M O R A L
Standar Kompetensi
Setelah membaca bab ini mahasiswa diharapkan mampu:
1. Mengerti tentang pengertian moral, susila, etika, dan akhlak
2. Mengeti tentang persamaan dan perbedaan moral, susila, etika, dan akhlak
3. Mengerti tentang sumber moralitas atau al-akhlaqulkarimah
4. Mengerti, mau dan mampu merealisasikan dirinya untuk menjadi seorang moralis atau ber-akhlaqulkarimah dan menjalani hidup dan kehidupan ini
A. Pengertian Moral, Susila, Etika, dan Akhlak
Kata moral berasal dari bahasa Latin mores yang berarti kebiasaan (Daud Ali,2005:353). Moral juga berarti ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, dan kewajiban (Kamus Besar, l990: 592). Dengan pengertian semacam ini moral berfungsi sebagai standart ukuran suatu perbuatan itu baik atau buruk menurut adat istiadat atau pandangan umum suatu masyarakat, jadi bersifat lokal.Sesuatu dikatakan baik menurut adat istiadat di Minangkabau Sumatera belum tentu baik menurut adat istiadat di jawa Tengah. Setiap kelompok masyarakat yang mendiami suatu wilayah memiliki adat istiadat sendiri-sendiri, dengan demikian juga memiliki standart moral sendiri-sendiri pula.(Asmaran,l994:4). Moral memang bersifat lokal.
Searti dengan moral adalah etika. Etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti kebiasaan, bisa kebiasaan baik atau kebiasaan buruk (Daud Ali, 2005:354). Akan tetapi antara moral dan etika ada perbedaannya. Etika lebih dipandang sebagai ilmu atau filsafat (Mustofa,ed.,2006: 256). Disebutkan bahwa etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk serta tentang hak dan kewajiban moral (Kamus Besar, l990: 236). Dengan demikian standart baik dan buruk ditentukan akal sehat dari sang filosof atau ilmuwan, bukan adat istiadat sesuatu masyarakat.
Di dalam bahasa Jawa dikenal istilah susilo (dalam ejaan bahasa Indonesia menjadi susila) dan berarti sopan, baik perilakukunya, atau memiliki tatakrama (Mangun Suwito, 2002:142). Bersusila identik dengan moralis, artinya orang yang baik perilakuknya, orang sopan, dan orang yang memiliki tatakrama, dalam bahasa Jawa disebut memiliki ungggah-ungguh. Moralis atau susila jika dikaitkan dengan etika laksana fondasi dan bangunan.Etika sebagai ilmu atau filsafat menjadi landasan berperilaku untuk menjadi manusia moralis. Etika identik dengan potensi dan moral atau susila sebagai aktualisasinya.
Berdekatan dengan term moral, etika, dan susila, dalam Islam dikenal istilah akhlaq (dalam ejaan bahasa Indonesia menjadi akhlak). Akhlak menjadi salah satu kerangka dasar Islam di samping aqidah dan syari’ah (Daud Ali, 200:l33). Dengan demikian akhlak menempati posisi penting di dalam Islam. Nabi Muhammad mengaku:
انما بعثت لاتمم مكا ر م الاخلا ق ( ا لحد يث )
Artinya:
(Aku di utus hanyalah untuk menyempurnakan kemulyaan akhlak : al-Hadis)
Kata akhlak merupakan bentuk jamak dari kata khuluq dan berarti tingkah laku, perangai, dan tabiat (Djatnika,1987:25). Secara etimologis akhlak berarti kekuatan jiwa yang mendorong perbuatan secara spontan tanpa dipikirkan terlebih dulu (Ibnu Maskawaih, l329 H: l5). Dengan demikian akhlak berarti kualitas pribadi yang telah melekat pada jiwa. Apabila dorongan itu menurut akal maupun agama dikatakan baik, maka akhlaknya dikatakan baik pula. Ia disebut orang yang memiliki akhlakularimah. Sebaliknya, jika dorongan jiwa yang melahirkan perbuatan buruk, maka perbuatan itu disebut ber-akhlaq al-mazmumah (Mustofa, ed.,2006:256).Dalam bahasa jawa, akhlak berarti budipekerti.Orang yang selalu berbuat baik disebut berbudi bowo leksono (orang yang berbudi luhur), dan orang yang selalu berbuat jelek disebut berbudhi candholo (orang yang budi pekertinya jelek).
Baik buruk akhlak didasarkan pada sumber nilai (Ibrahim, l979:124), dalam hal ini akhlak identik dengan filsafat tingkah laku. Hanya saja sumber nilai akhlak didasarkan pada Alquran dan Hadis Nabi Muhammad. Di sinilah letak perbedaan antara etika dengan akhlak. Pertimbangan baik buruk dalam akhlak didasarkan pada wahyu, sementara etika didasarkan pada rasio, dan moral didasarkan pada kesepakatan bersama yang bersifat lokal.
B. Ruang Lingkup
Moral, etika, maupun akhlak sungguhpun berbeda dari segi titik tolak penilain ,namun ketiganya adalah sama-sama menjelaskan mengenai baik dan buruk suatu perbuatan manusia. Dengan demikian, ruang lingkup moral, etika, susila, dan akhlak (selanjutnya cukup disebut moral mengikuti aturan formal dari DIKTI) adalah ajaran baik dan buruknya suatu perbuatan manusia, bagaimana supaya manusia mau berbuat baik, dan bagaimana supaya manusia tidak mau berbuat tidak baik dalam semua lapangan kehidupan.
Manusia sebagai makhluk yang bermobilitas tinggi, di manapun ia pasti berbuat. Di saat ia berbuat, ia dapat diteropong dari segi baik atau buruk perbuatannya.Tidak ada satu pun yang lolos dari penilaian baik atau buruk. Dalam hal ini Allah berfirman:
Artinya :
“ Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan) nya pula“. (QS. Az Zalzalah: 7-8 )
C. Agama sebagai Sumber Moral
Alquran dan Assunnah adalah sumber petunjuk bagi manusia,
Artinya :
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)“. (QS. Al Baqarah : l85 ).
Artinya :
“ Sebelum (Al Quran), menjadi petunjuk bagi manusia, dan Dia menurunkan Al Furqaan. Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah akan memperoleh siksa yang berat; dan Allah Maha Perkasa lagi mempunyai Balasan (siksa) “. ( QS. Ali Imran : 4 ).
atau para hambanya yang takwa kepada-Nya atau muttaqin. Dalam hal ini Allah berfirman:
Artinya :
“ Alif laam miin. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa “. ( QS. Al Baqarah : l - 2 ).
Salah satu bagian dari kehidupan adalah moral. Dengan demikian perbuatan manusia itu ketika diniali baik atau buruk, sumber penilaian itu haruslah dari Alquran dan Assunnah. Artinya Alquran dan Assunnah menjadi sumber nilai perbuatan manusia. Pengertian sumber nilai tidak hanya suatu perbuatan itu dinilai baik atau buruk, melainkan juga menjadi acuan untuk berbuat sesuai dengan yang dikatakan baik oleh Alquran dan assunnah, dan berdiam diri tidak melakukan sesuatu karena Alquran dan Assunnah mengatakannya tidak baik.
Orang tidak boleh mabuk-mabukan dan berjudi karena keduanya adalah perbuatan setan yang berarti buruk.
Artinya :
“ Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan “. ( QS. Al Maidah : 90 ).
Orang disuruh hanya memakan makanan yang halalan thayyiban) karena itu adalah baik.
Artinya :
“ Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu “. (QS. Al Baqarah : l68).
Di Dalam Alquran sedemikian banyak, bahkan tak terhitung apa saja yang dikatakan baik dan apa saja yang dikatakan buruk. Perbedaan baik dan buruk, halal dan haram, hak dan batal dijelaskan kriterianya masing-masing oleh Alquran. Itulah sebabnya Salah satu dari nama Alquran - di samping nama-nama yang lain - adalah al-furqan.
Salah satu kriteria sesuatu dikatakan tidak baik karena akan berekibat dosa dan tempat kembalinya ke neraka, sedangkan yang baik akan mendapatkan pahala dan tempat kembalinya adalah surga dan ampunan Allah. Contohnya adalah seorang muslim kawin dengan wanita musyrik atau seorang muslimah kawin dengan laki-laki musyrik , baik laki-laki maupun wanita musyrik, keduanya mengajak ke neraka. Jika seorang muslim hanya kawin dengan wanita muslimah, perkawinan itu diajak oleh Allah kepada ampunan-Nya dan surga. Demikian firman Allah:
Artinya :
“dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran“. ( QS. Al Baqarah : 221 ).
Karena Alquran dan Assunnah sebagai sumber akhlak, setiap muslim untuk bisa berakhlakulkarimah, pertama-tama harus mengetahui setiap yang dikatakan baik dan buruk oleh Alquran maupun Assunnah. Alquran terdiri atas 30 juz (bagian). Setiap juz terdiri ata 9 lembar. Setiap lembar terdiri atas 2 halaman. Setiap halaman terdiri atas sejumlah ayat. Setiap ayat terdiri atas satu hingga sejumlah informasi atau petunjuk. Melalui kegiatan pemahaman atau tafsir dapat diketahui maknanya mengandung kualitas baik atau buruk, dosa atau pahala, manfaat atau madarat, hak atau batal, surga atau neraka sebagai balasan pelaku kandungan makna tersebut.sementra itu Assunnah lebih banyak lagi.
Naskah kitab-kitab hadis lebih tebal daripada Alquran. “Shahih al-Bukhari” terdiri atas 99 kitab (dalam arti bab), Shahih Muslim terdiri atas 54 bab, Sunan Abu Dawud terdiri atas 40 bab, Suinan at-Turmuzi terdiri atas 47 bab, Sunan Nasai terdiri atas 51 bab, Sunan Ibnu Majah terdiri atas 38 bab, Sunan ad-Darimi terdiri atas 24 bab, Muwatta’ Malik terdiri 56 bab (Syuhudi Ismail, l99l:85-94). Setiap bab terdiri atas sejumlah (secara umum banyak) sub bab. Setiap sub bab terdiri atas sejumlah hadis. Setiap hadis terdiri atas sejumlah informasi atau petunjuk. Selain yang telah disebutkan ini masih ada kitab-kitab hadis lain yang bersifat induk seperti Musnad Imam Ahmad bin Hanbal. Kitab ini terdiri atas 6 jilid tebal, yang secara keseluruhan mengandung l0.000 hadis. 9000 hadis lebih dalam kitab ini termasuk hadfis sahih yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum atau pedoman dalam beragama.
Ketidaktahuan apa yang dikatakan baik atau buruk oleh Alquran maupun Assunnah menyebabkan ketidaktahuan pula perbuatan (perasaan, pikiran, keyakinan, maupun perbuatan fisik) yang dilakukan itu baik atau buruk, masuk kategori akhlaqul karimah atau akhaqul mazmuihah. Persoalannya adalah, seberapa banyak yang sudah diketahui yang termasuk baik dan yang termasuk buruk menurut Alquran dan Assunnah, dan seberapa banyak pula yang diketahui baik telah menjadi tabiat seorang muslim. Dari sinilah setiap muslim telah dapat diukur atau mengukur dirinya sendiri telah termasuk ber-akhlaqul karimah atau belum, masih jauh dari kriteria itu atau telah mendekatinya, secara umum termasuk orang yang ber-akhlaqul karimah atau termasuk orang yang ber-akhlaqul mazmuhah. Di sinilah sekali lagi arti penting pengakuan Nabi :
انما بعثت لا تمم مكا رم الا خلا ق - الحد يث
Artinya:
(Aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemulyaan akhlak- al-Hadis).
Langkah selanjutnya menyatakan komitmen atas dasar keyakinan “keharusan” untuk menjadi orang baik, orang bermanfaat, orang yang ber-akhlaqul karimah. “Aku harus berbuat baik”, “Aku berhenti menjadi orang jahad”, “Aku harus bermanfaat bagi orang lain”, “Aku tidak pernah akan merugikan orang lain”. Supaya komitmen itu memiliki energi sehingga mampu melahirkan perbuatan konkrit, maka harus didasari argumentasi rasional atau bukti bahwa orang yang tidak baik, orang jahad, orang yang ber-akhlaqul mazmumah ternyata merugikan orang lain, bahkan juga merugikan dirinya sendiri.
D. Akhlak Mulia Dalam Kehidupan
Kita sebagai bangsa
Untuk mengubah dari citra kerdil moral atau bahkan amoral ke moralis harus ada gerakan moral dari seluruh komponen bangsa. Sejak dulu, konon bangsa kita adalah bangsa religius. Apapun agama yang dipeluk oleh bangsa Indonesia: Hindu, Budha, Nasrani, Islam, dan Konghucu, para tokoh agamanya supaya menjadikan skala prioritas memberikan pencerahan kepada masing-masing umatnya pada kandungan ajaran moralatau akhlak baik (l) akhlak kepada Allah atau yang dipertuhan, (2) akhlak kepada manusia mencakup (dalam Islam Rasulullah) pembawa ajaran agama, orang tua, kerabat dekat atau yang lainnya, kepada diri sendiri, tetangga, dan masyarakat umum, (3) akhlak terhadap makhluk hidup non manusia (binatang), dan (4) akhlak terhadap lingkungan hidup (Daud Ali,2005:356-359), mengemas kandungan ajaran atau reinterpretasi terhadapnya dengan tampilan yang santun dan tidak menimbulkan sentimen agama, mengedepankan ajaran toleransi dan mengasihani terhadap pemeluk agama lain.
Baik secara umum atau global maupun detail atau rinci, dalam semua bidang kehidupan Islam menghendaki harus baik. Untuk diktum yang pertama Allah berfirman:
Artinya :
“Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku Amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)“. ( QS. Hud : 61 ).
Kebaikan yang diajarkan Islam tidak hanya terbatas didunia, melainkan mencakup kehidupan akhirat. Tuntunan doa untuk ini sebagaimana firman Allah:
Artinya :
“ dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan Kami, berilah Kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah Kami dari siksa neraka ". ( QS. Al Baqarah : 20l ).
Untuk diktum yang kedua, Allah berfirman:
Artinya :
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula“. (QS. Az-Zalzalah: 7–8)
Di antara dua kutub moralitas global dan detail manusia diberi kebebasan untuk mengapresiasi diri, berlomba, berangan-angan, bercita-cita, bertutur kata, dan berbuat yang baik. Allah berfirman :
Artinya :
“ dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek “. ( QS. Al Kahfi : 29 ).
Artinya :
“Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan“. ( QS. Al Baqarah : l48 )
Semakin seseorang berpacu ke arah kebaikan dan dapat mengaktualisasikannya ke dalam kehidupan praktis, ia akan memperoleh predikat muhsinin. Allah berfirman:
Artinya :
“ ......dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik “. ( QS. Al Baqarah : l95 ).
Orang-orang seperti ini akan dimulyakan Allah. Yang paling mulya kedudukannnya di antara para muhsinin adalah yang paling takwa diantara mereka. Allah berfirman:
Artinya :
“ Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu “ . ( QS. Al Hujarat : l3 ).
yaitu tipologi orang yang dalam hidup dan kehidupannya senantiasa berusaha berbuat baik, berlomba dalam kebaikan, sekuat tenaga menghindari kejahatan (fahsya’ wal munkar), dia itulah orang yang ber-akhlaqul karimah.Di dalam literatur klasik Islam, orang semacam ini disebut insan kamil (manusia sempurna)
Memiliki tujuan apapun harus berani mencoba, melangkah, dan merealisasikannya. Tanpa ketiga hal ini hanya akan menjadi khayalan belaka. Selain itu, rasa takut harus hanyalah kepada Allah semata. Iqbal mengatakan dalam syairnya (Iqbal, l976:37)
Biarlah cinta membakar semua keraguan dan syakwasanggka
Hanyalah kepada Yang Satu (Allah, pen) kau tunduk
Agar kau menjadi singa
Ia juga mengatakan:
Darma bhakti sang berani ialah kepada Tuhan
Dan tak mau takut
Singa Allah tak mau jalan serigala kesasar
Maksud syair itu adalah jika seseorang telah menjatuhkan diri iman kepada Allah, Dia dijadikan sebagai satu-satunya jalan kebenaran. Rintangannya atau sesuatu yang menggiurkan apapun tidak dihiraukan. Ia tidak takut cemoohan kawan atau lawan, tidak takut dengan situasi politik yang kurang menguntungkan, tidak kecewa dikatakan tidak gaul, tidak melenceng tujuannya karena berbagai godaan yang menggiurkan yang melalaikan dari tujuan kebenaran. Untuk itu, Iqbal menulis (Iqbal,l976:68)
Menjilat, khianat, hasad, dan tipu muslihat
Semua bersumber dari rasa takut
Segala kejahatan yang tersembunyi
Dan besangkar di hati
Baik-baik lah kauingat !
Semua bermula dari rasa takut
2. Toleransi dan Melarang Sukuisme Berlebihan
Semangat Islam adalah rahmatan lil’alamin, tidak mau berkompromi dengan kualitas kufar, nifaq, dan syirik yang memusuhi Islam.
Artinya :
“ dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam “. ( QS. Al Anbiya’ : l07 ).
Semua makhluk dan lingkungan hidup diperlakukan ramah (Iqbal,l982:xiv):
Amatlah salah mengatakan kata “buruk !”
Kafir dan mukmin sama-sama ciptaan Allah
Kemanusiaan berarti menghormati manusia
Tumbuhkan dalam dirimu kejayaan insani !
Hamba yang bercinta mencari taufiq dari Tuhan
Dia ramah kepada kafir dan yang beriman
Bersamaan dengan itu, Islam sebenarnya melarang sukuisme berlebihan. Satu dengan yang lain, kelompok yang satu dengan kelompok lainnya justru supaya saling mengenal, bekerja sama, dan saling menghormati.
Artinya :
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal “. ( QS. Al Hujarat : l3 ).
Syair berikut menyebutkan (Iqbal, l976:45):
Menyombongkan nenek moyang adalah suatu kejahatan
Leluhur hanya mengenai tubuh, tubuh itu fana
Millat kita berlainan dasarnya
Rahasianya terpendam dalam hati sanubari kita
3. Kasbi Halal dan tidak Meminta-minta
Islam mengajarkan kepada umatnya agar mencari karunia Allah dengan cara yang halalan thayyiban, membelanjakannya dengan cara yang ma’ruf , tidak boros(israf) dan tidak pelit (bakhil), dan hidup sederhana (zuhud). Orang boleh kaya, tetapi tetap hidup sederhana. Jika miskin jangan mengemis-ngemis seperti ngamen di jalanan atau door to door. Umar bin Khatab, seorang pemimpin agung, suatu saat pedangnya jatuh. Ia turun dari kendaraannya lalu memungutnya kembali secara pribadi, tidak menyuruh ajudan maupun prajurit pengawalnya.Sibli Nu’mani menulis : Kajilah Umar ! Saudara akan menemui bahwa ia sekaligus Alexander yang agung dan Aristoteles, Mesiah dan Sulaiman, Timur Lang dan Ainnusirwan, Abu Hanifah dan Ibrahim ‘Azam. Semuanya terpadu menjadi satu (Iqbal,l976:36). Maksud kutipan itu menjelaskan bahwa pribadi menyatukan sifat-sifat sang penakluk, tetapi berhati lembut, sederhana, di samping amat genius.
4. Kerja Kreatif dan Orisinal
Suatu bangsa tak
Demean not thy personality by imitation
Guart it, as it priceles jewel
One who does not posses creative power
To us it naught an infidel and haratic
(Jangan hinakan pribadimu dengan tiruan
Jagalah padanya laksana pribadimu intan tak terniali
Setaiap orang yang tak kuasai mencipta
Ia lah orang yang tak beriman dan zindiq belaka)
Yang dimaksudkan zindiq adalah pemeluk agama Majusi, agama
5. Cinta dan menjauhi Sikap Memperbudak
Yang dimaksud dengan cinta adalah mencintai kebenaran, mencintai Allah, cinta kasih kepada sesama makhluk sebagai penghayatan dan penjilmaan ar-Rahman ar-Rahim. Demikian Iqbal menulis sajak (Iqbal, l975: 58):
When the self made strong by love
Its power rules the whole world
The heavenly sage who adorned the sky with star
Flucked these buds from the bough of the self
Its hand becomes God’s hand
The moon is split by its fingers
Its the arbitrator in all the quarreles of the world
(Bila pribadi diperkuat dengan Cinta
Tenaganya menguasai dunia semesta
Langit menguasai angkasa dengan bintang-bintang
Tangannya menjadi tangan Tuhan
Bulan pecah oleh jari-jemariNya
Dia lah pelerai dalam semua sengketa dunia)
Jika seseorang tidak memiliki rasa cinta sebagaimana disebutkan dalam syair di atas sebenarnya ia adalah ateis (Syafii Maarif,l983:9), tetapi bila menghiasi diri dengan cinta laksana Nabi Muhammad saw. “Ia tidur di atas ilalang, tetapi di bawah telapak kaki umatnya terhampar mahkota kaesar (Iqbal,l976:47).
Jika kita bisa mengaktualisasi konsep menuju manusia sempurna menurut sang sufi, filosof, seniman, politus sejati, dan muslim yang taat, Mohammad Iqbal dari
Latihan
1. Apa yang dimaksud moral, susila, etika, dan akhlak ?
2. Apa perbedaan dan persamaan diantara moral, susila, etika dan akhlak ?
3. Jelaskan bagaimana setiap pemeluk agama apapun di
4. Jelaskan ruang lingkup akhlak menurut ajaran Islam sebagaimana tertuang dalam Alquran dan Assunnah !
5. Sudah berapa point perintah-perintah Allah sebagaimana tertulis dalam kitab suci yang sudah saudara ketahui ? Dari yang sudah saudara ketahui, sudah berapa point yang sudah dapat saudara lakukan secara istikomah ? dan berapa point yang saudara lakukan tetapi belum istikomah ?
6. Sudah berapa point larangan Allah sebagaimana termaktub dalam Alquran yang sudah saudara ketahui ? Berapa point larangan tersebut yang sudah saudara tinggalkan dan yang masih saudara lakukan ?
7. Apakah saudara sudah mengetahui semua larangan dan perintah Allah sebagaimana termaktub dalam Alquran dan Assunnah ? Kalau belum apa rencana saudara ? kalau sudah bagaimana saudara mengapresiasinya ?
8. Jelaskan akhlak umum bangsa
9. Bersediakah saudara berlomba dalam kebaikan ? Kalau tidak mengapa ? Kalau ya mengapa ? Dan kalau ya bagaimana persiapan saudara ?
10. Jelaskan secara rinci konsep Mohammad Iqbal untuk mencapai predikat insan kamil ! maukah sudara mencoba ?
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
Ali, Mohammad Daud, Pendidikan Agama Islam.
Djatnika, Rahmat, Sistem Ethika Islam,
Ibnu Maskawaih, Tahzib al-Akhlaq wa Tathir al-Auraq, Mesir: al-Husainiyyah,
l329 H.
Iqbal, Mohammad, Asrar-i Khudi (trans.) R.A. Nicholson: The Secrets of the Self ,
---------------Asrar-i Khudi (tans.) Bahrum Rangkuti: Rahasia-Rahasia Pribadi:
Ismail, M.Syuhudi, Cara Praktis Mencari Hadis,
Kraar, Louis, “The Powers of Asia”, dalam Readers Digest (edition of
52 no.309, Desember l988.
Lidinillah, Mustofa Anshari (edit.), Pendidikan Agama Islam,
M.Maarif, Ahmad, dan Diponegoro, Muhammad, Percik-percik Pemikiran Mohammad Iqbal,
M.Mangun Suwito, Kamus Bahasa Jawa: Indonesia- Jawa,
“Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa “, Kamus Besar Indonesia,