannya.
Begitu juga tidak halal hukumnya mengambil, memasang gambar orang-orang kafir, dzalim, dan fasiq yang diagung-agungkan. Padahal jelas-jelas mereka ingkar pada Allah. Jika hal ini dilakukan, maka bukan lagi dapat mengenal Allah tapi justru akan mendapat laknat-Nya.
Jiwa manusia ketika disucikan dan dihias kain kebenaran spiritual, merupakan jenis keindahan tertinggi di dunia ini, yang merefleksikan secara langsung keindahan Tuhan. Bahkan tubuh manusia baik pria maupun wanita merupakan karya seni yang sempurna, merefleksikan asensi keberadaan manusia. Lebih dari itu, tidak ada refleksi Keindahan Ilahi yang lebih nyata di bumi dari pada wajah manusia, dimana keindahan fisik dan spiritual dikombinasikan. Karena itu manusia adalah sebuah karya seni, karena Tuhan merupakan Seniman Tertinggi. Makanya Tuhan disebut sebagai Al Musawwir dalam Islam, yaitu Dia yang menciptakan bentuk-bentuk.
Lewat seni, tradisi menempa dan membentuk lingkungan dimana kebenarannya terefleksi ke segala penjuru, dimana manusia bernafas dan hidup pada alam semesta, berarti bersesuaian dengan realitas tradisi tersebut. Itulah mengapa, dalam hampir setiap masalah yang tercatat dalam sejarah, tradisi telah membentuk dan memformulasikan seni yang suci sebelum mengelaborasi teologi dan filsafat (Hossein Nasr : 296).
Pada akhirnya perlu dibangun sebuah konsep iptek dan seni (ipteks) yang identik dengan iman atau sebaliknya. Orang yang berilmu secara benar dan dibangun melalui pemikiran serta penelitian kritis dengan jiwa seni akan sampai pada suatu titik di dalam wilayah metafisik. Pada puncak wilayah metafisik atau kegaiban inilah keberadaan Tuhan Allah dimana komitmen atas keberadaan Allah akan melahirkan iman.
C. Integrasi Iman, Iptek dan Seni (Ipteks)
Sejarah cukup menjadi saksi bahwa ahli-ahli Falak, Kedokteran, Kimia, Ilmu Pasti dan lain-lain cabang ilmu pengetahuan, telah mencapai hasil yang mengagumkan di masa kejayaan Islam. Mereka itu adalah ahli-ahli dalam bidang tersebut sedang disaat yang sama mereka juga menjalankan kewajiban agama Islam dengan baik. Antara agama dan Iptek tidak mungkin timbul pertentangan, selama keduanya menggunakan metode dan bahasa yang tepat (M. Qurais Shihab,1996: 54).
Agama dan ilmu pengetahuan adalah dua faktor utama yang mempengaruhi perkembangan insani di seluruh taraf-taraf peradaban. Agama adalah suatu reaksi kepada satu gerak batin menuju apa yang diyakini kesuciannya, sehingga menimbulkan rasa hormat dan takzim. Sedangkan ilmu merupakan tumpukan pengetahuan tentang objek alam yang hidup dan yang mati.
Menurut Mahdi Ghulsyani (1994: 68), Ilmu itu laksana lampu kehidupan dan agama adalah petunjuknya. Ilmu-ilmu itu sejatinya juga mencoba untuk menunjukkan kesatuan alam dan menyelidiki Prima Causa benda-benda, dan dengan demikian dapat sesuai dengan perspektif Islam.
Sekarang, segala sesuatu berputar di sekitar poros sains, seni dan teknologi. Oleh karenanya, agar menjadi merdeka dan mandiri, kebijaksanaan Islam harus memperoleh seluruh kemampuan keilmuan dan teknologi yang penting bagi kemandirian dan kemenangan (Mahdi Ghulsyani, 1994: 70).
Dalam perspektif Islam, imanlah yang menjamin penggunaan ilmu dengan tepat. Di dalam Al Qur’an, ilmu dan iman berdiri berdampingan. Firman Allah :
Artinya :
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al Mujadilah : 11).
Dengan demikian, menurut Abdul Hakim (1999 : 18), sumbangan atau peran Islam dalam kehidupan manusia adalah terbentuknya suatu komunitas yang berkecenderungan progresif, yaitu suatu komunitas yang dapat mengendalikan, memelihara, dan mengembangkan kehidupan melalui pengembangan sains. Penguasaan dan pengembangan sains bukan saja termasuk amal saleh, melainkan juga bagian dari komitmen keimanan kepada Allah SWT.
Dalam salah satu seminarnya, Nurcholis Madjid yang dikutip Abdul Hakim (1998: 3-4) menjelaskan tentang hubungan organik antara iman dan sains dalam Islam. Menurutnya, ilmu adalah hasil pelaksanaan perintah Tuhan untuk memperhatikan dan memahami alam raya ciptaan-Nya, sebagai manifestasi atau penyingkapan tabir akan rahasia-Nya.
Jadi, jelas antara iman dan ilmu tidak terpisahkan, meskipun dapat dibedakan. Mengapa ? Karena iman tidak saja mendorong bahkan menghasilkan ilmu, tetapi juga membimbing ilmu dalam bentuk pertimbangan moral dan etis serta estetika dalam penggunaannya. Sehingga tidak ada alasan lagi terjadi penyimpangan dan kekhawatiran penggunaan teknologi yang merusak kehidupan. Apa lagi arogansi ilmuwan yang sangat berlebihan.
Meskipun demikian, ilmu berbeda dari iman sebab ilmu bersandar pada observasi (‘ainul yaqin) terhadap alam dan disusun melalui proses penalaran rasional (aqliyah), sedangkan iman bersandar pada sikap membenarkan atau mendukung pembenaran berita yang dibawa oleh para pembawa berita yaitu nabi dan rasul Allah (Abdul Hakim, 1999 : 18).
Osman Bakar (1994: 11) memaparkan, kesaksian iman, la ilah illa Allah, adalah sebuah pernyataan pengetahuan tentang realitas. Sehingga orang Islam memandang bahwa berbagai sains, seni, ilmu alam, dan ilmu sosial sebagai ragam bukti yang menunjuk pada kebenaran yang paling fundamental dalam Islam. Oleh karena itu semangat ilmiah denga rasa estetik merupakan bagian yang terpadu dari tauhid. Maka, benarlah bahwa semangat ilmiah para ilmuwan muslim mengalir pula dari kesadaran mereka akan tauhid.
Para cendekiawan yang terpukau oleh kebesaran dan kemegahan alam serta keseimbangan dan keteraturan dalam hukum-hukumnya dengan perasaan seni, maka mereka terbawa kembali kepada pandangan tentang Ke-Esaan Tuhan, Tauhid, dimana akal pikirannya mencapai ketenangan. Sesungguhnya melalui penelitian terhadap benda dan pengamatan yang cermat terhadap keajaiban dan rahasianya, seorang cendikiawan akan melihat kemegahan serta keagungan penciptanya. Materi memperagakan tanda-tanda kebesaran Allah kepada manusia yang membuktikan akan keberadaan-Nya, serta membimbing hati, pikiran, dan lidah manusia untuk terampil memuji-Nya dengan segala perasaan art (keindahan).
Konsekuensi dari pemikiran dan penelitian kritis di atas ialah tidak ada iman kecuali mereka yang berilmu, dan tidak ada yang berilmu kecuali mereka berpikir, bersikap, dan meneliti secara kritis. Basis iman ialah ilmu dimana ilmu dan iman disatukan di atas dasar kritis itu sendiri (Mulkhn, 2002: 244).
Seni juga berkaitan dengan pengetahuan, sebanyak manusia harus mengetahui cara alam bekerja sebelum dapat menirunya. Seni pada dasarnya adalah sains, begitu juga sains adalah sebuah seni. Orang yang telah mempelajari seni menjadi sadar akan kehadiran sejumlah sains yang mengesankan, yang memungkinkan adanya seni itu sendiri (Hossen Nasr; ; 306).
Sains tanpa seni akan terasa hampa, tetapi sangat berbahaya jika iptek dan seni (Ipteks) tidak ada roh iman. Sains yang mana seni terkait dengannya, dihubungkan dengan dimensi esoterik dan bukan eksoterik. Manusia sebagai makhluk adalah yang berbuat dan mincipta sesuatu, agama harus melengkapi prinsip dan norma untuk dunia prilaku yang bermoral dan aktivitas penciptaan.
Sehingga menjadi jelas bahwa fungsi keindahan secara duniawi untuk membimbing manusia kembali ke sumber keindahan dunia, yakni kembali pada daerah yang prinsip. Keindahan berarti sarana untuk meraih pengetahuan dan kesucian. Penjelasan signifikan seni Islam yang paling mendalam dapat ditemukan pada karya seperti Matsnawi jalal al Din rumi.
Apabila olah raga merupakan penyegar jasmani, ibadah merupakan penyegar ruhani, dan ilmu pengetahuan merupakan akal pikiran, maka seni adalah penyegar dan santapan bagi jiwa. Jelaslah, bahwa hubungan iman, iptek dan seni merupakan garis – garis yang bertemu membentuk sebuah bangunan segitiga yang harus menyatu (terintegrasi).
D. Keutamaan Orang Yang Berilmu
Salah satu ciri yang membedakan Islam dengan yang lainnya adalah penekanannya terhadap masalah ilmu (sains). Al Qur’an dan As Sunah mengajak kaum Muslim untuk mencari, mendapatkan ilmu dan kearifan, serta menempatkan orang-orang yang berpengetahuan pada derajat yang tinggi. Apresiasi terhdap ilmu itu dapat dilihat dalam firman-Nya :
Artinya :
“ Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan “. (QS. Al Mujadilah : 11).
Karena pentingnya ilmu pula, Al Qur’an menyebutkan perbedaan yang jelas antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu. Sebagaimana terlukis dalam Surat Az Zumar ayat 9 ;
Artinya :
“ Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui ?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran “. ( QS. Az Zumar : 9 ).
Begitu juga nabi memerintahkan umatnya untuk mencari ilmu yang banyak sekalipun di negeri orang. Perintah itu terekam dalam haditsnya
uthlubul ‘ilma walau bis shin” (tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina sekalipun).
Kenapa Cina? Karena saat itu mereka punya kebudayaan dan peradaban yang sudah cukup maju dibanding negeri lain. Sabda nabi yang lain adalah :
“Afdlalun naasil mu’minul ‘aalimul ladzii inihtiija ilaihi nafa’a wa inistughniya ‘anhu aghnaa nafsah”. (Manusia yang terbaik ialah mukmin yang berilmu, jika diperlukan dia berguna. Dan jika tidak diperlukan, maka dia dapat mengurus dirinya sendiri. (HR. Al Baihaqi dari Abi darda’)).
Benarlah, ilmu itu laksana cahaya yang selalu dibutuhkan. Dalam kitabnya Ihya Ulumuddin Al Ghazali (juz I : 49) mendeskripsikan keutamaan orang yang berilmu, “Barang siapa berilmu, membimbing manusia dan memanfaatkan ilmunya bagi orang lain, bagaikan matahari selain menerangi dirinya juga menerangi orang lain. Dia bagaikan minyak kasturi yang harum dan menyebarkan keharumannya kepada orang yang berpapasan dengannya”.
Dengan begitu menjadi gamblang, bahwa ilmu memimpin manusia kepada kebahagiaan, menghibur manusia dalam duka, perhiasan dalam pergaulan, dan perisai terhadap musuh. Maka berbahagialah orang yang menuntut ilmu karena Allah. Sebab sungguh para malaikat akan membentangkan sayap-sayapnya, dan ikan-ikan di laut memohonkan ampunan kepada Allah untuk mereka yang selama perjalanan menuntut ilmu. Demikianlah nabi menjelaskan kemuliaan orang berilmu dalam sabdanya,
“innallaha wa malaaikatahu wa ahlassamawaati wal ardli hattan namlata fii hujrihaa wahattal huuta la yushal luuna ‘alaa mu’alliminnaasil khaira”
(Bahwasanya Allah dan malaikat-malaikatNya serta penghuni langit dan bumi hingga semutpun yang ada di lubang, dan juga ikan di laut, semuanya memohon rahmat untuk orang yang mengajarkan kebajikan bagi manusia. (HR. Turmudzi)).
Abdurrazaq Naufal seperti dikutip Musthofa Anshari (2006: 229) mengatakan bahwa Islam itu agama yang berimu pengetahuan. Bukankah Allah adalah pencipta dan pengajar ilmu pengetahuan kepada manusia. Lihat dalam Qur’an Surat Ar Rahman : 3-4 Allah berfirman :
Artinya :
“Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara“. (QS. Ar Rahman: 3–4)
Hal ini mencerminkan letak kemuliaan manusia dan kemuliaan ilmu itu sendiri. Oleh karenanya ilmuwan itu mulia kedudukannya. Allah sendiri mengistimewakan Adam dan mengunggulkannya dari malaikat karena ilmunya. Bahkan lebih dari itu juga kelebihan pahala di akhirat nanti, berupa dua surga. Dengan ilmu itu pula Allah menempatkan orang berilmu pada peringkat kedua setelah Allah dan malaikat-Nya.
Artinya :
“ Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana “. ( QS. Ali Imran :18 ).
Al Qur’an memerintahkan manusia untuk terus berupaya meningkatkan kemampuan ilmiahnya. Jangankan manusia biasa, Nabi Muhammad pun sebagai Rasulullah diperintahkan selalu berusaha dan berdo’a agar pengetahuannya bertambah. Do’anya dirumuskan Allah sendiri di ujung ayat 114
Artinya :
“Katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan".” ( QS. Thoha : 114 ).
Doa ini perlu senantiasa diucapkan, dimohonkan kepada Allah agar ilmu itu ditambah-Nya, sebab Dialah sumber segala ilmu. Disamping itu perlu ditekankan bahwa manusia memiliki naluri haus pengetahuan, sebgaimana dilukiskan Rasulullah dalam sunnahnya, “
Mengingat pentingnya ilmu, keutamaan ilmu serta kedudukan orang berilmu, maka Rasulullah dalam sabdanya memerintahkan untuk menghormati orang berilmu. Akrim bihim, al ‘ulamaau waratsatul anbiyaai. (”muliakanlah mereka, karena mereka itu adalah pewaris dari nabi-nabi”(HR. Abu Daud, At Turmudzi))
Pesan singkat dari hadits tersebut adalah bila menghormati dan memuliakan orang berilmu berarti memuliakan Rasulullah, dan memuliakan Rasulullah berarti memuliakan Allah SWT. Demikianlah eksistensi orang yang berilmu sebagai waratsatul anbiya’ (pewaris para nabi).
Hanya merekalah orang yang berilmu pengetahuan tinggi yang mampu melihat dan memahami tanda-tanda yang benar dari kebesaran Allah, kemudian memantulkan kembali atas kebesaran-Nya itu dalam bentuk tanggung jawab atas ilmunya.
E. Tanggungjawab Ilmuwan
Islam adalah agama besar terakhir yang lahir di dalam terang sejarah, tak terselubung oleh kabut dongeng dan khayal. Surat Muhammad ibn ‘Abdullah kepada raja Mesir pada jamannya masih tersimpan hingga kini. Dengan demikian mudahlah untuk diuji dan dibuktikan kebenarannya, bahwa Iptek modern lahir dari kandungan Islam. Islamlah yang menemukan metode ilmiah yaitu metode empirik induktif dan percobaan yang menjadi kunci pembuka rahasia-rahasia alam semesta, yang menjadi perintis modernisasi Eropa dan Amerika.
Lalu, siapa mereka yang telah mengukir sejarah kebangkitan Islam dalam berbagai disiplin ilmu (sains) tersebut ? Berikut beberapa daftar nama ilmuwan dan hasil karyanya (Poeradisastra, 1986: 119-138) :
Tabel 1. Nama-nama ulama atau cendikiawan muslim
No | Nama | Nama Latin | Karyanya dalam Terjemahan |
1 | Abu Abas Alfarghani | Alfraganus | Pengantar Kepada Ilmu Bintang |
2 | Abu Ali Al Haitsam | Alchazen | Kamus Optika |
3 | Jabir Ibn Hayyan | Geber | Ilmu Kimia |
4 | Yuhana Ibn Masawayh | Mesue Major | Aksioma-Aksioma Kedokteran |
5 | Al Battani Abu Abdullah | Albatenius | Tabel Bintang Sabiah |
6 | Al Farabi Abu Nashr | Alpharabius | Katalogus Ilmu Pengetahuan |
7 | Ali ibn Isa | Jeru Haly | Catatan bagi Dokter Mata |
8 | Qasim Ibn Yusuf Ibn Nashri | Qanii | Penuntun Pertanian |
9 | Zakariyya Ar Razi | Razes | Penemu Air Raksa, Cacar |
10 | Al Uqlidisi | | Ahli Matematika (pecahan decimal) |
11 | | Arzachel | Alat Pengamatan Bintang |
12 | | Abulcasis | Ilmu Bedah |
13 | Ath Thusi | | Ikhtisar Ilmu Hitung |
14 | Ahmad Ibnu Rusyd | Averroes | Persesuaian Filsafat dan Agama |
15 | Muhammad Al Ghazali | Algazel | Kimia Kebahagiaan |
dst | | | |
Mencerdasi dari nama-nama tabel di atas, memberikan visualisasi yang jelas betapa mereka adalah para alim atau ulama yang berarti orang yang mengetahui, pandai atau disebut juga cendekiawan, yang bukan saja khusyuk beribadah tetapi juga rajin mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, terjawab bahwa sebenarnya ulama’ itu bukan saja mereka yang pintar pada disiplin ilmu agama, tetapi mereka yang menguasai ilmu pengetahuan atau “sarjana-sarjana” lain pun boleh disebut dengan ulama’.
Bicara ‘ulama’, cendekiawan, sarjana, ataupun ilmuwan harus berusaha menjadikan ilmunya dan dirinya bermanfaat bagi dirinya dan lingkungannya. Sebab kecendekiaan menurut Ahmad Fadillah (1996: 55) tidak hanya untuk dinikmati, tetapi melekat dengan tugas sosial engineering, tujuan-tujuan bangsa; atau secara pragmatis dituntut untuk berada secara dekat dengan persoalan-persoalan praktis masyarakatnya.
Bahkan, ilmu oleh wahyu pertama Al Qur’an (iqra), telah dikaitkan dengan bismi rabbika. Maka ini berarti bahwa ilmu tidak dijadikan untuk kepentingan pribadi, regional atau nasional, dengan mengorbankan kepentingan-kepentingan lainnya. Ilmu harus dapat memberikan manfaat kepada pemiliknya, warga masyarakat dan bangsanya. Juga kepada manusia secara umum. Ia harus membawa kebahagiaan dan cahaya ke seluruh penjuru dan sepanjang masa (Qurish Shihab, 1996: 64).
Benang merah dari pernyataan di atas adalah bahwa ilmuwan itu memiliki tanggung jawab dalam mengaplikasikan sekaligus memantulkan kembali ilmunya kepada segenap umat untuk sesuatu yang mendatangkan kemaslahatan. Paling tidak menurut Musthofa Anshori, (2006: 231) mengutip pendapatnya Sardar dalam bukunya Sain, Teknologi, dan Pembangunan di Dunia Islam ada tiga buah tanggung jawab yang dipikulnya yaitu : Pertama, terhadap dirinya sendiri guna menyempurnakan hidupnya (lahir-batin, dunia-akhirat). Kedua, terhadap masyarakat dan lingkungannya. Artinya mengubah, menuntut, dan membentuk suatu masyarakat sesuai dengan pandangan dan pengetahuannya. Ketiga, terhadap perasaan-perasaan batinnya, yakni perasaan yang menentukan hal-hal manakah yang bermanfaat.
Di dalam Al Qur’an dan Sunnah Nabi sangat jelas bagaimana orang yang berilmu (sarjana) itu dituntut akan tanggungjawab atas ilmunya. Lihat saja Firman Allah Surat At Taubah ayat 122 :
Artinya :
“ Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke
Ayat di atas menjelaskan tanggungjawab ilmuwan, setelah selesai merampungkan studi dan kembali ke kampungnya untuk mengajarkan ilmu yang ia peroleh. Begitu pula dalam firman Allah Surat Ali Imran ayat 187. Ini menjadi dasar hukum dan dalil bahwa mengajarkan ilmu itu wajib dan menyembunyikannya sangat dilarang.
Artinya :
“ Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya," lalu mereka melemparkan janji itu kebelakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruknya tukaran yang mereka terima “. ( QS. Ali Imran : 187 ).
Sementara itu menurut Rasul, orang yang besar adalah orang yang berilmu kemudian mengajarkan ilmunya. Inilah sebagai bentuk tanggungjawab seorang ilmuwan. Sabda Nabi SAW : “Man ‘alima wa ‘amila wa ‘allama, fadzaalika yud’aa ‘adhiiman fii malakuutis samaawat” (Barang siapa berilmu dan beramal serta mengajar, maka orang itu disebut “orang besar” di segala petala langit)
Menilik hadits yang lain, nabi juga memperingatkan kepada orang yang berilmu agar tidak menyembunyikannya. Karena hal itu akan diadzab Allah. Selengkapnya hadits itu adalah : “Man ‘alima ‘ilman fakatamahu aljamahullahu yaumal qiyaamati bilijaamin min naar”, dan beliau juga yang artinya
Barangsiapa mengetahuai sesuatu ilmu, lalu menyembunyikannya, maka ia dikenakan oleh Allah kekang, dengan kekang api neraka, pada hari kiamat (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Disamping itu pula, At Thabrani meriwayatkan bahwa nabi pernah menerangkan siapa manusia yang baik, yaitu yang bermanfaat bagi orang lain. “Khairun naas an fa’uhum lin naas” (sebaik-baik manusia adalah yang lebih bermanfaat bagi orang lain)
Berpijak dari beberapa ayat dan hadits di atas, terlebih mereka (ilmuwan) memiliki laqab (julukan) seperti ; Ulil Abshar, Ulin Nuha, Ulul Albab, dan Ulul ‘Ilmi, dapat ditarik kesimpulan, bahwa keilmuan dan kealimannya memiliki tawazun, balance (keseimbangan) antara ideologis dan moral sosial. Dengan istilah yang lebih ramping mereka itu adalah intelektual tapi bermoral.
Akhirnya sebagai waratsatul anbiya’ (pewaris para nabi), mereka harus mewarisi mission prophetic atau misi kenabian. Menjaga agama dan mengatur dunia. Pertama, mengajak sesama untuk ber-fastabikul Khairat (berlomba-lomba dalam kesalihan), beramar ma’ruf nahi munkar, memotivasi, membimbing, memberikan contoh, dan mengajak beriman dan beribadah kepada Allah SWT. Kedua, memperbaiki, menjaga, dan melestarikan kondisi sosial budaya masyarakat agar tercapai suatu kehidupan yang quality of life (kehidupan yang bahagia dan sejahtera) sekaligus negara yang baldatun toyibatun wa rabbun ghofur (negara yang baik sejahtera aman sentosa dan mendapat ampunan). Oleh karena itu bila ada ilmuwan yang intelektual tapi tidak bermoral. Apalagi kepintarannya untuk kepentingan sendiri tidak diproyeksikan ke sosial, lebih-lebih digunakan untuk membawa bencana bagi orang lain, maka ia bukan disebut sebagai ilmuwan ataupun ‘ulama’ sejati.
Latihan
1. Jelaskan apa yang dimaksud ilmu pengetahuan ?
2. Mengapa teknologi bersifat netral ?
3. Bagaimanakah Islam memandang seni musik dan fotografi ?
4. Jelaskan hubungan teknologi dengan sains ?
5. Sebutkan siapa saja manusia yang mampu menangkap berbagai pertanda Tuhan dalam alam raya !
6. Jelaskan cara manusia menyingkap rahasia Allah melalui jagad raya, manusia, dan wahyu !
7. Mengapa iman, iptek dan seni harus diintegrasikan ?
8. Tuliskan dalil naqli tentang keutamaan orang berilmu diangkat derajatnya!
9. Jelaskan keutamaan orang yang berilmu itu !
10. Apa yang dimaksud ‘ulama’ waratsatul anbiya’ ?
11. Sebutkan
12. Siapakah yang disebut ulama itu, jelaskan ?
13. Jelaskan tanggung jawab ilmuwan terhadap ilmu yang diperolehnya ?
14. Tuliskan dalil naqli ancaman bagi orang yang berilmu tetapi tidak mau mengamalkannya !
15. Bagaimana pendapat saudara jika ada orang yang intelektual tapi tidak bermoral ?
DAFTAR PUSTAKA
Fadhillah, Ahmad: 1996, Cendekiawan dan Tugas Penyadaran dalam Kebebasan Cendekiawan Refleksi Kaum Muda, Bintang Budaya,
Lidinillah, Mustofa Anshori, dkk; 2006, Pendidikan Agama Islam Buku Teks Untuk Perguruan Tinggi Umum, Filsafat UGM,
Qordhowi, Yusuf; 1998, Al Islamu Wal Fannu, Penterjemah Wahid Ahmadi, dkk, Islam Bicara Seni, Intermedia, Solo.
Amin, Hasanuddin; 1982, Mu’jizat Al Qur’an diteliti dengan Komputer (Majalah Al Jami’ah), IAIN Sunan Kalijaga,
Shihab, Quraish; 1996, Membumikan Al Qur’an, Mizan,
Ali, Mohammad Daud; 2000, Pendidikan Agama Islam, PT Raja Grafindo Persada,
Al-Ghazali, Asy-Syekh Muh; 1994, Ihya’ Ulumuddin Jilid I, Penterjemah Ismail Ya’qub, CV Faizan,
Poeradisastra; 1986, Sumbangan Islam Kepada Ilmu & Peradaban Modern, P3M,
Hakim, Atang Abdul, dkk; 1999, Metodologi Studi Islam, PT Remaja Rosdakarya,
Mulkhan, Abdul Munir; 2002, Nalar Spiritual Pendidikan Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam, PT Tiara Wacana,
Ghulsyani, Mahdi; 1994, The Holy Quran and The Sciences of Nature, Penterjemah Agus Effendi, Filsafat-Sains Menurut Al Quran, Mizan,
Rahman, Afzalur; 2000, Quranic Science, Penterjemah H.M. Arifin, Al Qur’an Sumber Ilmu Pengetahuan, Rineka Cipta,
Alisjahbana, Sutan Takdir, dkk; 2001, Sumbangan Islam Kepada Sains & Peradaban Dunia, Nuansa Cendekia,